SEJARAH PERJUANGAN MA SENTOT DI INDRAMAYU
10 Desember 2016
Indramayu di Awal Masa Kemerdekaan Republik Indonesia
Sebelum pasukan militer Indonesia terbentuk seperti sekarang ini, para putera-puteri terbaik tanah air pernah mengalami berbagai pertempuran dan kondisi yang penuh tantangan, khususnya di awal masa kemerdekaan. Di setiap wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi pertempuran dengan pasukan-pasukan Belanda yang memang ingin menjajah kembali Republik Indonesia. Mereka, pasukan kerajaan Belanda menyadari betul bahwa menjajah bangsa lain itu menyenangkan, membuat mereka semakin kaya dengan hasil bumi.
Di lain pihak secara perlahan-lahan di kalangan bangsa Indonesia timbul kesadaran bahwa dijajah itu hina, tidak menyenangkan, dan perlu melawan. Itulah sebabnya sejak Jepang menggembar-gemborkan patriotisme Asia Raya dan harus mengusir kedatangan bangsa-bangsa Eropa dari daratan Asia, maka patriotisme para pemuda Indonesia bangkit. Mereka tidak saja menentang penjajahan Belanda, namun juga menentang kehadiran pendudukan Jepang itu sendiri.
Upaya menentang penjajah itu terjadi di banyak daerah, termasuk Indramayu. Dalam kenyataannya perlawanan masyarakat Indramayu terhadap tentara pendudukan Jepang dipelopori oleh beberapa orang pemuka agama. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar, sebab dalam ajaran agama terdapat nilai-nilai patriotisme dan keharusan mengusir musuh yang hendak menjajah dari tanah kelahiran.
Saat itulah di Indramayu muncul pejuang-pejuang yang menentang pendudukan Jepang seperti H. Ilyas, H. Durahman, dll. Pemberontakan yang dilakukan oleh para pemuka agama ini cukup menyulitkan tentara pendudukan Jepang. Namun demikian pemberontakan tetap bisa dipadamkan karena Jepang mampu merekrut para penjilat yang mau mereka suapi demi kepentingan Jepang. Di kemudian hari, keberanian penduduk Indramayu untuk menentang penjajah dan tentara pendudukan Jepang dinilai sangat berani sehingga membuat pemberontakan di Indramayu sama terkenalnya seperti pemberontakan Tasikmalaya (peristiwa Singaparna), Cimahi, Blitar, dan yang lainnya. Keberanian rakyat Indramayu, Singaparna, Cimahi, dan Blitar ini diungkapkan dalam Pidato penuh patriotisme Presiden Sukarno di tahun 1948.
Kondisi Kemiliteran di Indramayu Tahun 1945-1946
Seiring dengan telah diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia maka berbagai bentuk sistem pertanahan dibentuk. Hal tersebut terjadi pula di Indramayu yang mengalami memiliki BKR, TKR, sampai akhirnya TNI.2 Dalam sejarah militer diketahui bahwa di akhir tahun 1946 di Jawa Barat telah terbentuk Resimen 12 Divisi IV Siliwangi yang dipimpin oleh Kolonel Sapari. Resimen ini berkedudukan di Cirebon.
Untuk memantapkan operasinya, Resimen 12 memiliki 6 (enam) Batalyon dan 1 (satu) Detasemen. Personal pimpinan dari komponen organisasi tersebut terdiri dari:
- Mayor Suwardi sebagai Dan Yon I yang berkedudukan di Cirebon,
- Mayor Sujana sebagai Dan Yon II yang berkedudukan di Kedung Bunder,
- Mayor Ribut sebagai Dan Yon III yang berkedudukan di Sindanglaut,
- Mayor U. Rukman sebagai Dan Yon IV yang berkedudukan di Kuningan,
- Mayor D. Affandi sebagai Dan Yon V yang berkedudukan di Majalengka,
- Mayor Sangun sebagai Dan Yon VI yang berkedudukan di Indramayu.
Pada saat itu M.A. Sentot yang dikenal telah banyak berjasa sebagai Komandan BKR di Kandanghaur dengan pangkat Letnan Satu ditempatkan di Majalenga. Beliau yang sudah berpengalaman sebagai Komandan Kompi TKR di Kecamatan Anjatan, terpilih menjadi salah seorang Komandan Kompi dari Batalyon V. Di Indramayu sendiri, pada saat itu selain pasukan resmi Republik telah ada badan-badan kelaskaran lainnya seperti Hisbulloh, Laska Rakyat, Pesindo, dll. Meskipun banyak personal pertahanan yang ada di Indramayu namun dari sisi persenjataan jumlahnya sangat kurang. Kebanyakan persenjataan berada di Cirebon.
Datang Dua per Dua untuk Bernegosiasi
Menurut penuturan pak Kartem, pasukan gerilyawan pimpinan M.A. Sentot memasuki kampung Waledan dan Kujang untuk mencari tempat yang strategis sebagai markas dalam rangka mengganggu pasukan-pasukan Belanda yang berkedudukan di pusat kota Indramayu dan sekitarnya. (Wawancara terhadap pak Kartem dilakukam pada Minggu 15 Juni 2008 di rumahnya, kampung Kujang, Cantigi. Menurut masyarakat setempat, pak Kartem merupakan satu-satunya orang tua sekaligus saksi mata perjuangan pasukan setan yang masih hidup saat kampung Waledan dan Kujang dijadikan markas pasukan pimpinan M.A. Sentot).
Pasukan petintis (bagian dari pasukan M.A. Sentot) semula datang berdua mendekati penduduk setempat bernama Kartem. Keduanya memohon kesediaan warga kampung Waledan dan kampung Kujang agar daerahnya digunakan sebagai markas pasukan M.A. Sentot. Saat diskusi berlangsung, bermunculanlah dua orang-dua orang anggota pasukan M.A. Sentot memasuki kampung itu. Mereka membantu anggota pasukan lainnya yang datang terdahulu untuk melakukan negosiasi agar bisa bermarkas di situ.
Setelah berdiskusi dengan tamu, yang ternyata pasukan perintis dari kesatuan pimpinan M.A. Sentot, para ketua kampung menyetujui daerah mereka dijadikan markas pasukan gerilyawan. Sejak saat itulah, selama tiga tahun, seluruh isi kampung menjadi tempat beristirahat, makan, minum, pijit, menyusun strategi, dan basis penyerangan untuk mengganggu kesatuan-kesatuan Belanda yang ada di kota Indramayu dan sekitarnya.
Jika bukan kepada penduduk, memang, kepada siapa lagi para gerilyawan pejuang perang kemerdekaan ini akan menggabungkan diri. Manunggalnya tentara dengan rakyat sangat dirasakan perlu dan pentingnya pada saat itu. Hal ini terjadi secara sangat kebetulan dan waktu yang mendesak. Saat itu, sekitar tanggal 21 Juli 1947, pasukan-pasukan Belanda yang terobsesi untuk merebut kembali Indonesia yang telah menyatakan merdeka agar kembali ke pangkuan mereka, melancarkan agresinya yang pertama. Sebuah agresi yang terang-terangan melanggar Perjanjian Linggarjati. Salah satu butir dari perjanjian itu adalah kedua belah pihak tidak boleh saling serang-menyerang.
Agresi Belanda yang pertama ini dilakukan dengan kondisi pasukan mereka yang prima, bersenjata lengkap dan canggih, sehingga dalam waktu sangat singkat mampu membuat satu per satu kota-kota Kabupaten di Jawa Barat jatuh ke tangan mereka. Akibatnya, banyak kesatuan-kesatuan tentara Republik Indonesia, dan kelaskaran lainnya mengundurkan diri ke hutan-hutan dan kampung-kampung. Di Indramayu hal itu pun terjadi. Pasukan-pasukan Republik Indonesia dan kelaskaran lainnya memasuki Kampung Waledan dan Kujang untuk berlindung dari gempuran-gempuran tentara-tentara Belanda.
Markas Pasukan Setan yang Strategis di Kampung Waledan dan Kujang
Mundurnya banyak kesatuan tentara dan kelaskaran lainnya ke kampung-kampung bukan berarti pemerintahan Republik Indonesia yang baru merdeka bertekuk lutut kepada Pemerintah Kerajaan Belanda, melainkan hanya sebuah strategi perang. Di kemudian hari strategi ini dikenal sebagai strategi perang gerilya. Dalam keadaan tercerai-berai oleh serbuan membabi buta pasukan Belanda, para tentara, mantan tentara, dan anggota kelaskaran lainnya melakukan konsolidasi secara diam-diam. Setelah itu mereka melanjutkan perlawanan. Salah satu gabungan para pejuang yang berasal dari tentara dan kelaskaran lainnya adalah gabungan yang bernama Pasukan Setan (PS).
Menurut keterangan Bapak S. Soedimantoro (pada 7 Desember 1983) kedatangan M.A. Sentot dan kawan-kawan ke Kampung Waledan dan Kujang terjadi akibat gempuran hebat tentara Belanda di wilayah Indramayu Barat. Untuk memperoleh kepercayaan dan dukungan dari rakyat Indramayu, maka harus diperlihatkan kepada rakyat bahwa pasukan tentara bersenjata Republik Indonesia masih ada dan masih kuat bertempur. Itulah sebabnya, operasi secara berpindah tempat dilakukan sampai ke Indramayu bagian Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Subang. Pertempuran-pertempuran hebat pun terjadi seperti di Desa Larangan, Bugel, Anjatan, dan terakhir di Kampung Kopyah. Setelah dianggap cukup memperlihatkan gerakan di wilayah Barat, pasukan ditarik lagi ke arah utara.
Pasukan gerilyawan bergerak melalui jalan laut agar tak terlihat oleh tentara-tentara Belanda. Pada malam hari, mereka menggunakan perahu-perahu nelayan dari Muara Desa Patrol menyusuri pantai utara hingga akhirnya medarat di Kampung Waledan dan Kampung Kujang Desa Lamarantarung.
