Catatan Penting Dari Blora Kisah Keluarga Mastoer
27 September 2022
Diberi kesempatan saat bertugas ke Blora, berkunjung ke rumah pak Mastoer. Ayahanda dari Pramoedya Ananta Toer sastrawan legenda Indonesia...rumah tempat Pram dan adik-adiknya tumbuh, berproses hingga remaja. Walaupun rumah tersebut sudah tdk seperti aslinya, tapi setidaknya ada beberapa bangunan asli yang masih terawat hingga kini.

Pak Mastoer sosok priyayi kecil, hanya seorang guru dan sempat menjadi Kepala Sekolah Taman Siswa di Blora. Berdasarkan catatan, Mastoer menempati rumah tersebut, diluar maenstream keluarga priyayi yang ada pada saat itu, yang biasanya berdiam di lokasi sekitaran pendopo atau alun-alun Kabupaten. Mastoer memilih lokasi rumah agak ke pinggiran pusat kota, sebagai upaya ikhtiar Dia utk bisa tinggal dan bertetangga dengan rakyat kebanyakan.
Dari Mastoer Lahirlah Generasi Sastrawan Hebat
Mastoer menikahi putri dari Penghulu Rembang, S Umi Saidah. Dari pernikahan ini lahirlah anak-anak Mastoer yg kelak akan memiliki nama besar dalam dunia kesastraan Indonesia.
Berdasarkan catatan, Mastoer mendidik anak-anaknya dengan cara keras. Sedangkan melalui doa2 dan kelembutan istrinya, anak-anak Mastoer merasa terayomi. Walaupun hal itu tdk berlangsung lama, karna Istri Mastoer harus wafat terlebih dahulu meninggalkan sebagian anak-anaknya yang masih kecil.
Tapi berkat didikan tersebut, dan doa2 kebaikan dari ibunya. Anak-anak keluarga Mastoer bisa menjadi sosok-sosok yang tangguh dan memiliki potensi besar dalam dunia sastra di Indonesia. Sebut saja Pramoedya, anak tertua dari keluarga Mastoer. Karya-karya sastranya diakui sebagai masterpiece bagi karya sastra dunia. Setidaknya sudah 5 bahasa karya-karya Pram telah dialih bahasakan.
Kemudian Koesalah Toer, beberapa karya sastranya dan hasil terjemahan sastra asing karya dari Koes ini juga telah memenuhi deretan karya sastra Indonesia yang berbobot. Lalu, Soesilo Toer, anak paling muda. Yang sempat penulis temui. Pun menghasilkan karya-karya sastra dan terjemahan yg juga memenuhi deretan karya sastra Indonesia hingga saat ini.
Dianggap Kiri dan Terasing
Pergolakan sejarah politik bangsa ini, pasti memakan korban. Termasuk didalamnya adalah keluarga Pa Mastoer ini. Setidaknya, sepengetahuan penulis, ketiga anak Mastoer yang Gandrung dalam dunia sastra dan terjemahan. Menjadi salah tiga dari korban-korban pergolakan politik tersebut .
Pram, Koesalah dan Soes harus menelan pahitnya pergolakan politik. Ketiga orang ini terkategori kan kelompok kiri, komunis, yang dianggap makar oleh negara.
Mereka bertiga harus merasakan dinginnya Sel Penjara. Harus tersingkir bertahun-tahun. Dan setelah bebas pun mereka harus rela terasing dari masyarakat umum.
Agama dan Silsilah Keluarga Mastoer
Efek dari korban pergolakan politik yg dirasakan keluarga Mastoer ini, salah satunya banyak khalayak umum yang mempertanyakan atau mengasumsikan bahwa keluarga Mastoer adalah kelompok kiri yang tidak beragama.
