LEGENDA DESA BODAS KECAMATAN TUKDANA
17 Mei 2017
Gerbang Desa Bodas |
Mereka bahkan berusaha membangun kekuatan tentaranya di sebuah hutan perbatasan antara Kabupaten Indramayu dan Majalengaka.
Sambil menunggu komando dari pihak kesultanan Mataram, beliau mendirikan sebuah pedukuhan yang bernama Bodas, berasal dari bahasa Sunda yang artinya “Putih” kejadian ini berasal ketika Nyi Mas Madusari sehabis membakar hutan belantara, beliau mandi di kali Cimanuk, yang pada saat itu sungai dijadikan alat transportasi utama dari hulu ke hilir.
Ketika beliau sedang mandi ada pedagang dari daerah sunda dengan menggunakan rakit melihat kecantikan Nyi Mas Madusari, beliau begitu cantik dan putih kulitnya, dengan spontan orang sunda tersebut berucap “Aya Jelma Bodas” maksudnya ada orang putih (cantik mulus).
Akhrinya jadi bahan perbincangan tentang kecantikan Nyi Mas Madusari tersebut, yang selanjutnya disebut buyut Bodas dan pemukimannya disebut Bodas.
Sekitar abad 16 masehi, seorang pangeran dari kerajaan Mataram yang bernama Sunan Kuning mempunyai tiga orang anak, dua laki-laki dan satu orang anak perempuan, anak pertama bernama Raden Dalem Leuseeng, anak kedua berjenis kelamin perempuan yang bernama bernama Nyi Mas Madu Sari dan anak ketiga laki-laki bernama Raden Mas Adiningrat atau Adi Wiradinata.
Sunan Kuning membawa pasukan perang atas perintah ayahnya untuk menyerang Belanda di Batavia, dengan membawa bala tentaran dan ketiga anaknya.
Raden Mas Adiningrat menjadi senopati perangnya, berangkatlah ke Batavia.
Berhari-hari melawati hutan dan pedesaan sampailah ketempat tujuan, Sunan Kuning bersama bala tentaranya menyerang Batavia sehingga terjadilah banjir darah, karena perlengkapan perang yang kalah canggih sehingga pasukan Sunan Kuning dan pasukannya terpukul mundur dan kembali ke Mataram.
Ditengah perjalanan pulang ketiga anaknya dan sebagian pasukannya tersesat dihutan, ketiga orang tersebut terpencar.
Raden Mas Dalem Luwiseeng tersesat dan tinggal di wilayah Majalengka (Desa Luwiseeng Kecamatan Kadipaten Kabupaten Majalengka), yang dua lagi tersesat di wilayah Indramayu yaitu Nyi Mas Madusari dan Raden Mas Adiningrat, dan tidak berniat kembali lagi ke Mataram, bahkan berusaha menyusun kekuatan kembali bila sewaktu-waktu bertempur kembali dengan Belanda.
Sekitar tahn 1691 M, Nyi Mas Madusari dan Raden Mas Adiningrat, dengan anak buahnya membuka lahan untuk pemukiman dan lahan pertanian untuk penghidupannya, yang pada saat itu masih berupa hutan belantara dengan membakarnya.
Hutan yang terbakar akan mati jika mendekati sungai-sungai yang ada disana maka kelak sungai-sungai itu dijadikan batas desa yaitu sungai Cimanuk dan sungai Cibuya.
Pada saat itu sarana transportasi dari daerah sunda ke Indramayu masih menggunakan sungai, yaitu Sungai Cimanuk. Bahwa sungai Cimanuk waktu itu merupakan sarana transportasi utama yang digunakan para pedagang dan urusan lainnya dengan menggunakan rakit bambu dan perahu kecil.
Ketika Nyi Mas Madusari sedang mandi di sungai, ada orang sunda lewat menggunakan rakit bambu melihat Nyi Mas Madusari yang berkulit putih maka orang itu menunjuk sambi berkata “Aya jelema bodas”.
Mengingat Nyi Mas Madusari sangat cantik dan kulitnya putih bersih, maka setelah kejadian itu menjadi buah bibir para pengguna sarana transportasi sungai yang kebanyakan dari daerah pasundan, bahwa daerah itu ada orang Bodas (aya jelma Bodas)
Sejak ada sebutan kepada Nyi Mas Madusari yang berkulit putih (Bodas), maka hutan yang telah dibakar dan dijadikan pemukiman diberi nama Pedukuhan Bodas yaitu sekitar tahun 1694 M.
Pada akhirnya Nyi Mas Madusari yang disebut juga Mas Mayangsari menetap di pedukuhan tersebut, Nyi Mas Madusari juga memelihara hewan kebo Dugul bule hasil pemberian dari keluarganya di Mataram, yang jinak dan selalu menemani dimanapun berada.
Demikian pula sang adik menetap di pedukuhan tersebut sampai berketurunan salah satu anaknya bernama Raden Nuralim atau Raden Nur Ngalim, yang dalam kelanjutannya pernah bertempur melawan Belanda, dengan gagah berani.
Sekarang kuburan Nyi Mas Madusari masih ada disamping masjid Jami Babusalam desa Bodas dengan sebutan Buyut Putih dan Kuburan Raden Mas Adiningrat masih ada di pekuburan umum dengan sebutan buyut Mas.
Sejak wilayah itu ditempati Nyi Mas Madusari dan adikya Raden Mas Adiningrat, penduduknya semakin berkembang sehingga ditunjukanlah seseorang yang dianggap cakap untuk memimpin wilayah desa Bodas yang bernama Ki Wirandanu sekitar tahun 1731.
Karena sudah ada pemimpinnya, maka wilayah Bodas itu dijadikan sebuah desa dengan nama desa Bodas.
Sejak ada sebutan kepada Nyi Mas Madusari yang berkulit putih (Bodas), maka hutan yang telah dibakar dan dijadikan pemukiman diberi nama Pedukuhan Bodas yaitu sekitar tahun 1694 M.
Pada akhirnya Nyi Mas Madusari yang disebut juga Mas Mayangsari menetap di pedukuhan tersebut, Nyi Mas Madusari juga memelihara hewan kebo Dugul bule hasil pemberian dari keluarganya di Mataram, yang jinak dan selalu menemani dimanapun berada.
Demikian pula sang adik menetap di pedukuhan tersebut sampai berketurunan salah satu anaknya bernama Raden Nuralim atau Raden Nur Ngalim, yang dalam kelanjutannya pernah bertempur melawan Belanda, dengan gagah berani.
Sekarang kuburan Nyi Mas Madusari masih ada disamping masjid Jami Babusalam desa Bodas dengan sebutan Buyut Putih dan Kuburan Raden Mas Adiningrat masih ada di pekuburan umum dengan sebutan buyut Mas.
Sejak wilayah itu ditempati Nyi Mas Madusari dan adikya Raden Mas Adiningrat, penduduknya semakin berkembang sehingga ditunjukanlah seseorang yang dianggap cakap untuk memimpin wilayah desa Bodas yang bernama Ki Wirandanu sekitar tahun 1731.
Karena sudah ada pemimpinnya, maka wilayah Bodas itu dijadikan sebuah desa dengan nama desa Bodas.