Selain menjadikan kedua kampung tersebut sebagai markas, M.A. Sentot pun segera mengadakan penertiban dalam tubuh pasukannya. Hal itu dilakukan karena personal yang berkumpul di Kampung Waledan dan Kujang sangat beragam. Menurut keterangan Bapak S. Soedimantoro, komposisi pasukan disusun sebagai berikut:
Kepala Pasukan : Bapak M.A. Sentot
Ajudan/Pimpinan Staf : Bapak S. Soedimantoro
Koordinator Pertahanan : Bapak Tirtaatmaja
Koordinator Politik : Bapak R. Akhmad
Koordinator Pertahanan Rakyat : Bapak Lili Sopandi
Kepala Regu I : Bapak Husen
Kepala Regu II : Bapak Sujogo
Kepala Regu III : Bapak Hasan
Kepala Regu ALRI Buaya Buas : Bapak Ali Runajaya
Kepala Regu Istimewa (yang terdiri dari para Bromocorah) : Bapak Sutara
Komposisi pasukan seperti itu jelas rawan akan berbagai gangguan dan pengkhianatan. Beruntunglah ada surat dari U. Rukman (pimpinan Batalyon Rukman yang berpusat di Kuningan) selaku Komandan Komando Gerilya. Surat yang dikirim oleh kurir bernama Tasman itu menjelaskan bahwa perjuangan sudah berubah bukan lagi perjuangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) melainkan perjuangan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Itulah sebabnya segala sebutan atau istilah yang bernuansa militer seperti pangkat dan jabatan untuk sementara ditanggalkan. Setelah hal itu dilakukan, maka komposisi pasukan menjadi solid dan mampu melakukan gangguan kepada pihak Belanda secara signifikan.
Setiap siang hari seluruh pasukan setan pimpinan M.A. Sentot beristirahat, kebanyakan tidur. Tempat tidur mereka di mana saja. M.A. Sentot sendiri sebagai komandan tak memiliki tempat tidur khusus. Setelah malam tiba, barulah mereka meninggalkan kampung dan pergi ke kota untuk mengganggu kedudukan pasukan-pasukan Belanda. Kemunculan para gerilyawan sekitar jam tiga atau empat pagi, sangat mengganggu kondisi Belanda. Mereka muncul secara tiba-tiba dan melakukan serangan. Setelah itu mereka menghilang kembali ke hutan. Sejak saat itulah mereka menamakan diri Pasukan Setan (PS). Seperti setan, mereka bisa muncul kapan saja dan di mana saja, menyerang lalu menghilang.
Konsolidasi pasukan dari berbagai kesatuan dan kelaskaran diperkuat oleh pernyataan pak Kartem, yang menyebutkan bahwa pasukan yang berkumpul di kampung Waledan dan Kujang sebenarnya merupakan pasukan gabungan. Disebut gabungan karena semua pasukan aliran apapun berkumpul di kampung itu. Tak hanya pasukan yang baik-baik, tetapi juga para pencoleng direkrut untuk membantu gerilyawan. Lama kelamaan mereka yang semula berperilaku menyimpang pun, yang tak tahu-menahu kondisi negara, setelah mendengar dan menyaksikan sendiri tembakan-tembakan senjata milik pasukan Belanda menghancurkan aset-aset bangsanya, akhirnya berubah. Jiwa ksatria muncul untuk melawan penjajah dan menyalurkan keberaniannya untuk menyerang Belanda. Dengan bergabungnya mereka, maka sepak terjang pasukan setan semakin menjadi-jadi. Pada siang hari kondisinya sepi, namun malam hari ’setan-setan’ pasukan gerilyawan muncul menyerang aset-aset Belanda yang ada di kota-kota. Pagi harinya, pasukan kembali ke markas di kampung Waledan dan Kujang.
Sebegitu jauh, kampung Waledan dan Kujang sebenarnya bukan menjadi markas satu-satunya sebab secara organisasi dan operasional, pasukan setan bertugas menyerang, menghadang, lantas menghilang. Jadi mereka bergerak tanpa memiliki Pos Komando yang tetap. Justru dengan sifatnya yang seperti itulah pasukan setan menjadi pasukan yang sangat ditakuti musuh dan disegani kawan-kawan seperjuangan. Pasukan ini menjadi idola dan kebanggaan masyarakat Indramayu.
Gerakan Pasukan Setan Melawan Belanda
Agresi militer Belanda untuk merebut kembali kekuasaan di Indonesia dilakukan secara terencana dan dukungan persenjataan militer terlengkap dan tercanggih saat itu. Pada saat itulah pertempuran perang kemerdekaan di Indramayu bergolak sebab rakyat Indramayu khususnya, dan Indonesia pada umumnya, sudah tak sudi lagi hidup dalam cengkeraman penjajah.
Dalam proses pertempuran perang mempertahankan kemerdekaan itulah muncul Pasukan Setan (PS) pimpinan M.A. Sentot. Menurut keterangan pak Darsimah pasukan pimpinan M.A. Sentot disebut pasukan setan sebab seluruh anggota pasukannya bisa menghilang. (Pak Darsimah merupakan teman seperjuangan M.A. Sentot. Lebih dari sekadar teman, beliau juga merupakan pengasuh Sentot sejak kecil, dan mengabdi kepada keluarga orangtua M.A. Sentot). Konon, anggota pasukan setan ini memiliki kekuatan dan kesaktian yang luar biasa sehingga selalu lolos dalam kepungan pasukan Belanda. Sekali waktu datang menyerang dan setelah itu langsung menghilang. Mereka menghilang tapi tidak kembali ke markas, sehingga sulit dilacak oleh Belanda. Pasukan ini sungguh menjadi fenomena. Anggota mereka yang hanya belasan orang tetapi sanggup mengobrak-abrik kantong-kantong kekuasaan Belanda. Simbol atau lambang pasukan ini sangat menyeramkan, yaitu berupa gambar tengkorak manusia yang diberi tanda silang di bawahnya dalam bendera berwarna dasar merah. Di bawah gambar tengkorak terdapat tulisan P.S. yang merupakan singkatan dari Pasukan Setan.
