KH. AMIN MUBAROK (Bagian 2)

Masa Keemasan

Masa keemasan Pondok Pesantren Sirojut Tholibin terjadi sekitar tahun 1980 sampai tahun 1990. Waktu itu jumlah santri hampir mencapai angka 200 orang mukimin dan non mukimin. Suatu angka yang cukup fantastis untuk ukuran Ndeso di zaman cindil abang di wilayah Indramayu saat itu.



Masa kejayaan ceramah pun berlangsung sekitar tahun itu (1980-1990). Undangan ceramah datang mulai dari desa-desa tetangga, merambah terus sampai ke wilayah Jawa Tengah sering beliau terima. Waktu itu, sehari atau semalam kadang Kyai Amin naik ke lebih dari satu panggung, kadang dua panggung, bahkan kadang tiga panggung. Frekwensi manggung Kyai Amin yang begitu padat membuat beliau semakin populer. Popularitas inilah yang pada akhirnya membuat nama Kyai Amin makin diperhitungkan dalam dunia organisasi dan atau politik.

Masa keemasan organisasi berlangsung antara tahun 1992 – 1999, ketika itu Bupati Kabupaten Indramayu di jabat oleh Ope Mustopa. Jabatan-jabatan strategis seperti Rois Syuriah NU Kab. Indramayu, Ketua Forum Komunikasi Pondok Pesantren Kabupaten Indramayu, Ketua Umum Ikatan Persaudaraan Haji Cabang Kabupaten Indramayu, anggota Dewan Penasehat (Wanhat) Golkar, anggota juru kampanye Golkar, Ketua Umum MUI Kabupaten Indramayu, dan masih banyak lagi jabatan-jabatan lain yang secara kultural beliau sandang. Disamping kedekatan beliau pada sang Bupati yang banyak menimbulkan fitnah-hasud tersendiri pada masa itu, MUI kabupaten Indramayu (yang waktu itu di pimpin oleh beliau) di beri kendaraan plat merah, sebuah kendaraan yang seharusnya diberikan hanya kepada pejabat-pejabat khusus (tertentu) dalam sebuah pemerintahan karena memandang jabatannya.

Masa-masa Buram

Masa keemasan Pondok Pesantren Sirojut Tholibin, dan masa kejayaaan ceramah agama sedikit demi sedikit mulai memudar seiring dengan bergabungnya beliau ke Golkar. Maklum, Nahdlatul Ulama sebagai organisasi sosial keagamaan yang beliau ikuti membuat garis kebijakan Khittah (1984) yang membuat Kyai Amin sebagai Rais Syuriah Kabupaten Indramayu waktu itu mengambil kebijakan melepaskan diri dengan PPP, dan bergabung dengan Golkar. Keputusan itu diambil, disamping alasan kepentingan umat yang lebih besar, juga karena mengikuti kebijakan PBNU Jakarta. Hal itu terjadi pada tahun 1987.

Kegiatan organisasi Kyai Amin tidak pernah berhenti. Pada tahun 1971, ketika NU dianakemaskan oleh pemerintah Orde Baru sehubungan dengan peristiwa berdarah G 30 S / PKI, beliau mendapat tawaran untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Kabupaten Indramayu (DPRD Indramayu) mewakili Partai Persatuan Pembangun (PPP) dari unsur NU. Tawaran tersebut beliau terima, dan Kyai Amin tercatat sebagai salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Indramayu masa bakti 1972 – 1977.

Pada tahun 1977 terjadi pergolakan politik yang sedikit memanas. Ketegangan politik antara PPP dan Golkar yang didukung pemerintah dan militer, membuat nama Kyai Amin menjadi salah satu nama yang di cari-cari oleh lawan-lawan politiknya. Birokrasi, massa fanatik Golkar, dan intelejen militer selalu mencari celah untuk dapat “menghabisi” Kyai Amin.

Puncaknya, pada tahun 1982, Kyai Amin ditangkap dan dimasukkan ke penjara di Cirebon. Penangkapan ini, disamping berkaitan erat dengan pilihan politik Kyai Amin yang bersebrangan dengan pemerintah orde baru, juga karena ia dianggap sebagai salah satu tokoh yang memiliki banyak massa.

Pada tahun itu 

juga, beliau dipilih secara aklamasi sebagai Rais Syuriah Nahdlatul Ulama Kabupaten Indramayu masa khidmat 1982 - 1987. Di akhir kepemimpinannya (1987), Kyai Amin memutuskan sebuah kebijakan fenomenal dan kontroversial, keluar dari PPP, kemudian bergabung dengan Golkar.

Di tahun 1987 sampai 1992, organisasi Nahdlatul ‘Ulama dipercayakan kepada senior beliau, KH Khudlori Jatibarang. Pada tahun inilah, Kyai Amin fokus mengurusi Pondok Pesantren Sirojut Tholibin sampai menampung santri sekitar 200-an orang mukimin dan non-mukimin. Selain itu juga, kegiatan ceramah berlangsung sampai ke wilayah Jawa Tengah bagian barat.

Pada tahun 1992, beliau dipilih kembali oleh Nahdliyyin untuk memimpin NU sebagai Rais Syuriah masa khidmat 1992 – 1997. Diakhir kepemimpinan beliau di NU (1997), jabatan Ketua Umum MUI kabupaten Indramayu sempat lowong, menyusul meninggalnya ketua umum MUI waktu itu, yaitu KH. Munawwir Amin dari Indramayu dalam sebuah kecelakaan. Pemerintah Daerah (Bupati) ketika itu, meminta Kyai Amin untuk menduduki posisi tersebut.

Pada Konferensi Cabang Nahdlatul ‘Ulama Kabupaten Indramayu tahun 1997, Kyai Amin ditempatkan sebagai Musytasyar, sehubungan dengan jabatan baliau sebagai ketua umum MUI. Rois Syuriah di jabat oleh almukarrom KH. Masduki Pawidean Jatibarang, dan ketua tanfidziyah di pegang oleh H. Maksudi Jatibarang.

Akhir tahun 1997 awal tahun 1998 Indonesia bergejolak. Dimulai dari krisis moneter, berakhir dengan tumbangnya Orde Baru. PBNU lewat PCNU di akhir 1998 mendirikan sebuah Partai politik untuk mewadahi aspirasi politik warga Nahdliyyin pasca tumbangnya Orde Baru. Partai itu adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Diawal pembentukannya, PKB sempat kisruh mengenai persoalan ketua umum. Awalnya diserahkan ke bapak H. Dalil Umar, belakangan kemudian digantikan oleh bapak H. Dedi Wahidi.


Pada Musyawarah Daerah (MUSDA) MUI Kabupaten Indramayu tahun 1999, berdasarkan voting, Kyai Amin terpilih sebagai ketua Umum MUI Kabupaten Indramayu masa bakti 1999 – 2004. (Bersambung bagian 3)


Baca Bagian 1  DISINI

Baca Bagian 3  DISINI


Penulis : KH Amin Mubarok

Sumber : Buku Jejak Ulama Nahdlatul Ulama Indramayu

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel