Legenda Geusan Ulun dan Harisbaya
Konon disuatu tempat tanpa mengenal lelah dan sepertinya menikmati peperangan tersebut, kedua orang patih dari Sumedanglarang kelihatan santai dan bernyanyi kecil dalam setiap pertempuran.
Tetapi sebaliknya Kanjeng Sunan Gunung Jati, Sultan Maulana Hasanudin, Sultan Patang Aji, Raden Kilab dan panglima perang kerajaan Demak tampak makin kebingungan untuk mencari cara mengatasi kehebatan kedua orang patih Sumedang Larang tersebut. Tampak sekali raut wajah putus asa diantara mereka.
Untuk sementara perang dihentikan dan Kanjeng Sunan beserta keluarga kerajaan mencari cara, taktik dan strategi melawan kesaktian Patih Jaya Perkasa dan Terong Peot. Akhirnya diputuskan untuk meminta nasehat kepada Mbah Walang Sungsang Cakrabuana (mantan Sultan Cirebon yang kini menjadi pendeta).
Sesampainya di kediaman Mbah Walangsungsang, mereka menceritakan masalah yang sedang dihadapi.
”Begini Eyang, maafkan kami atas kelancangan bicara dan perbuatan kami selama ini. Kami meminta saran kepada Eyang. Mungkin saja Eyang bisa memberikan solusi buat kami".
"Pasti ini masalah pertentangan kalian dengan Sumedanglarang, sungguh salah kalian datang kemari untuk meminta pendapat kepada Eyang. Saat ini hidup Eyang sudah tenang dan tidak mau diganggu oleh kehidupan dunia yang fana, penuh kebencian dan cara-cara yang kotor “
"Eyang, yang kami lakukan adalah kebenaran dan itu menjadi hak kami untuk memintanya, tolonglah kami Eyang, sudah banyak pasukan kami yang terbunuh oleh dua orang Patih kerajaan Sumedanglarang yang sakti tersebut"
"Apa ? Hanya dengan dua orang Patih saja, Sumedanglarang dapat mengalahkan kalian ? Sungguh hebat Jaya Perkasa dan Terong Peot. Tidak salah mereka menjadi Patih Abadi yang terpercaya oleh Prabu Munding Wangi, Kakek Buyut Kalian sendiri".
"Ternyata Eyang tahu mereka, beritahu kami bagaimana caranya menghadapi kesaktian mereka!"
"Tahukah kalian bahwa sesungguhnya kalian itu semuanya bersaudara. Kerajaan Cirebon dan Sumedanglarang sama-sama keturunan Pajajaran. Untuk apa kalian harus berperang cuma gara-gara seorang perempuan yang telah gelap karena nafsu setan yang menyelimutinya sehingga membabi buta cintanya. Karena perempuan itu pula, Kanjeng Sunan telah berbuat khilaf sehingga menikahinya tanpa pernah menanyakan keikhlasan cinta perempuan tersebut."
"Kami mohon maaf Eyang atas kekhilafan kami tapi tolonglah bantu kami anak cucu Eyang sendiri."
"Baiklah, bagaimanapun kalian adalah anak cucu Eyang, begitu pula Geusan Ulun masih cucu Eyang juga tapi ingat cukup sekali ini saja terjadinya perang saudara di tanah pasundan dan tidak boleh ada lagi."
"Kami mendengar dan patuh menjalankan perintah Eyang .."
"Raden Kilab, segeralah kamu pergi ke Dermayu dan temui Endang Darma . Katakan ini perintah saya dan dia sudah tahu apa yang harus dilakukan.."
"Baik Eyang !"
"Sultan Patang Aji segera temui Ki Batu Tameng di Trusmi dan perintahkan dia untuk melawan Patih Jaya Perkasa."
"Siap Eyang !"
"Anakku Sunan Gunung Jati, kau ambil pusaka Wila Lodra di dalam kamar pusaka. Kemudian kau bacakan mantra ini maka dia akan berubah wujud menjadi seorang manusia dan katakan kepadanya untuk bertarung melawan Terong Peot...."
"Nggih Eyang !"
"Segeralah kalian pergi dan ingat jangan kalian bunuh rakyat jelata yang tidak tahu menahu tentang urusan kalian terutama rakyat Sumedang Larang. Lindungi mereka dan jaga alam sekitar. Silakan kalian dipersilakan pergi karena saya mau meditasi lagi."
Singkat cerita, segeralah Kanjeng Sunan melakukan rapat mendadak dan dikumpulkan semua anggota keluarga dan panglima perangnya. Disamping itu berkumpul juga Endang Darma, Wila Lodra dan Ki Batu Tameng. Sesuai titah semula maka mulailah melakukan tugas masing-masing.
Keesokan paginya dengan jalan beriringan Ki Batu Tameng dan Wila Lodra mencoba menyelinap masuk ke wilayah Sumedang Larang.
Terjadilah pertarungan yang seru antara Jaya Perkasa melawan Ki Batu Tameng. Sementara Terong Peot melawan Wila Lodra. Pertarungan yang seimbang, hari berganti hari, siang berganti malam sampai berminggu-minggu pertarungan dua pasang petarung berlangsung dan tidak ada yang kalah maupun yang menang serta tidak mengenal lelah.
Endang Darma menjalankan siasatnya yaitu berubah wujud menjadi seorang perempuan cantik dengan nama Endang Ciptawati (ciptaan siluman) dan pura-pura berlayar di tengah-tengah sungai Cimanuk yang besar, dalam dan deras arusnya. Ini dilakukan untuk menarik perhatian Prabu Geusan Ulun yang berada di Dayeuh Luhur, sebuah bukit yang tinggi dan tempat ini aliran sungai Cimanuk jelas kelihatan.
Benar saja, Prabu Geusan Ulun tanpa sengaja melihat seorang perempuan cantik berlayar sendirian di sungai dalam nan deras dan sepertinya perempuan tersebut tampak ketakutan. Segeralah Prabu Geusan Ulun menuruni bukit dan langsung berenang ke sungai untuk menolong perempuan cantik tersebut. Dinaikilah perahu tersebut dan diarahkan ke pinggir sungai. Dalam pergerakan menuju pinggir sungai, perempuan tersebut mengaku bernama Endang Ciptawati dan ingin pulang ke rumahnya yang berada beberapa kilometer dari arus deras tersebut.
Akhirnya Prabu Geusan Ulun menawarkan dirinya untuk mengantarkan sampai ke pinggir sungai dekat dengan rumah perempuan tersebut. Baru saja duduk untuk mendayung perahu tersebut, tiba-tiba dari belakang perempuan jelmaan itu mengayunkan senjata pamungkas yang menjadi kelemahan Prabu Geusan Ulun ke arah leher. Dan terpenggallah kepala Prabu Geusan Ulun dari tubuhnya. Kepalanya dibiarkan hanyut di sungai.
Sementara itu pertarungan empat orang sakti tadi diputuskan untuk gencatan senjata dahulu. Kesempatan inilah yang dipakai oleh Patih Jaya Perkasa menemui Prabu Geusan Ulun. Sesampainya di Dayeuh Luhur, Jaya Perkasa tidak menemui rajanya. Setelah melihat sekeliling akhirnya matanya tertuju ke potongan kepala yang mengambang di sungai. Segeralah Jaya Perkasa menghampirinya.
Betapa terkejut dan sedihnya Jaya Perkasa setelah melihat potongan kepala tersebut yang ternyata adalah potingan kepala Prabu Geusan Ulun.
"Kurang ajar Kau Endang Darma, akan kubalas suatu saat nanti. Lihat saja suatu saat nanti akan kutenggelamkan kerajaan dan keturunanmu di Dremayu. Tunggu saja pembalasanku."
Mendengar teriakan Jaya Perkasa, segera diikuti oleh Terong Peot, Konang Hapa dan Sanghyang Hawu (keduanya keluar dari hutan) meratapi kesedihan yang mendalam ditinggal oleh raja yang sangat dimuliakan dan dicintainya.
Tanpa banyak bicara dan tampak marah Jaya Perkasa langsung menuju tempat persembunyian Nyi Mas Ratu Harisbaya. Ditariknya rambut Nyi Mas Ratu Harisbaya keluar dan dikeluarkanlah pedangnya.
"Gara-gara kau perempuan durjana, rajaku mati sia-sia. Ini pembalasanku…..jrottttttttt “
Dipenggallah leher Nyi Mas Ratu Harisbaya dan langsung dibawa kepalanya ke Dayeuh Luhur. Rupanya disana telah berkumpul 3 orang Patih lainnya dan disepakati untuk dikubur kedua kepala dalam makam yang berbeda dan saling bersebelahan.
Kemudian Patih Jaya Perkasa mengumpulkan Terong Peot, Konang Hapa dan Sanghyang Hawu.
"Mulai hari ini saya mengundurkan diri dari jabatan patih Sumedanglarang. Saya mengharapkan kalian melakukan hal yang sama tapi itu saya serahkan kepada kalian “
”Kami bertiga akan turut perintah Kakanda..."
"Bagus kalau begitu. Raja telah wafat dan saatnyasaya mau menghilang. Jangan sekali-kali mencari saya tetapi saya akan muncul dengan sendirinya apabila raja memerintahkan untuk berkumpul di suatu hari nanti, Saya akan muncul dalam wujud 40 tapi hanya satu yang benar. Saya akan selalu melindungi turunan Tetesan Wisnu Trahing Kusumah Dewa Kemanusiaan dan pasti akan muncul untuk berperang demi turunan tersebut. Tapi ingat jangan sekali-kali membawa keturunan Nyi Mas Ratu Harisbaya ke Dayeuh Luhur kalau tidak ingin terjadi apa-apa. Ingat itu, saya akan pergi."
Ditancapkannya tongkat Jaya Perkasa yang setinggi pohon kelapa itu. Dari tancapannya tersebut keluar tujuh sumur, yaitu Ciasihan/Ciginasihan, Cikajayan, Cikahuripan, Cikawedukan, Ciderma, Ciseger/Menceger, dan Cipaingan; yang berdekatan satu sama lain. Kemudian Jaya Perkasa langsung lompat ke jurang dan menghilang. Tapi saat lompat ternyata banyak pusaka Jaya Perkasa yang beterbangan kemana-mana. Misalnya Pedang yang dipakai untukmemenggal Nyi Mas Ratu Harisbaya tersebut terlempar dan tertancap di depan mesjid agung Karawang, tasbih yang biasa dipakai untuk berzikirnya terlempar ke Medang Asem Karawang dan masih banyak lagi.
Sepeninggalnya Jaya Perkasa diikuti oleh menghilangnya Terong Peot, Konang Hapa, dan Sanghyang Hawu. Dan sampai sekarang tidak ada yang mengetahui apakah keempat patih tersebut telah meninggal dunia atau menghilang tanpa jejak. Belum ada yang mengetahui dimana makam-makam mereka yang ada hanya petilasannya saja
Sejak saat itulah kerajaan Sumedang Larang dikuasai oleh Kerajaan Cirebon tapi Kanjeng Sunan menyesali apa yang telah terjadi selama ini. Sudah banyak orang yang telah kehilangan nyawanya demi sebuah nafsu dalam balutan cinta buta. (Soe)