M.A. Sentot sebagai mantan Shodantyo di tahun 1943 yang merupakan hasil didikan keras para prajurit Jepang di tahun 1945 sudah berpangkat Letnan Satu. Setelah selama dua tahun berjuang di Majalengka (1945-1946) memilih untuk pindah ke Indramayu.
Di Indramayu, Letnan Satu M.A. Sentot membentuk pasukan sendiri beranggotakan orang-orang pilihannya. Inilah cikal bakal pasukan setan yang menjadi ’hantu’ menakutkan bagi para serdadu Belanda. Betapa tidak, meskipun tentara Belanda dibekali persenjataan yang lengkap namun bisa kocar-kacir oleh ulah pasukan setan yang hanya bersenjatakan senjata rampasan. Sebuah pasukan kecil yang justru sering menimbulkan kerugian besar di pihak Belanda.
Menurut keterangan Bapak S. Soedimantoro, komposisi pasukan bentukan M.A. Sentot yang berasal dari berbagai sumber kekuatan rakyat telah melakukan perlawanan sangat heroik. Asrama tentara Belanda yang berkedudukan di Desa Penganjang, misalnya merupakan lokasi yang jelas sangat mudah untuk diserang. Sayang sekali, dalam penyerangan ke markas tentara Belanda ini, telapak kaki Bapak Sutara (pimpinan pasukan Istimewa) cedera. Telapak kaki beliau belah akibat senjata pelontar granat buatan Jepang (pasukan tentara saat itu menyebutnya dengan istilah Teki Danto) yang digunakannya posisi dasarnya meleset saat dioperasikan sehingga mengenai telapak kaki Bapak Sutara. Kondisi ini tidak begitu mengganggu. Justru pasukan Istimewa ini semakin meraja-lela dengan melakukan serangan-serangan ke dalam kota.
Pada saat itu, untuk melindungi markas utama di Kampung Waledan dan Kujang, maka desa-desa di sekitarnya dijadikan garis depan penyerangan (front) terhadap tentara-tentara Belanda. Front yang dikuasai pasukan gerilya itu terdiri dari Desa Arahan, Gandok, Cabang, dan Pecuk. Dengan demikian Waledan dan Kujang tetap aman dan terkendali sebagai Pos Komando.
Meskipun telah membentuk front-front perlawanan, bukan jaminan bahwa Pos Komando di Waledan dan Kujang akan aman. Perhitungan M.A. Sentot secara militer mengatakan bahwa bisa saja tentara-tentara Belanda menyebarkan mata-matanya hingga ke pedalaman Kampung Waledan dan Kujang. Itulah sebabnya pasukan mata-mata tandingan pun dilakukan. Akibatnya setiap hari terjadi pertempuran yang misterius antara mata-mata Belanda dan mata-mata pihak Republik Indonesia. Dalam peristiwa inilah Bapak Wargana, dari pihak pasukan Republik, gugur.
Penyerangan Konvoi Belanda di Jembatan Bangkir
Pasukan Setan memang gesit dan cepat menghilang. Salah satu aksi yang dilakukan pasukan ini adalah menghadang konvoi tentara Belanda di jembatan Bankir. Dalam pertempuran ini pihak Pasukan Setan menewaskan 40 tentara Belanda dan merampas semua persenjataan mereka. Peristiwa ini sangat terkenal dan membuat pimpinan tentara Belanda harus menyusun kembali rencana perang mereka.
Keberhasilan penyerangan konvoi Belanda di jembatan Bankir pada November 1947 ini merupakan sebuah hasil dari penyerangan yang terencana. Sebelumnya, Pasukan M.A. Sentot terlebih dulu telah mendapat bantuan senjata dari Polisi Belanda yang berada dibawah pimpinan Suhad, yang menggabungkan diri dengan pasukan Republik Indonesia, di desa Anjatan. Dengan diperolehnya bantuan senjata ini, maka diadakan Iagi penghadangan di desa Kopyah dengan tujuan untuk menyelamatkan tawanan-tawanan yang akan dibawa Belanda ke Haurgeulis. Tawanan-tawanan tersebut akhirnya dapat diselamatkan. Sementara itu tentara Belanda kocar-kacir, meninggalkan banyak korban.
Modal kemenangan dari penghadangan di berbagai tempat membuat pasukan gerilyawan semakin berani dan percaya diri. Dari rasa percaya diri itulah direncanakan melumpuhkan konvoi tentara Belanda di jembatan Bangkir pada akhir bulan Novembar 1947. Pada sekitar jam 05.00 pagi pasukan gerilya telah disiapkan untuk mengadakan operasi di sekitar jembatan Bangkir. Sementara itu rakyat di sekitarnya diungsikan ke desa-desa jang diperkirakan lebih aman. Setelah lama menunggu barulah sekitar jam 09.00 terdengar suara truck yang ternyata bukan truck militer Be¬landa. Truck preman yang dikawal oleh dua orang Polisi Pasundan tersebut tidak diganggu-ganggu untuk menjaga jangan sampai rencana itu bocor.
Sekitar jam 11.00 barulah ada kode dari Pos Peninjau yang memberi isyarat bahwa konvoi Militer Belanda jang didahului oleh Bren-Carrier akan melintasi jembatan Bangkir dari arah Indramayu. Pasukan yang semula kaget melihat banyaknya tentara Belanda bangkit kembali semangatnya setelah M.A. Sentot memberi komando untuk melakukan tembakan. Dari jarak hanya 30 meter pasukan M.A. Sentot menembaki pasukan Belanda. Kopral Dali, seorang penembak bren, berhasil melumpuhkan Bren-Carrier beserta pengemudinya. Jumlah kerugian Belanda tak terkira, sebab seluruh peleton prajurit yang konvoi berikut satu mobil palang merah Belanda dapat dihancurkan. Pertempuran yang berlangsung sekitar tiga jam itu berakhir sekitar jam 14.00.
