SEPENGGAL KISAH MIMI RASINAH DAN NASIB PARA SENIMAN LAINNYA
28 Juni 2012
Almarhumah Mimi Rasinah (maestro tari Topeng di Indramayu) bukan satu -satunya seniman di Indramayu, dibidang seni lain pun banyak sosok seperti mimi Rasinah seperti seniman tarling klasik, laisan, debleng dengdet, terbang, genjring dan sebagainya tapi kesenian-kesenian ini dipentas dunia tak seharum kesenian tari topeng, di Indonesia varian tari topeng banyak sekali, tetapi khusus topeng dermayonan memiliki karakteristik tersendiri dibanding kesenian topeng daerah lain. Penulis mencoba membagikan sebuah tulisan untuk mengenal mimi Rasinah dan bukan bertujuan mengistimewakan satu cabang kesenian tradisional melalui tokohnya apalagi mengkultuskanya.
Berikut sepenggal kisah mimi Rasinah yang disarikan dari Forum Kompas : In Memoriam Mimi Rasinah yang ditulis budayawan Indramayu, Supali Kasim :
Walau mimi Rasinah telah tiada, tari topeng gaya Dermayonan tetap akan diteruskan puluhan anak didiknya. Rasinah memang seorang mimi (ibu) bagi kehidupan tari topeng. Pahit-getir kehidupan topeng telah puluhan tahun dilakoni. Riuh gemerlap dan kosong sepinya pentas ia nikmati. Perjuangan melawan kepapaan telah ia jalani. Namun, ia juga dengan sabar dan ikhlas melahirkan, mendidik, membimbing, dan menuntun anak-anak generasi penerusnya. Mama Amat (suami mimi Rasinah) menilai darah seniman Rasinah tidak terlalu kental. Namun, sejak usia remaja dan menikah dengan Amat, nayaga tari topeng dari keluarga seniman, Rasinah terus digembleng tarian ini dan Rasinah memang dikader menjadi penari topeng. Berbagai teknik tari dan menabuh gamelan harus dikuasai.
Secara ideologis, apresiasi dilakukan lewat pengembaraan sukma sekaligus pembentukan raga. Ia menjalani ritual puasa mutih (berpuasa dengan hanya makan nasi putih atau segelas air), ngetan (berpuasa, saat berbuka hanya makan nasi ketan), ataupun puasa wali (tidak makan dan tidak minum selama tiga hari atau tujuh hari dan seterusnya). Selama puluhan tahun kelompok tari topengnya berpentas dari kampung ke kampung dan dari desa ke desa untuk menghibur penonton dalam hajatan ataupun ritual desa. Kekayaan filsafat dan cermin karakter manusia pada tari topeng agaknya tidak selalu beriringan dengan kesukaan masyarakat yang cenderung memilih jenis kesenian yang bersifat lebih menghibur, lebih wah, nge-tren, dan nge-pop. Sejak dasawarsa 1980-an taritopeng mulai jarang ditanggap. Keterpurukan itu makin menjadi ketika Mama (Bapak) Amat meninggal dunia. Rasinah seperti "di-PHK". Belasan tahun kemudian tari topeng tidak disentuhnya lagi. Sobra, badong, dodot, kedok, dan busana kebesaran lainnya ia tanggalkan meski dengan dada sesak. Apalagi, paranayaga lainnya satu per satu meninggal dunia, sudah renta, atau mencari penghidupan lain. "Tari topeng hanyalah masa lalu. Sekarang, orang tak butuh tari topeng, tak ada yang nanggap," ujar Mimi Ras atau juga biasa dipanggil Mak Inah itu dan siapa sangka ketika sudah 15 tahun meninggalkan dunia tari, ia "dipaksa" menari lagi. Endo Suanda, Toto Amsar Suanda, dan pengajar STSI Bandung lain saat itu berkeras merayunya.
Pertemuan yang tidak diduga, atas petunjuk Mama Taham, seniman tradisional pemimpin Sanggar Mulya Bhakti, Tambi, Sliyeg, Indramayu, yang juga memiliki kelompok nayaga tari topeng dan wayang kulit, menunjuk Rasinah sebagai salah satu penari yang masih tersisa di Indramayu. Rasinah menolak. Ia merasa sudah tua, sudah belasan tahun tidak menari, sudah lupa dunia tari. Bahkan, dunia tari mengantarkannya kepada kepapaan materi. Pendapatan tidak menentu. Rumahnya pun hampir roboh. Akan tetapi, ketika gamelan topeng berkumandang yang ditabuh para nayaga Mama Taham, ia seakan-akan menemukan kembali dunianya yang hilang. Sebuah dunia tempatnya mengekspresikan karakter manusia lewat tari Panji, Pamindo, Tumenggung, ataupun Kelana. Ketika menari Kelana, kerentaan usia 65 tahun tidak ada. Kakinya lincah mengentak- entak, berderap, menyepak- nyepak, ataupun berjalan dengan pongahnya. Nuansa kemarahan menyebar di sekelilingnya, tinggi hati, berkuasa, dan egois dengan kegarangan kumis hitam tebal, mata melotot, dan wajah merah. Ekspresi tubuh, tangan, kaki, kepala, hati, dan jiwa menyatu dalam karakteristik angkara murka. Namun, adegan yang penuh ruh dan energi itu justru menjadi kontras saat tarian usai dan kedok penari dibuka.
