DULU KETIKA TERJADI GERHANA KENAPA LESUNG HARUS DITABUH ?
03 Juli 2019
Berikut ini adalah kisah yang di kutip dari sebuah buku Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita.
Rahu adalah raksasa atau masyarakat Jawa menyebutnya sebagai “Buta” yang lahir dari pernikahan Dewi Sinhika dan Maharesi Kasyapa.
Rahu dengan Bathara Wisnu adalah satu ayah namun beda ibu sehingga keduanya masih memiliki hubungan darah.
Dari hasil pernikahannya dengan Maharesi Kasyapa, Dewi Sinhika memiliki 4 orang putra yakni Sucandra, Candrahantri, Candrapramardana dan yang terakhir adalah Rahu.
Rahu sangat benci sekali dengan Bethara Surya (Dewa Matahari) dan Bethara Soma (Dewa Bulan).
Rahu sangat benci sekali dengan Bethara Surya (Dewa Matahari) dan Bethara Soma (Dewa Bulan).
Saking bencinya tak jarang Matahari dan Bulan sering dimakan Rahu yang telah abadi dengan bentuk berupa kepala raksasa.
Kebencian Rahu terhadap kedua dewa tersebut berawal dari pengaduan keduanya kepada dewa wisnu yang menyebabkan leher rahu terpotong dan abadi dengan hanya memiliki kepala saja tanpa badan maupun kaki tangan.
Disebutkan pada suatu hari berkumpulah para dewa untuk meminum air keabadian yang bernama “Tirta Amreta.”
Disebutkan pada suatu hari berkumpulah para dewa untuk meminum air keabadian yang bernama “Tirta Amreta.”
Melihat hal itu Rahu yang memiliki wujud raksasa menjelma menjadi dewa agar dapat meminum “Tirta Amreta” dengan harapan kekal abadi seperti yang di alami oleh para dewa.
Setelah Rahu berganti wujud menjadi dewa dengan percaya diri si raksasa besar ini ikut berkumpul bersama para dewa. Seluruh dewa saat itu tidak menyadari bahwa sesungguhnya Rahu adalah raksasa bukan dewa. Rahu berhasil menipu seluruh dewa dan dapat meminum “Tirta Amreta.”
Baru seteguk Tirta Amreta yang diminumnya, dua dewa yakni dewa Matahari dan dewa Bulan kemudian menyadari bahwa Rahu sejatinya bukanlah dewa melainkan raksasa.
Baru seteguk Tirta Amreta yang diminumnya, dua dewa yakni dewa Matahari dan dewa Bulan kemudian menyadari bahwa Rahu sejatinya bukanlah dewa melainkan raksasa.
Mengetahui hal tersebut keduanya memberitahu dewa Wisnu bahwa Rahu adalah raksasa.
Dengan gerak secepat kilat, dewa Wisnu mengeluarkan senjata cakra dan melemparkannya ke arah leher Rahu hingga cakra tersebut memotong habis leher Rahu.
Kini tubuhnya terbelah menjadi dua bagian yaitu kepala dan badan. Hal tersebut dilakukan oleh dewa Wisnu agar Tirta Amreta tidak masuk kedalam tubuh Rahu yang tergolong Asura atau raksasa.
Namun apa yang dilakukan oleh dewa Wisnu ternyata sudah terlambat.
Namun apa yang dilakukan oleh dewa Wisnu ternyata sudah terlambat.
Tirta Amreta ternyata telah diminum dan telah sampai di tenggorokan Rahu.
Kepala Rahu yang telah tersentuh Tirta Amreta tetap abadi dan mengembara ke angkasa sedang badannya mati dan jatuh ke Bumi hingga suaranya bagaikan gunung yang longsor.
Kebencian Rahu terhadap dewa Matahari dan Bulan muncul setelah kepalanya terpenggal akibat pengaduan kedua dewa tersebut.
Kebencian Rahu terhadap dewa Matahari dan Bulan muncul setelah kepalanya terpenggal akibat pengaduan kedua dewa tersebut.
Rahu yang hanya berwujud kepala raksasa tanpa tubuh dapat terbang ke angkasa dan akan selalu mengejar-ngejar Bulan dan Matahari.
Jika Matahari dan Bulan tertangkap maka tak segan-segan Rahu akan langsung memakannya dan hal inilah yang menyebabkan adanya gerhana.
Menurut cerita rakyat yang telah turun temurun, saat leher Rahu di tebas oleh dewa Wisnu tubuh Rahu jatuh ke tanah dan berubah menjadi lesung.
Menurut cerita rakyat yang telah turun temurun, saat leher Rahu di tebas oleh dewa Wisnu tubuh Rahu jatuh ke tanah dan berubah menjadi lesung.
Sejak saat itu orang-orang pada zaman dahulu meyakini bahwa dengan memukul lesung berkali-kali sama halnya seperti memukul-mukul tubuh atau perut Rahu. Karena perutnya dipukuli, kepala Rahu yang sedang memakan Bulan atau Matahari mendadak menjadi pusing dan memuntahkan kembali Bulan atau Matahari yang baru dimakannya sehingga Bulan atau Matahari bersinar kembali seperti sedia kala.
Selain menggunakan lesung masyarakat Jawa juga menggunakan kentongan dan memukul batang pohon untuk menciptakan bunyi bunyian.
Selain menggunakan lesung masyarakat Jawa juga menggunakan kentongan dan memukul batang pohon untuk menciptakan bunyi bunyian.
Ketika gerhana telah usai masyarakatpun berhenti memukul lesung dan kentongan sebagai tanda bahwa Rahu telah memuntahkan Bulan maupun Matahari.
Selain nama “Rahu”, masyarakat jawa juga sering menyebut raksasa ini sebagai Bethara Kala namun bukan Bethara Kala putra bungsu dari Sanghyang Manikmaya, ada pula yang menyebutnya Rembuculung dan Kala Rudra.