"INLANDER" DALAM PRASASTI WURUDU KIDUL

Bila bangsa ini terlihat "minderan", jangan buru-buru berpikir bahwa itu soal takdir atau naluri bawaan.

Bila banyak saudara kita seolah demikian mudah tunduk dan menghamba pada mereka yang dianggap memiliki derajat lebih tinggi, bisa jadi memang by design atau faktor sengaja.

"Siapa yang design?"

Prasasti Wurudu Kidul yang bertahun 922 Masehi bercerita sebaliknya. Catatan pada prasasti itu justru menunjukkan kondisi yang sangat berbeda dengan keadaan kita hari ini.



Saat itu, negeri kita adalah tempat tujuan bagi banyak bangsa asing. Orang-orang yang berasal dari Khmer, India, Afrika, China, Arab-Yamani, Persia, datang, berdagang dan bahkan menetap di negeri ini. 

Anehnya, bukan mereka menduduki kelas atau strata yang tinggi, seperti cara kita melihat orang asing saat ini, justru sebaliknya. Apapun posisinya, entah sebagai pedagang atau pekerja, mereka masuk dalam kelas Kilalan. Kelas dimana bahkan lebih rendah dari kasta sudra.

"Apa buktinya?"

Prasasti Wurudu Kidul. Itu adalah dua buah prasasti yang dipahatkan pada satu lempeng tembaga. Prasasti ini merupakan sebuah Jayapatra atau prasasti yang membahas mengenai persoalan hukum.


Isi prasasti Wurudu Kidul itu memaparkan sebuah kasus hukum terkait seorang warga Wurudu Kidul bernama Sang Dhanadi. 

Dia mendapatkan Surat Jayapatra, yang dalam makna tertentu, itu bisa bermakna seperti surat keputusan pengadilan.

Dengan diperolehnya Surat Jayapatra dari hakim dan pejabat negara kependudukan, maka status Sang Dhanadi menjadi sama dan sederajat dengan penduduk setempat yang lain, yaitu sebagai Wong Yukti.

Sebelumnya Sang Dhanadi dicurigai sebagai warga keturunan Weka Kilalan karena bentuk fisiknya yang berbeda dengan penduduk setempat. 

Itu sebabnya, Sang Dhanadi  diperiksa di pengadilan terkait statusnya apakah dia keturunan Weka Kilalan atau keturunan Wong Yukti.

Lalu atas kesaksian beberapa saksi yang konon berasal dari beberapa Desa dan bersumpah bahwa Sang Dhanadi adalah keturunan pribumi asli dengan pembuktian urut-urutan yang dapat dibuktikan mulai dari kakek, nenek hingga buyutnya, sang Dhanadi akhirnya memperoleh Surat Jayapatra dari pengadilan. 

Surat itu sekaligus adalah bukti bahwa ia adalah wong Yukti dan sama sekali bukan keturunan Weka Kilalan sebagaimana diduga sebelumnya.

"Apa sih yang dimaksud Wong Yukti, dan Wong Kilalan?”

Wong Yukti dalam bahasa Jawa Kuno adalah manusia terhormat dan dihormati. Di sana juga melekat makna kedudukan tinggi dan agung yang disematkan karena faktor keturunan seseorang sebagai warga asli oleh pemerintahan saat itu.


Sementara Wong Kilalan, maknanya bisa termasuk pelayan, pembantu dengan penekanan terkait derajat yang lebih rendah. Kedudukan dan sebutan Wong Kilalan sekaligus diberikan kepada semua penduduk asing dan keturunannya.

"Maksudnya, pada waktu itu, strata warga asli lebih tinggi dari orang asing?"

Bila merujuk pada prasasti itu, demikianlah aturannya. Bahkan dengan tersematnya kedudukan sebagai Wong Yukti, pribumi konon justru dilarang bekerja menjadi pelayan. Mereka yang bekerja sebagai pelayan, sudah pasti adalah warga asing.


"Apakah kelak pada jaman Majapahit itu masih berlaku?"

Kedudukan hukum wong Kilalan, pada jaman Majapahit justru diatur dengan cara lebih tegas lagi.

Undang-undang yang menetapkan kedudukan wong Kilalan ke dalam status Mleccha, menetapkan status sosial mereka berada dua tingkat di bawah golongan sudra.

"Lantas, kenapa sekarang berbeda?" 

Bisa jadi, itu dimulai dari kelakuan gila penjajah Belanda. Disetujuinya Perjanjian Giyanti antara VOC dengan pihak Kerajaan Mataram yang diwakili oleh Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi pada 13 Februari 1755, adalah pintu masuknya.


Namun, secara sistematis dan terprogram, tatanan sosial yang menempatkan kulit putih atau warga negara Belanda sebagai warga negara kelas satu, Cina-Arab-India, sebagai warganegara kelas dua dan pribumi sebagai warga negara dengan kelas paling rendah. 

Itu dimulai sejak 1 Mei 1848 saat peraturan kependudukan diberlakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.


Sejak saat itu, pribumi adalah kaum pelayan di tanah tumpah darahnya sendiri. Dan sejak saat itu juga, mentalitas pribumi sengaja dibuat runtuh.

Dan maka, menjadi kebelanda belandaan pada awalnya, sering menjadi pilihan pribumi hanya demi terlihat naik kelas. Dan maka, menjadi kearab araban di masa kini juga menjadi pilihan atas jalan pintas itu. 

Keduanya adalah tentang MINDER menjadi asli Indonesia. Keduanya, tentang mentalitas INLANDER seperti Belanda maksudkan.

Foto-foto hanya ilustrasi 

Sumber : Nitnot

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel