Politisi “Al-Fatihah”
Kenapa politik itu, mungkin tepatnya politisi, seolah identik dengan hal-hal yang kurang elok? Ketika orang mendengar kata itu. Kok seperti alergi. Padahal sejatinya nun jauh disana, dalam sejarahnya, ditujukan untuk mengatur kota. Mengatur kebaikan bersama. Biar jadi kota atau negara yang teratur. Rakyatnya makmur. Negeri yang Gemah Ripah Loh Jinawi. Tidak saling sikut. Ada dalam maqomnya masing-masing. Sesuai dengan tupoksi dan tanggung jawabnya. Ada yang jadi pembuat kebijakan. Ada yang jadi pelaksana kebijakan. Dan pengawas kebijakan. Lahirlah Trias Politika. Yang menyejarah itu.
Apa yang salah? Jangan-jangan memang bukan “politik”, tapi politisinya. Yang tidak tahu sejarah politik, bukan itu alasannya. Tahu sih tahu sejarahnya, tapi melaksanakannya yang susah. Perlu integritas. Perlu penuh komitmen, akan nilai-nilai luhur itu. Bukan hanya nilai yang ada dalam kitab suci yang dipercayainya. Tapi juga dalam nalar kemanusiaan. Gunakanlah akal dalam mengkaji agama, terutama kitab suci. Maka nilai-nilai agama akan terlihat penuh rahmat dan nilai kemanusiaan. Tidak ada nilai agama, yang bertentangan dengan akal sehat. Semuanya, make sense. Karena Laa Diina Liman La Aqla lah.
Mari ingatkan kembali, tujuan utama politik. Tujuan utama menjadi politisi. Tengoklah kembali ke dalam diri. Ke dalam praktek sehari-hari. Terutama ketika melakukan ibadah mahdhah. Sholat itu yang dihasilkan dari Isra’ Mikraj. Yang diperingati belum lama ini, bukankah bisa cacat sholat seseorang jika tidak membaca tujuh ayat itu? Bukankah di awal pagi kita sudah membaca surat pembukaan itu? Diawal shalat fajar kita? Tinggal implementasikan dalam seharian penuh. Nilai-nilai kandungan yang ada dalam melangkah dan mengarungi. Dalam memulai setiap langkah keseharian kita. Apapun profesi kita. Termasuk politisi. Supaya tidak batal jadi politisi. Politisi yang baik, politisi yang tujuan utamanya dimulai dengan niat.
Dimulai dengan atas nama Allah. Bukan atas nama yang lain. Menebarkan kasih. Menyebarkan sayang atas nama Tuhan. Tuhan sebagai puncak penebar kasih, penebar sayang. Siapapun politisi itu, perlu diniatkan menebar kasih sayang. Bagi pemilihnya. Bagi kader-kadernya. Bagi keluarganya. Bagi masyarakatnya. Dan bagi makhluk sekalian alam. Makhluk yang berakal. Makhluk yang tidak berakal. Janganlah politisi yang fokus pada makhluk berakal. Dan lupa menyapa makhluk yang tidak berakal. Makhluk sekalian alam. Bukankah kasih dan sayang dari Dzat Yang Maha Menyeluruh tak lihat etnis, tak lihat suku bangsa, tak lihat agama, tak lihat makhluknya ‘akilin atau ghair ‘akilin?. Semuanya disapa oleh kasih sayangnya.
Jadilah politisi yang diguide dengan Rahman dan Rahim. Yang tidak hanya menyapa, kelompok pemilik suara. Politisi yang baik, dengan bimbingan kasih dan sayang. Langkahnya lurus. Langkahnya bijaksana. Segala gerak-geriknya akan ditujukan atas nama pengabdian. Demi merealisasikan rasa syukurnya. Terutama kepada Tuhannya. Kepada Dzat satu-satunya yang berhak mendapatkan pujian dari semua makhluknya. Karena dialah Dzat yang merawat. Dzat yang memelihara. Dzat yang mengawasi sekalian alam. Maka apapun profesi kita, di dunia ini, termasuk politisi, perlu terus menghaturkan pujian. Pujian kepada Tuhan. Janganlah merasa karena banyak pendukung, karena banyak yang memilih, maka lupa diri. Karena banyak pujian dari sana-sini. Padahal pujian itu hanya hak Dzat Yang Esa. Dzat yang wajib dipuji. Pujian itu, hanya milik Tuhan.
Tuhan pemelihara seluruh alam. Rahman dan Rahim-Nya tidak terbatas. Politisi yang baik adalah politisi yang sadar akan posisinya. Meskipun ia terpilih. Menjadi penguasa, di level manapun, mulai dari level paling rendah sampai level paling tinggi, ia tetap sadar. Bahwa kekuasaan yang diraihnya, sebagai salah satu tujuan politik, hanya sementara. Tidak abadi. Bukankah itu sunatullahnya? Roda kekuasaan itu akan terus berputar dari waktu ke waktu. Penguasa itu sangat dibatasi oleh masa jabatan. Politisi itu sadar bahwa pemilik absolut kekuasaan adalah Tuhan. Bahkan Dia adalah Dzat yang Merajai. Yang menguasai dua alam sekaligus. Bahkan Yang Merajai hari Pembalasan. Politisi yang baik sadar akan adanya pengadilan yang hakiki, di hari pembalasan. Dengan kesadaran itu. politisi akan hati-hati dalam meraih dan menjalankan tujuan politiknya. Hati-hati ketika menggenggam kekuasaan. Ingat akan pengadilan abadi. Ingat akan Tuhan yang omni present.
Politisi yang baik adalah politisi yang tahu tujuan utama hidupnya.
Hanya untuk pengabdian. Hanya untuk beribadah kepada Tuhan. Politisi yang baik tidak pernah galau. Tidak pernah ingin dilihat prestasinya oleh ketua partainya. Oleh kader-kader di bawahnya. Oleh konstituennya. Ia tetap bekerja atas nama pengabdian. Atas nama beribadah kepada Tuhan. Ia tetap konsisten dengan nilai-nilai kebaikan. Apapun komentar sinis dari atasan dan bawahan. Ketika kritik muncul dari sesama kader partainya, dari oposisi partainya, ssal bukan teguran dari Tuhan, ia tetap istikomah. Hanya kepada-Nya, ia mengabdi. Hanya kepada-Rabbnya, ia meminta pertolongan.
Politisi yang baik tidak galau dalam menjalani karir politiknya. Ia selalu bergantung kepada petunjuk kebenaran. Selalu berdoa agar mendapatkan petunjuk. Agar ditunjukkan contoh tauladan karir politik orang-orang shaleh. Orang-orang, yang meskipun berada di jalur politik, selalu menjalankan nilai-nilai kebaikan dalam politik. Jalan yang lurus dalam berpolitik. Jalan yang teguh atas prinsip dan nilai kebenaran. Terutama jalan politisi-politisi terdahulu. Yang lurus dan istikamah. Bukan jalan para politisi yang mendapat laknat. Politisi yang keluar rel.
Politisi yang dibenci oleh konstituennya. Oleh individu dan masyarakat yang diwakilinya. Bukan pula jalan para politisi yang dzalim. Yang tidak menyuarakan kebenaran. Yang tidak menyuarakan kepentingan rakyat. Maka wahai para politisi. Jadikan surat al-Fatihah sebagai fondasi dan alat ukur kebaikan dalam berpolitik.
Penulis : Ahmad Ali Nurdin, Guru Besar Ilmu Politik Islam, Dekan FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung