BEYOND TRIBALISM, MENGAPA HARUS?
Hampir 77 tahun Indonesia Merdeka, Setelah sekian tahun --Reformasi 1998-- keinginan berdemokrasi secara substansial tidak sekadar prosedural serta upaya penegakkan Hak Asasi Manusia pada setiap warga negara, juga memberantas Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN). Kenapa tersaksikan pemerintahan "Indonesia" berasa tribalisme?
Pemerintahan tribalisme merupakan bentuk pemerintahan purba yang biasanya berupa pemerintahan gabungan dari beberapa suku yang saling melindungi agar kekuasaan - kejahatannya efektif dan KKN yg dilakukan aman dan terkendali.
Setidaknya terdapat dua bentuk kekuasaan "Tribalisme", yaitu; Pertama, tribalisme despotik, di mana pemimpin diperoleh dari peperangan antar suku. Suku yang menang akan menjabat sebagai pemimpin. Elitenya merangkap sebagai dukun atau pemuka agama tetapi tidak bertanggung jawab pada siapapun kecuali pada dirinya. Pemimpin biasanya semau sendiri dan memerintah sampai mati.
Kedua, tribalisme demokratik, di mana pemimpin diangkat di antara suku-suku yang berembuk untuk memilih pemimpin dari kepala suku yang ada dan menjabat sampai mati. Baik despotik maupun demokratik, pemerintahan tribal pasti KKN, diwariskan dan kekuasaanya mutlak.
Dua model tribalisme itu kini jelas terlihat & mentradisi di Indonesia. Mungkinkah hal itu karena Indonesia hidup sebagai negara tanpa logos? Sebuah negara yang cuma menghidupi "mitos", ritus, situs, tikus dan kultus tanpa kritis? Dalam hal ini diperlukan refleksi sedikit serius.
Pertanyaan awal adalah mungkinkah hal tersebut terjadi masif karena tindakan "elite" dalam kehidupan politiknya berasa di negara tanpa Tuhan --walau ada kalimat KETUHANAN YANG MAHA ESA dalam dasar negara?
Sehingga Indonesia menjadi "Negara" yang menghidupi kolusi dan nepotisme. Dimana "kolusi" merupakan permufakatan jahat (melawan hukum) antar oknum pemerintah dan pihak lain yang merugikan orang banyak dan negara.
Sedangkan "Nepotisme" adalah perilaku haram yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat.
Kolusi dan nepotisme merupakan buah dari korupsi: sebuah tindakan, sikap dan mental nyolong, ngutil, nyopet, nggarong dan ngerampok demi kekayaan "haram" untuk diri, keluarga dan kelompoknya -- tribalnya saja. Adalah "Realitas" atau Peristiwa yang melahirkan defisit bangsawan, defisit "Negarawan", bahkan surplus bangsat(wan). Penulis menyebutnya sebagai, sebuah Defisit "AKAL BUDI".
Apakah memang, zaman berjalan tanpa panduan. Dunia sedang menuju desakralisasi, demoralisasi dan deintelelektualisasi secara masif, terstrukturisasi dan terkonstruk secara sistematis. Sementara saat bersamaan, para "penjaga" republik diam seribu bahasa. Termangu dan limbo. Rakyat umum tidak tahu solusinya. Tersihir dan pragmatis. Padahal, pelakunya itu-itu saja. Oligarki yang rakus bin serakah. Sekelompok syaitan berwajah manusia yang berfilsafat keinginan, anti kebutuhan.
Padahal "rejim" di setiap kekuasaan sudah menyepakati untuk menghancurkan hal tersebut dalam negara dan pemerintahan. Caranya, dengan hidup berdasar tujuh asas, yaitu:
ASAS KEPASTIAN HUKUM
_adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
ASAS TERTIB PENYELENGGA-RAAN NEGARA
_adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
ASAS KEPENTINGAN UMUM
_adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
ASAS KETERBUKAAN _adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
ASAS PROPORSIONALITAS
_adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
ASAS PROFESIONALITAS
_adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ASAS AKUNTABILITAS
_adalah asas yang menentukan setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dus, kita praksiskan asas itu dalam semua hal, terutama dalam berbangsa dan bernegara. Beyond tribal. Itu kuncinya. Tanpa itu, jangan mengaku sudah berdemokrasi, ber-HAM, ber-PANCASILA apalagi berAGAMA. Semoga!
Jakarta 12 Juli 2022
Penulis : Donny Dunda, Aktivis Aldera Bogor & Alumnus Universitas Pakuan tahun 1996.