T O A : ANTARA TERIAK DAN BERBISIK
Salah satu panca indera yang lima, mata atau penglihatan, telinga atau pendengaran, hidung atau penciuman, lidah atau pengecap, dan kulit atau perasa, yang pertama kali difungsikan oleh Allah swt adalah telinga atau pendengaran. Kenapa telinga? Telinga atau pendengaran biasa bekerja dengan suara atau audio. Suara atau audio ini mampu melewati ruang yang tertutup. Baik tertutup secara fisik material, maupun tertutup secara non fisik material.
Bayi di dalam kandungan ibunya, konon katanya bisa mendengar suara degup jantung ibunya. Tidak aneh dan tidak heran para bijak bestari, orang orang arif zaman dahulu menganjurkan ibu-ibu hamil untuk banyak-banyak mengaji atau bersenandung riang, karena sang jabang bayi pun ikut menikmatinya. Begitu lahir, telinga kanan bayi segera diadzani oleh ayah nya. Ini amat sangat jelas sekali peran dan pengaruh suara dalam diri seseorang. Kita tidak tahu persis, mengapa hal ini, mengadzani bayi baru lahir, harus dilakukan, kecuali bahwa suara itu bisa menembus ruang yang tidak kita duga.
Ketika seseorang menghadapi sakaratul maut, sanak kerabat dianjurkan membaca kalimat thoyyibah di telinganya. Ini pun sama, kita tidak dapat menerka mengapa harus dilakukan, kecuali kita hanya dapat penjelasan dahsyatnya suara dalam memulai dan mengakhiri keimanan seseorang. Bahkan, konon katanya, ketika di alam kubur, janazah masih bisa mendengar suara terompah dan sandal para pengiring janazah. Ini juga sama, tidak ada penjelasan lain, kecuali bahwa suara itu dapat menembus ruang ruang spiritual yg tidak kita duga. Tidak aneh dan tidak heran, orang-orang arif zaman dahulu tetap menasehati atau mentalqin mayyit saat dikubur. Barangkali seperti itulah korelasinya.
Penjelasan sederhana di atas menjadi penting berkaitan dengan suara. Artinya, bila suara itu sangat penting dalam membentuk kepribadian dan karakter seseorang, maka volume suara pun menjadi penting dalam menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Ada keterikatan yang signifikan, antara suara dengan kualitas emosi seseorang. Suara pelan bahkan berbisik, ternyata kekuatannya jauh lebih besar, dalam mempengaruhi orang lain, dibanding suara berteriak. Bahkan syetan saja tidak pernah berteriak dalam merayu manusia. Syetan selalu berbisik dalam menyampaikan rayuannya.
وَقُلْ رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ (۹۷) وَأَعُوْذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُوْنَ (۹۸) – المؤمنون
97. Dan katakanlah: “Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan bisikan syaitan. 98. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.” (Al Mukmninuun 97-98).
Ayat ini semacam pertanda bahwa berbisik sebagai bagian dari kegiatan audio suara, bersuara dengan volume rendah, lebih sukai oleh syetan dalam mengajak dan merayu manusia. Tidak hanya syetan yang bersuara lembut dan berbisik dalam merayu manusia, suara lembut dan berbisik tidak berteriak adalah salah satu etika dalam berdoa.
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِيْ نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيْفَةً وَدُوْنَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ .
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A`râf [7]: 205).
Dari ayat di atas, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad tiga hal: menyebut dan mengingat Allah dalam hatinya dengan satu : merendahkan diri dan dua : rasa takut serta tiga : tidak mengeraskan suara.
Dalam sebuah hadis dijelaskan:
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يَجْهَرُونَ بِالتَّكْبِيرِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ.
“Dari Abû Mûsâ al-Asy`ari, beliau berkata, “Kami bersama Nabi saw dalam sebuah perjalanan, lalu orang-orang bertakbir dengan semangat dan suara yang keras. Nabi saw bersabda, “Hai manusia, kasihanilah diri kalian! Kamu tidak menyeru Tuhan yang tuli dan ghaib, tapi kamu menyeru Tuhan Yang Maha Mendengar dan Mahadekat, Dia bersama kalian.” (HR. Muslim dan al-Bukhâri).
Pesan Kanjeng Nabi ini seperti mengingatkan kita agar tidak berteriak dan lebih mengutamakan berbisik berhadapan dengan Gusti Allah swt.
Dalam surat al Hujurat ayat 2, Allah swt pun telah menjelaskan tentang hal ini, teriak dan berbisik.
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَن تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ ﴿ الحجرات : ۲
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.(QS. Al-Hujurat : 2)
Ayat di atas juga seperti mengingatkan pada kita tentang teriak dan berbisik. Ayat itu malah menggunakan redaksi instruktif (kata Perintah dan biasanya oleh Ulama Ushul Fiqih dihukumi WAJIB) untuk tidak berteriak. Hal ini menunjukkan bahwa kebalikan dari berteriak, yaitu berbisik menjadi sesuatu yang wajib atau dihukumi wajib, selain berbisik juga merupakan media yang tepat dan efektif serta efesien dalam menyampaikan pesan.
Demikian, semoga bermanfaat.
Sumber : FB KH. Munawwir Amin