Wajah yang tersembul adalah perempuan renta, ringkih, keriput, bahkan (maaf) mata kirinya pun sudah cacat. Endo, Toto dan Mama Taham berhasil kembali membawanya kembali ke dunia tari. Mereka membawanya kembali berpentas sampai ke Bandung, Jakarta, Solo, Bali bahkan beberapa kota di Jepang. Undangan pentas seperti mengalir dari berbagai tempat, kota, dan negara. Kekayaan karakteristik topeng ia suguhkan dan banyak diapresiasi. Rasinah adalah harta karun yang lama terpendam di bawah samudra dunia kesenian tradisional Indramayu yang kaya dan beragam. Setelah generasi tari topeng Cirebon, dari Ibu Suji, Ibu Dewi, hingga Ibu Sawitri, kemunculan Rasinah adalah fenomena tersendiri. Berbagai penghargaan diterimanya, dari tingkat kabupaten, provinsi, nasional, hingga internasional.
Harta karun itu bukan hanya milik Indramayu, Jawa Barat, dan Indonesia, melainkan juga dunia internasional. Dalam kerentaan menuju usia 80 tahun karena stroke menyerangnya yang membawanya ke sang khalik. Pemerintah Kabupaten Indramayu berencana membuat monumen dirinya. Rasinah tentu tidak mungkin lagi menari Kelana yang beraroma kesombongan dunia, keangkuhan penguasa, dan kepongahan sang angkara murka. Di pekuburan tepi pematang sawah di desa Pekandangan itu mungkin terlintas ada tarian Panji yang halus dan lembut sebagai pengembaraan sukma yang impresif dan utuh, seperti bayi baru lahir dalam gambaran kedok putih-bersih.
Selamat jalan, sang maestro.
Demikian tulisan Supali Kasim.
Jujur saja ketika saya mendengar mimi Rasinah wafat saya menangis karena mengingat jasanya pada masyarakat banyak, seniman tradisional seperti mimi Rasinah banyak yang dibawah kemiskinan dan kehidupan yang susah tetapi ketika mereka diatas panggung mereka memberi hiburan dan keceriaan bagi para penontonya yang kaya ataupun miskin dengan sepenuh hati, upah mereka tak sebanding dengan nilai kebahagiaan dan keceriaan yang muncul, mereka berjasa melupakan problema dan kesusahan hidup walau mereka sendiri hidup dalam kesusahan dan ini yang kuanggap jasa seniman yang tak ternilai dengan apapun.
Sebenarnya kesenian tradisional di Indramayu, dibanding Cirebon mungkin jauh lebih banyak dan kreatif. Tarling misalnya jauh sebelum Abdul Abjid digadang-gadang sebagai maestro tarling, di Indramayu sudah memiliki Jayana yang pantas disebut sang legendaris tarling karena sudah eksis dari tahun 1950-an, bahkan Hj Dariyah, Kosim, Tiplok, dan Kaji Sawud jauh lebih tenar dibanding Abdul Abjid dan sebagian dari mereka hidup pas-pasan.
Kesenian tradisional lain seperti Debleng dengdet, Laisan, Kuda lumping, Berokan dan lain-lain perlu mendapat perhatian dari kita semua, juga pemerintah jangan memilah jenis kesenian tertentu untuk tujuan pencitraan penguasa yang berskala pendek dan pemerintah pun harus menunjuk Pamong Budayanya dari kalangan seniman lokal agar selaras laksana tembang dan gamelan karena sang pamong tidak hanya memperhatikan penampilan dipanggung tapi juga melestarikan dan menghidupkan kembali warisan seni yang ada, dan yang lebih penting lagi memperhatikan kehidupan para pelaku seni tradisional yang nasibnya mungkin lebih buruk dari almarhumah mimi Rasinah.
Akhirnya kita mesti berbangga betapa budaya seni yang ada adalah bukti kemandirian bangsa kita dulu yang memang kini harus diakui semakin tergerus budaya asing, setidaknya
Nenek moyang kita dulu menunjukan kalau bangsa kita benar-benar hebat !