Legenda Buaya Putih Desa Jatisawit
Konon ceritanya, Ki Talunkanta yang sedang menjala ikan di sungai Cimanuk hari itu sedang apes. Pasalnya, seharian itu tak satu ekor ikan pun yg ia dapat. Namun pada menjelang sore hari, jalanya menangkap seekor anak buaya. Lumayan lah, pikirnya. Daripada tidak mendapat apa2, lebih baik anak buaya itu dia bawa pulang. Kebetulan diapun tidak mempunyai anak. Maka anak buaya itu dia pelihara sebagai anak angkatnya. Dan istrinya pun sangat menyayangi anak buaya itu, seperti anak kandungnya sendiri.
Awalnya, anak buaya itu ia taruh di pendil, semacam tempat air dari tanah. Setiap hari anak buaya itu ia kasih makan ikan hasil tangkapannya di sungai cimanuk. Namun lama kelamaan, setelah anak buaya itu sdh mulai besar, Ki Talunkanta kebingunan. pasalnya, pendil itu sdh tidak mampu menampung tubuh anak buaya itu. Maka, ia pun membuat balong di belakang rumahnya, sebagai tempat tinggal si anak buaya.
Tahun berganti tahun, maka si anak buaya itupun semakin besar.
Pada suatu waktu, Kuwu Jagantaka sedang mengadakan pesta rakyat. Mungkin semacam acara unjungan desa atau mapag sri, menjelang panen raya. Berbagai kesenian daerah digelar selama 3 hari berturut. tari topeng, pagelaran wayang kulit, tayuban, dll.
Pada saat itu Kuwu Jagantaka mempunyai seorang putri yg amat cantik. Banyak pemuda yg tertarik padanya. Namun sang putri hanya tertarik dengan seorang pemuda tampan yg ia kenal di acara pesta itu. Namanya Jaka Bajul. Karena sang putri ini memang sdh waktunya untuk menikah, dan hubungan putrinya itu dengan si Jaka Bajul amat dekat, maka Kuwu Jagantaka memanggil si Jaka Bajul kerumah.
"Wahai pemuda, siapakah namamu? Anak siapakah engkau? Soalnya aku baru melihat seorang pemuda setampan engkau di desa ini, " tanya Kuwu Jagantaka.
"Nama saya Jaka Bajul, Pak Kuwu. Saya putra dari Ki Talunkanta."
Pak Kuwu Jagantaka berfikir sejenak. Bukankah Ki Talunkanta tidak mempunyai seorang anakpun? Tapi mengingat ia adalah seorang lebe, mungkin Jaka Bajul adalah salah seorang santrinya.
Suatu hari Kuwu Jagantaka mendatangi kediaman Ki Talunkanta membicarakan hubungan anaknya dengan Jaka Bajul. Ki Talunkanta pun memanggil semua santri2nya. Namun semua tak ada yg mengaku bernama Jaka Bajul.
Ki Talunkanta hafal betul semua santri2nya. Tak mungkin santri2nya berbohong padanya. Lalu siapa Jaka Bajul yang mengaku2 sebagai putranya? Akhirnya ia curiga pada buaya kecil peliharaannya. Sejak semula ia yakin, kalau buaya itu bukan buaya sembarangan.
Akhirnya pada suatu malam Ki Talunkanta dan istrinya mendatangi balong tempat buaya peliharaannya.
"Wahai Jaka Bajul, aku tahu siapa dirimu sebenarnya. keluarlah dari dalam balong itu dan perlihatkan wujud aslimu !"
Sungguh terkejut Ki Talunkanta dan istrinya. Ternyata buaya peliharaannya itu berubah wujud menjadi lelaki yang begitu tampan. Ketampanan pemuda itu tiada bandingannya diantara para santri dan pemuda di desanya.
"Sembah baktiku wahai rama dan mimi. Sayalah Jaka Bajul anak angkatmu itu!" sembah Jaka Bajul pada kedua orang tua angkatnya. Wahai tampan betul anak ini. Pantas saja anak Pak Kuwu Jagantaka begitu tergila2 padanya.
"Ceritakanlah siapa dirimu sebenarnya," tanya Ki Talunkanta.
"Sebenarnya saya adalah pangeran dari kerajaan siluman buaya putih sungai cimanuk. Saya sedang tersesat saat bermain2 di pinggir sungai. Dan beruntung rama menemukan saya, dan mau memelihara saya. Maka terimalah sembah bakti saya kepada rama dan mimi."
Singkat cerita, akhirnya diadakanlah pesta pernikahan antara Jaka Bajul dan Katijah, putri Kuwu Jagantaka.
Lama-kelamaan Jaka Bajul bermaksud akan membawa isterinya ke negaranya sendiri, yaitu di dasar sungai. Setelah diijinkan oleh orang tuanya, Katijah mengikti suaminya. Bajul mengajaknya ke tepi sungai, lalu Bajul membaca mantera sehingga air laut itu seakan tidak tampak lagi dan membantuk jalan besar. Di situ kedua suami-isteri dihormati oleh seluruh keluarga beserta teman-temannya dari dasar sungai.
Jaka Bajul tidak memiliki pekerjaan tetap, ia jarang tinggal di rumah. Sebelum pergi meninggalkan rumah, ia berpesan pada istrinya supaya tidak naik ke para (bagian atas langit-langit rumah). Memang sudah menjadi kebiasaan manusia melanggar sesuatu yang dilarangnya. Katijah naik ke atas para meski sudah dilarang suaminya. Ia ingin tahu mengapa suaminya melarangnya. Begitu sampai di atas para, sampailah ia ke daratan. Katijah merasa bingung dengan kejadian itu. Ia menangis sambil pulang ke rumah ayahnya.
Seminggu setelah kejadian itu, Jaka Bajul datang ke rumah Ki Kuwu Jagantaka untuk menanyakan isterinya. Sesudah bertemu, Katijah tidak mau diajak kembali. Akhirnya ia berpesan kepada rakyat Jatisawit:
“Kalau nanti ada ribut-ribut di desa Jatisawit atau ada serangan dari desa lain, bunyikan bedug ini, nanti saya akan datang memberi bantuan”. Bedug itu dibuat oleh Joko Bajul sendiri da diserahkan kepada Kuwu Jagantaka. Sesudah pesan tersebut Bajul pulang ke negaranya, yaitu di dasar sungai cimanuk.
Karena merasa takut akan adanya peristiwa datangnya buaya itu, maka sampai sekarang di desa Jatisawit tidak pernah dibunyikan bedug. Akhirnya bedug tersebut dihanyutkan ke sungai, dan masjid Jatisawit tidak memiliki bedug lagi.
Sebenarnya ada 2 versi tentang orang tua angkat Jaka Bajul, yaitu Ki Talunkanta dan versi lain Ki Kamal. Dan Kuwu yg menjabat di desa Jatisawit saat itu ada tg menyebutkan Ki Jagantaka, dan versi lain Ki Kuwu Sardana.
Mana yg betul wallahu alam.
Sumber : Bang Alim