Dalam peristiwa ini dua orang tentara Belanda berhasil lolos. Namun dalam upaya menyelamatkan diri ke kota Indramayu yang berjarak sekitar 10 kilo meter, mereka tertangkap oleh rakyat dan akhirnya dibunuh. Di kemudian hari diketahui bahwa salah seorang dari dua tentara yang dibunuh rakyat ini merupakan dokter berpangkat Mayor. Sementara itu dari pihak pasukan M.A. Sentot gugur satu orang bernama Salim.
Di akhir pertempuran, ketika Pasukan Setan pimpinan M.A. Sentot hendak mengumpulkan senjata-senjata hasil rampasan, tiba-tiba bantuan tentara Belanda dari kota Indramayu datang dalam jumlah sangat besar. Mengingat kondisi pasukan cukup lelah, maka M.A. Sentot memutuskan untuk tidak melawan pasukan bantuan tersebut. Para prajurit Pasukan Setan memilih mengundurkan diri ke markas mereka di Kampung Waledan dan Kujang. Pada saat mengundurkan diri inilah dua orang anggota pasukan M.A. Sentot gugur, yaitu Murah Nara dan Basuki. Keduanya tersesat dalam proses pengunduran diri sebab tidak begitu paham lokasi markas. Konon Murah Nara merupakan pemuda asal Karawang yang memilih berperang melawan tentara Belanda di Indramayu. Dalam posisi tersesat itulah keduanya dihadang tentara Belanda yang datang dari arah Jatibarang. Tembakan gencar dari tentara Belanda membuat kedua pejuang ini gugur.
Berapa kerugian yang diderita penduduk akibat serangan itu? Sungguh tak ternilai. Setelah penyerangan, para gerilyawan dan penduduk yang mengungsi, kembali ke rumahnya masing-masing. Mereka mendapati bahwa selain menyerang tentara-tentara Belanda yang dibantu rakyat itu ternyata membawa habis terasi-terasi yang sudah jadi dan siap dijual. Sebagian terasi mereka bakar. Terasi-terasi, pada saat itu merupakan bahan yang berharga karena akan dijual secara barter ke daerah lain untuk ditukar dengan bahan makanan lain yang sangat diperlukan dan tidak bisa diproduksi di wilayah markas Pasukan Setan.
Serangan besar-besaran itu meninggalkan dendam yang mendalam baik kepada pihak Belanda maupun kepada rakyat yang berkhianat membantu Belanda. Sementara itu Pak Kartem sendiri, sebagai salah saksi hidup perjuangan M.A. Sentot di Desa Kujang, yang semula berminat menjadi tentara, tak jadi memenuhi keinginannya sebab tidak direstui orang tuanya. Meskipun demikian, beliau membantu Pasukan Setan dengan posisi sipilnya. Kartem dan seluruh isi kampung Waledan dan Kujang pernah mengungsi ke hutan bakau (jenis Api-Api) ketika kedua kampung itu diserang Belanda dari semua jurusan: darat, laut, dan udara. Meskipun pemboman dari udara dilakukan dan tembakan meriam dari laut diarahkan terhadap kedua kampung itu, banyak penduduk yang mampu menyelamatkan diri (sebagian di antara yang tertembak meninggal di tempat).
Menurut Kartem, kemampuan menyelamatkan diri itu mereka peroleh berkat latihan yang intensif. Sebelum Pasukan Setan pimpinan M.A. Sentot menjadikan kedua kampung tersebut sebagai markasnya, para penduduk sudah dilatih menghadapi situasi perang. Pelatih mereka adalah penduduk mereka sendiri yang ketika zaman pendudukan Jepang menjadi tentara yang dilatih oleh para tentara Jepang.
Kampung Waledan dan Kujang, selama pasukan setan pimpinan M.A. Sentot bermarkas di situ, sangat tidak aman dari serangan tentara Belanda dan para anggota mata-matanya. Baik siang maupun malam, penjagaan diperketat untuk menghindari masuknya pasukan Belanda dan mata-matanya. Dalam soal penjagaan ini, ronda atau jaga malam digiatkan. M.A. Sentot, menurut pak Kartem, tak segan-segan menempeleng para penjaga yang kedapatan tertidur. Pak Kartem sendiri, sebagai pemuda di kampung tersebut, setiap malam berjaga malam.
Untuk mengenang pertempuan di kampung Waledan dan Kujang, di tempat itu, kini Cantigi, didirikan monumen bernama Monumen Kujang. Monumen didirikan semasa Indramayu berada di bawah pimpinan Bupati Irianto MS Syafiuddin.
Monumen tersebut secara umum berbentuk segi empat dengan tujuh tingkatan. Secara keseluruhan dilapis keramik berwarna putih. Di bagian paling atas terdapat senjata berupa kujang. Foto M.A. Sentot dipajang di bagian depan monumen tersebut sehingga bagi para pecinta sejarah sangat mudah mengenalinya sebagai komandan Pasukan Setan.
