KULA DAN LUNGGUH DALAM MASYARAKAT KUNA INDRAMAYU KIDULAN
30 April 2018
Acara Adat Mapag Sri desa Cikedunglor Foto |
Kula berasal dari kata kawula, atau harfiahnya berarti pematuh sebagai rasa sayang dan hormat kepada yang lebih tua menurut garis/silsilah keluarga. Kata 'Kula' juga sering dipakai oleh orang-orang yang tawadhu sebagai wujud kerendahan hatinya dan tanda kesopan santunan.
Sementara 'Lungguh' memiliki arti 'yang lebih tua'. Lungguh adalah sebuah kata yang sangat diperhatikan oleh nenek buyut kita dalam memperjelas hubungan keluarga mana yang secara garis besar yang dituakan dan yang dimudakan bukan berdasarkan umur tapi didasarkan pada urutan sulung ke bungsu di generasi awal keluarga tersebut secara silsilah untuk kemudian berhak dipanggil 'kakang' atau 'yayu' walau tidak sekandung tapi tetap satu darah kendati secara usia lebih muda tapi nenek buyut kita tetap menegakan peraturan ini.
Dalam lingkungan masyarakat Indramayu kidulan dulu jika seseorang dipanggil oleh 'lungguh' maka yang dipanggil wajib menjawab 'kula'.
Lungguh bukan lambang supremasi atau superioritas, hingga semena-mena pada 'adiknya' sangat jauh maknanya dari tujuan nenek buyut kita dulu. Justru sang 'lungguh' dibebani urusan moralitas yang berat. Ia harus bisa memberi teladan baik pada 'adik-adiknya', sebagai pengayom, sebagai tempat rujukan dan hakim yang jujur.
Kini Kula dan Lungguh jarang dipakai lagi, sebagian malah tidak tahu siapa saudara-saudaranya sendiri (Kepaten Obor) karena berbagai hal.
Masihkah anda tahu siapa lungguh anda?
Harus diingat lungguh cuma melihat garis kekerabatan/keluarga. Lungguh tidak melihat tingkat pendidikan, kekayaan apalagi pangkat sehingga lungguh tidak mengenal perilaku patron feodalistik, tapi hanya mengenal yang lebih 'tua' harus diteladani agar bisa mengayomi (dadi gegogon tuwon).
Wong kuna mah bijaksana pisan ngatur tatanan kehidupan masyarakat.