KONDISI SOSIAL DI CIREBON ABAD 19
28 Juni 2012
Servatius |
Mengenai sejarah politik dan
pemerintahan Cirebon, abad ke-19 juga mendatangkan perubahan-perubahan
dan penyesuaian dengan politik dan pemerintahan langsung Negeri
Belanda. Pengangkatan kembali sultan Kanoman pada tahun 1806 tidak
berhasil mengakhiri pemberontakan-pemberontakan. Pada tahun 1809, H.W.
Daendels mengakhiri status khusus dari sultan-sultan dan
pangeran-pangeran dari Cirebon sebagai kekuasaan setengah merdeka.
Daendels memutuskan bahwa Cirebon menjadi suatu propinsi pemerintah
(dengan arti Hindia Timur Belanda), dan para sultan dinyatakan sebagai
abdi negara Hindia Timur, dan kekuasaan politik apa pun yang masih ada
pada mereka ditempatkan di bawah pengawasan Belanda.
Perubahan-perubahan yang diadakan oleh Daendels tidak diperinci lebih
lanjut dan tidak berarti banyak, karena sejak lama para sultan tidak
ada keinginan untuk menjalankan kekuasaan mereka, atau mereka
menggunakannya dengan cara lain atau untuk tujuan lain daripada
Belanda. Pendeknya, tidak ada yang menentang atau kelihatan adanya
kesulitan sebagai akibat tindakan Belanda yang sewenang-wenang itu.
Raffles, pejabat Inggris yang menggantikan Gubernur Jenderal Belanda,
melangkah lebih jauh lagi. Ia memberikan kepada para sultan tanah
persawahan bebas pajak yang ditentukan secara jelas, dan memberikan
kepada Sultan Kasepuhan dan Sultan Kanoman suatu subsidi uang
masing-masing sebesar 8000 rupee setahun. Ketika Belanda kembali di
Jawa (1819) setelah Napoleon jatuh, dan setelah perjanjian perdamaian
Kongres Wina, Belanda mengesahkan keadaan yang diciptakan oleh Daendels
dan Raffles. Kedudukan politik para sultan dihapuskan, tetapi tiap
sultan (Kasepuhan dan Kanoman) menerima subsidi uang sebesar 18.000
gulden setahun. Sultan-sultan pertama yang "digaji" wafat pada tahun
1845 dan 1851. Kira-kira 30 tahun kemudian, Cirebon menjadi suatu
residensi 'Hindia Belanda' seperti residensi-residensi lainnya di bawah
pemerintahan langsung Belanda, tetapi pemerintahan langsung ini
berarti, bahwa pejabat-pejabat Belanda, seperti residen dan asisten
residen, pada tingkat distrik semua dibantu oleh kepala-kepala
pemerintahan pribumi (pangreh praja) yang dipimpin oleh seorang bupati.
Bupati-bupati Cirebon pada abad-abad ke-19 dan ke-20 bahkan tidak
diambil dari keluarga sultan, melainkan dari tempat lain, dan jika ada
bupati yang berasal dari keluarga sultan, maka ini hanya kebetulan saja
dan tidak disengaja. Para sultan Cirebon malahan mengundurkan diri ke
dalam istana-istana mereka, dan menjadi pelindung kesenian tradisional
mengukir kayu, membuat wayang dan membatik.
Tidaklah terlampau aneh bahwa penghapusan kekuasaan politik para sultan memungkinkan mereka untuk mencurahkan perhatian kepada pengembangan seni dan budaya. Bukannya kebudayaan istana sendiri, melainkan mendorong kesenian tradisional di desa-desa dan di antara orang-orang yang tinggal di atas tanah sultan. Bidang inilah yang mengembalikan sebagian pengaruh dan prestise keluarga sultan di mata rakyat Cirebon. Menyadari bahwa para sultan tidak dapat dibebani tanggung jawab atas kesengsaraan yang mereka derita, maka penduduk di desa-desa barangkali pertama-tama tidak mengindahkan mereka. Tetapi kemudian, waktu kolonialisme makin menyerbu ke dalam desa-desa dan masyarakat, orang-orang mulai memihak kepada sifat-sifat khusus kebudayaan istana Cirebon dan kharisma keagamaan sultan sebagai keturunan wali keramat, Sunan Gunung Jati. Kemudian, istana sekali lagi menjadi pusat bagi rakyat. Di Cirebon rupanya tradisi istana untuk memberi dorongan kepada kesenian di luar tembok istana telah menciptakan hubungan yang kokoh dengan para petani. Usaha rakyat untuk menemukan kembali kepribadian mereka selama penetrasi kolonialisme dan pembaratan memungkinkan terjadinya hubungan ini. Dengan demikian, apa yang telah dilepaskan oleh para sultan kepada Belanda dalam bentuk material, telah kembali pada mereka dalam bentuk spiritual.....
Sumber : Catatan Ikhwanul Falah
Tidaklah terlampau aneh bahwa penghapusan kekuasaan politik para sultan memungkinkan mereka untuk mencurahkan perhatian kepada pengembangan seni dan budaya. Bukannya kebudayaan istana sendiri, melainkan mendorong kesenian tradisional di desa-desa dan di antara orang-orang yang tinggal di atas tanah sultan. Bidang inilah yang mengembalikan sebagian pengaruh dan prestise keluarga sultan di mata rakyat Cirebon. Menyadari bahwa para sultan tidak dapat dibebani tanggung jawab atas kesengsaraan yang mereka derita, maka penduduk di desa-desa barangkali pertama-tama tidak mengindahkan mereka. Tetapi kemudian, waktu kolonialisme makin menyerbu ke dalam desa-desa dan masyarakat, orang-orang mulai memihak kepada sifat-sifat khusus kebudayaan istana Cirebon dan kharisma keagamaan sultan sebagai keturunan wali keramat, Sunan Gunung Jati. Kemudian, istana sekali lagi menjadi pusat bagi rakyat. Di Cirebon rupanya tradisi istana untuk memberi dorongan kepada kesenian di luar tembok istana telah menciptakan hubungan yang kokoh dengan para petani. Usaha rakyat untuk menemukan kembali kepribadian mereka selama penetrasi kolonialisme dan pembaratan memungkinkan terjadinya hubungan ini. Dengan demikian, apa yang telah dilepaskan oleh para sultan kepada Belanda dalam bentuk material, telah kembali pada mereka dalam bentuk spiritual.....
Sumber : Catatan Ikhwanul Falah