Namun, di balik kegagahan monumen yang terjaga secara baik itu, terselip pula kisah pilu pak Kartem sebagai saksi mata sekaligus pejuang yang membantu pasukan setan. Karena keluguannya, beberapa kali pak Kartem ditipu orang (mantan anggota pasukan Sentot). Jutaan rupiah sudah dikeluarkannya untuk memperoleh pensiun sebagai veteran. Betapapun dana telah ke luar, pak Kartem tak pernah memperoleh uang pensiun sebagai veteran, meskipun baju seragam sebagai veteran dapat diperolehnya.
Kisah sedikit lucu juga terdapat di balik monumen itu, khususnya di kalangan para remaja di kampung tersebut. Mereka sangat mengidolakan kehebatan perjuangan para gerilyawan di kampung itu. Sayang sekali, mereka tak banyak mengenal nama sejarah para pejuang yang bermarkas di kampungnya sehingga foto M.A. Sentot lebih mereka kenal dengan nama Marsheed. Para remaja kampung Kujang sangat mengidolakan Marsheed sehingga di tembok-tembok tempat mereka kongkow-kongkow digambari lukisan Marsheed. Padahal, menurut keterangan pak Kartem, Marsheed merupakan salah satu algojo pasukan setan yang dikenal tak kenal kompromi dalam membunuh lawan-lawannya, termasuk menghabisi para pengkhianat yang tidak setia kepada perjuangan kaum gerilyawan.
Meninggalkan Markas Waledan dan Kujang
Betapapun dendam sangat membara di hati para gerilyawan, namun perang tidak bisa dilakukan secara emosional saja. Perang memerlukan taktik, strategi, dan sekian banyak perhitungan jitu. Seusai serangan besar-besaran itu, pada malam harinya, M.A. Sentot memerintahkan seluruh pasukan gerilyawan meninggalkan markas Pasukan Setan di Waledan dan Kujang. Bagaimanapun pasukan harus mengikuti instruksi dari pucuk pimpinannya. Setelah perundingan, seluruh anggota Pasukan Setan pun melakukan hijrah sesuai isi perintah komandan.
Malam itu, meskipun hujan cukup deras semua pasukan bergerak menuju desa Tugu. Namun karena hujan cukup lebat, maka gerak maju pasukan hanya sampai di desa Waru. Barulah keesokan harinya, 9 Desember 1947, pasukan M.A. Sentot bergerak menuju desa Jatisura Kecamatan Lelea untuk mengatur rencana-rencana selanjutnya. Pengubahan siasat dilakukan, sebab di desa Jatisura sendiri sudah ada pasukan gerilya yang dipimpin oleh Kapten Sumo yang siap-siaga untuk menghadapi kemungkinan datangnya pasukan Belanda dari daerah Terisi. Akhirnya diputuskan bahwa pasukan pimpinan M.A. Sentot mengisi daerah yang masih kosong yaitu di Desa Sukamulya yang diperlukan untuk menghadapi datangnya pasukan tentara Belanda dari arah Jatibarang dan Jatitujuh.
Pada posisi di desa Sukamulya ini pasukan M.A. Sentot tetap melakukan gangguan dan penghadangan terhadap patroli polisi Belanda. Namun sayang sekali, dalam sebuah penghadangan di desa Tugu, justru salah seorang anggota pasukan pimpinan M.A. Sentot ditawan oleh pihak Belanda.
Kehebatan kelompok-kelompok gerilyawan di Indramayu telah membuka mata masyarakat bahwa pasukan Indonesia memang kuat keberadaannya. Belanda pun dipaksa harus membuat banyak rencana baru untuk menghadapinya. Pada saat itulah datang kurir dari pimpinan gerilya di wilayah III, yaitu Letnan Kolonel Abimanyu yang menyatakan bahwa Indramayu ditetapkan sebagai Komando Daerah Gerilya VI yang dipimpin oleh Mayor Sangun, dan Mayor M.A. Sentot
Terpancing Propaganda Belanda
Di akhir tahun 1947, menjelang 1 Januari 1948, pihak Belanda mengubah taktik pertempuran. Kali ini mereka menggunakan siasat perang urat syaraf (psy war). Tentara-tentara Belanda menggunakan tipu muslihat dengan menyebarkan surat-surat kaleng, desas-desus, selebaran gelap, dan penyebaran dokumen rahasia. Isi yang tersebar adalah bahwa Belanda akan mengakui 100% kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 1 Januari 1948. Lemahnya intellijen di kalangan gerilyawan menyebabkan rakyat terhasut oleh informasi menyesatkan ini. Tidak hanya rakyat, bahkan banyak anggota pasukan gerilyawan yang mengadakan pesta kemenangan berama rakyat untuk menyambut datangnya 1 Januari 1948 hingga larut malam.
Apa yang terjadi kemudian? Pasukan gerilya hampir kecolongan. Untunglah sekitar jam 05.00 segera datang laporan dari Pos Pengawas bahwa pasukan Belanda yang datang dari Jatibarang sudah berada di kampung Kerticala. Posisi pasukan Belanda yang sangat dekat dengan markas komando gerilya pasukan M.A. Sentot ini membuat para gerilyawan yang sedang kelelahan sehabis berpesta segera mengungsi ke pinggir-pinggir hutan. Kegesitan untuk mengungsi itu menyebabkan tidak terjadinya kontak senjata antara pasukan gerilyawan dan tentara Belanda karena tak satupun pasukan gerilya yang berhasil mereka temukan.
Ketika cuaca mulai terang, sebenarnya M.A. Sentot dan kawan-kawan akan segera menyerang kedudukan tentara Belanda. Namun niat itu tidak dilaksanakan sebab tiba-tiba pesawat pemburu Mustang Belanda berputar-putar di atas udara desa Sukamulya. Daripada menyerang yang bisa berakibat fatal, pasukan M.A. Sentot akhirnya berpindah posisi ke kampung Telagadua.
Awal Clash dengan Hisbullah
Sementara itu, kondisi pertempuran kian rumit. Keberadaan pasukan gerilyawan di desa Jatisura, Sukamulya, dan Telagadua bukan tanpa kendala. Pada pertengahan Januari 1948 ke markas gerilya pimpinan Kapten Satmoko datanglah seorang tamu bernama Hamid. Rupanya orang ini merupakan mata-mata pasukan Hizbulloh. Setelah itu malam harinya terjadilah penculikan di markas komando gerilya V. Pasukan Hizbulloh dikabarkan menculik Mayor Sangun, Letnah Sutejo, Achmad, dan Sudibyo. Sementara itu Kapten Satmoko berhasil meloloskan diri dalam penyergapan itu.
Inilah awal clash pasukan M.A. Sentot dengan pasukan Hizbulloh. Setelah penculikan itu, tiga tawanan mereka Letnah Sutejo, Achmad, dan Sudibyo dibunuh. Mayat ketiganya dibuang ke sungai Cimanuk. Dalam situasi seperti itu M.A. Sentot menerima laporan dari rakyat yang menyatakan bahwa tentara Belanda datang menyerang dari desa Sumber dengan tanpa berpakaian. Setelah laporan itu diperiksa, ternyata yang datang menyerang adalah pasukan Hizbulloh pimpinan Danu. M.A. Sentot yang menganggap pasukan Hizbulloh merupakan teman seperjuangan, sebab mereka sama-sama melawan Belanda, tidak merasa curiga atas kedatangan mereka.
Ternyata perhitungan M.A. Sentot meleset. Pasukan Hizbulloh menyerang pasukan M.A. Sentot yang bermarkas di desa Telagadua dari tiga jurusan. M.A. Sentot yang belum memahami persoalan itu seutuhnya segera memerintahkan pasukannya untuk mengundurkan diri ke hutan dan tidak memberikan tembakan balasan.
Sambil mengundurkan diri ke hutan, salah seorang dari pihak M.A. Sentot, yaitu Kapten Surya mengadakan kontak dengan pimpinan Hizbulloh, Danu. Dari kontak itulah diketahui bahwa pasukan Hizbulloh telah salah memilih sasaran. Mereka sedang mencari-cari pasukan gerilya pimpinan Letnan Purbadi yang telah berselisih dengan mereka untuk diminta pertanggungjawabannya. Mereka mengira bahwa anggota gerilya pimpinan M.A. Sentot merupakan anggota gerilyanya pimpinan Letnan Purbadi. Untuk menghindarkan diri dari pertempuran dengan sesama bangsa Indonesia, M.A. Sentot segera memindahkan pasukannya ke kampung Cimindel.
Dalam situasi gawat seperti itu datang perintah dari Letnan Kolonel Abimanyu agar semua pasukan diberangkatkan ke Majalengka, dan ditugaskan untuk menumpas pasukan Hizbulloh yang sudah merajalela. Pasukan Hizbulloh yang terkepung akhirnya meloloskan diri satu per satu. Pasukan pimpinan M.A. Sentot diberi tugas ke desa Asrama di sekitar Indrakila. Di daerah itu pun pasukan Hizbulloh telah menghilang. Pada saat itu, Mayor Sangun telah dibebaskan oleh pasukan gerilyawan yang dipimpin Letnan Emen Slamat. Selanjutnya para pasukan gerilya ini berpindah ke Majalengka.
Hijrah ke Yogyakarta
Perjanjian Renville ditandatangani oleh wakil pimpinan Republik Indonesia dan wakil Belanda. Berdasarkan isi perjanjian ini, maka seluruh gerilyawan harus meninggalkan kantong-kantong gerilya. Sebagai pasukan yang setia pada perintah pimpinan, maka para prajurit yang ada di kantong-kantong gerilya di Indramayu berjalan kaki pindah ke Majalengka. Mereka harus melalui desa Ujungjaya, kemudian berkumpul di desa Ciwaru. Di tempat inilah setelah berjalan kaki selama tiga hari tiga malam pasukan gerilya dari seluruh Karesidenan Cirebon berkumpul.
Setelah beristirahat selama beberapa hari, pimpinan Brigade V, melalui Kepala Staff-nya yaitu Mayor Kusno Utomo, memerintahkan agar semua pasukan berkumpul di Kuningan. Tempat ini merupakan tempat terakhir di mana seluruh pasukan akan diberangkatkan menggunakan kereta api menuju Gombong, Jawa Tengah. Dari kota ini pasukan melanjutkan perjalanan menuju Ketandan/Klaten. Dari situ mereka melanjutkan perlajanan ke Colomadu, dan berakhir di Tasikmadu.
Di daerah Tasikmadu inilah pasukan yang berasal dari Karsidenan Cirebon mengalami reformasi dan reorganisasi. Pasukan M.A. Sentot sendiri yang semula berada dibawah Bataylon V, kini ditempatkan di Batalyon I Resimen 12 Divisi IV Siliwangi, di bawah pimpinan Mayor U. Rukman yang membawahi para prajurit dengan susunan komandan sebagai berikut: Dan Kie I adalah Kapten M.A. Sentot, Dan Kie II adalah Kapten Mahmud Pasja, Dan Kie III adalah Kapten Mustofa, dan Dan Kie IV adalah Kapten A. Syukur. Sementara itu Kompi I membawahi beberapa Peleton yang terdiri dari: Peleton I dengan komandannya Letda Hasanuddin, Kompi II dengan komandannya Letda Nasuha, dan Peleton III dengan komandannya Letda Sudimantoro.
Kondisi para prajurit Divisi Siliwangi yang berasal dari Karesidenan Cirebon, selama berada di Jawa Tengah, memiliki banyak pengalaman yang tak terduga. Ternyata, hijrah ke wilayah lain provinsi tidaklah selalu menyenangkan. Saat itu, mereka banyak menerima kenyataan bahwa perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan yang belum lama diproklamasikan tidaklah mudah. Betapa tidak, pasukan yang seharusnya berada di kantong-kantong gerilya untuk mempertahankan kedudukan wilayah Republik Indonesia, ternyata harus hijrah ke wilayah lain.
Perubahan situasi dan kondisi yang mereka alami, yaitu suasana di kantong gerilya dan di pengungsian, jelas mencolok. Suka, duka, bahkan penderitaan batin dialami oleh para prajurit Batalyon Rukman selama mereka menempati Pabrik Gula di Tasikmadu, Jawa Tengah. Di tempat hijrah tersebut para prajurit Batalyon Rukman memahami bahwa perubahan suhu politik di Indonesia sedang terjadi. Perubahan politik ini tidak sedikit yang berdampak pada situasi dan kondisi di tubuh militer Indonesia.
Kondisi kehidupan politik yang sedang berubah itu sangat wajar jika berdampak pada para prajurit Batalyon Rukman. Mungkin di balik semua itu, pihak kerajaan Belanda memiliki skenario khusus untuk menghancurkan, setidaknya melemahkan kondisi militer Indonesia. Ketika para prajurit berkumpul di Jawa Tengah dan Yogyakarta, sangat mudah bagi pihak tertentu menyebarkan isu fitnah, propaganda, provokasi, dan selebaran gelap yang melemahkan mental prajurit. Cara Belanda mengadu domba antar unsur di kalangan masyarakat dalam tubuh Repubik Indonesia yang masih berusia dini itu bukan tidak disadari para prajurit Batalyon Rukman. Prajurit bisa diadu domba dengan prajurit. Bahkan ada pula upaya fitnah yang ujung-ujungnya mengadu domba prajurit dengan rakyat biasa.
Pamflet-pamflet dan selebaran gelap begitu mudahnya masuk dan beredar di kalangan prajurit dan rakyat sipil. Kalimat seperti ’dari Gunung Tidar’, ’dari Markas Murba Terpendam’ dan yang lainnya menjadi begitu akrab terdengar. Isinya memang propaganda politik. Selain itu penyebaran isu yang bertujuan melemahkan mental prajurit pun tak kalah hebatnya. Misalnya isu tentang tertawan dan kemudian meninggalnya Panglima Besar Sudirman. Isu tentang adanya persetujuan dari Jenderal Sudirman terhadap suatu Kongres Rakyat. Isu tentang prajurit yang pro dan anti pembentukan negara Indonesia sebagai negara federal. Isu tentang prajurit yang setuju dan anti perundingan dengan Belanda.
Pendek kata, isu politik dalam negeri semakin memanas karena berpadu dengan intrik-intrik tekanan Diplomatik dari pihak Belanda. Di jajaran para elite politik Indonesia sendiri, saat itu, sentimen kepartaian begitu mudah terluap. Kondisi perbedaan paham yang mencolok di antara partai-partai ini memungkinkan sangat mudahnya perpecahan di tubuh para petinggi Indonesia.
Bagi para prajurit Batalyon Rukman yang berasal dari Karesidenan Cirebon tentu saja tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan suasana yang sedang berubah cepat. Ulah para petualang politik pun menimbulkan masalah di tubuh militer. Karena propaganda tertentu, misalnya, para prajurit Batalyon Rukman pernah mengalami clash dengan para prajurit dari Resimen Lawu. Clash itu memanas sampai-sampai para prajurit Batalyon rukman pernah diserang oleh para prajurit lain dari tiga Batalyon di bawah Resimen Lawu.
Bentrokan bersenjata ini dihadapi secara serius oleh para prajurit yang tergabung dalam Kie I (pimpinan M.A. Sentot), Kie II, dan Kie IV. Akibatnya jatuh korban jiwa sia-sia tak terelakan. Para prajurit Resimen Lawu kemudian mengundurkan diri ke Karanganyar. Untuk meredakan ketegangan dan menjernihkan suasana, Bupati Karanganyar terpaksa turun tangan. Namun upaya Bupati ini mampu menghasilkan keputusan maksimal. Dengan pertimbangan untuk menghindarkan diri dari perang saudara antar sesama prajurit Indonesia, ditambah dengan situasi politik dalam negeri yang semakin memanas, maka diambil keputusan oleh Kemandan Batalyon, U. Rukman, untuk memulangkan seluruh prajurit Siliwangi kembali ke Jawa Barat, dan langsung menempati kantong-kantong gerilya.
Sumber : Majalah Mulia Harja Indramayu