Asumsi-asumsi liar tersebut, hasil dari upaya propaganda politik dari pihak pemenang, dengan menafikkan fakta, maupun catatan-catatan yang ada. Sejatinya keluarga Mastoer, merupakan asli berasal dari keluarga besar santri. Mastoer sendiri merupakan anak dari Penghulu Kediri, Kyai Ibrahim. Mastoer kecil sempat mengenyam pendidikan agama secara intens melalui ayahnya dan juga melalui saudara2 ayahnya yang merupakan keluarga pesantren di Kediri.
Sedangkan istri dari Mastoer, Umi Saidah. merupakan anak dari Penghulu Rembang, sosok Kyai Juga. Yang jika dirunut berdasarkan pengakuan dari Soesilo Toer, masih memiliki jalinan kerabat dekat dengan Keluarga Kyai Zubair, ayahanda dari Mbah Maemun Sarang.
Dan soal pertalian nasab dan perkawinan dalam lingkungan keluarga santri pada saat itu bahkan hingga kini. Pasti akan berputar dan berjalinan dari keluarga Kyai satu ke keluarga Kyai lainnya.
Dari catatan nasab ini, dan dari catatan keluarga. Bahwa bisa dipastikan jika keluarga Mastoer memiliki tradisi keagamaan yang kental ala keluarga santri kebanyakan.
Namun, karna efek pergolakan politik. Latar dari keluarga santri dan kultur keagamaan dari anak-anak Mastoer ini semakin terkikis. Melahirkan sikap skeptis dan apatis dengan kelompok2 Islam. Seperti penuturan dari Soesilo Toer, saya ini sudah kenyang dihina-hina oleh Kyai Ini, ustad itu, karna persoalan dituduh tdk bertuhan, tdk beragama. Toh, mereka-merek yang nuduh itu sekarang pada kena stroke. Islam itu humanis, Islam itu sosialis, tapi para tokoh dan penganutnya saja yang tidak bisa mengamalkan Islam secara utuh.
Saat penulis tanyakan pada Soesilo Toer berkaitan dengan agama yang dianutnya. Beliau berkata tegas saya ini Islam, tapi lebih cocok dengan ajaran Dharma dari Budha.
Tapi setelah penulis, ingatkan tentang bagaimana latar dari ayah dan kakek leluhurnya yang merupakan keluarga besar santri. Pak Soes, dengan mata menerawang, mengatakan dia berkehendak jika ada kesempatan agar Ia bisa naik haji sebagai wujud pamungkas dari jalan spiritualnya.
"Kalau bisa aku diberangkatkan haji, tapi uang saya tidak cukup" begitu ungkapnya dengan mata menerawang dan berkaca-kaca.
Dan yang mengharukan lagi, sebelum penulis pamit. Penulis mohon izin pada Pak Soes, utk mengirimkan hadiah Fatihah utk arwah Pak Mastoer, Kakek Buyutnya dan juga utk Pramoedya. Pa Soes mengizinkannya dan saat dibacakan bersama-sama surah Al Fatihah, mata pak Soes terus menerawang dan teduh. Mungkin dia kembali terkenang dengan masa-masa lampaunya, terkenang dengan orangtuanya, terkenang dengan sikap keji politik yg mengorbankannya, terkenang dgn keluhuran dari kakek buyutnya, dan juga mungkin terkenang bahwa ada batas usia bagi manusia...
Wallahu alam. Semoga karya-karya sastra dari keluarga Pak Mastoer ini bisa menghadirkan manfaat yang positif utk bangsa ini dan bisa menjadi amal jariyah bagi leluhurnya, orangtanya, dirinya dan anak keturunannya....amiin.
Penulis : R. Riyadu Topeq

Pak Mastoer sosok priyayi kecil, hanya seorang guru dan sempat menjadi Kepala Sekolah Taman Siswa di Blora. Berdasarkan catatan, Mastoer menempati rumah tersebut, diluar maenstream keluarga priyayi yang ada pada saat itu, yang biasanya berdiam di lokasi sekitaran pendopo atau alun-alun Kabupaten. Mastoer memilih lokasi rumah agak ke pinggiran pusat kota, sebagai upaya ikhtiar Dia utk bisa tinggal dan bertetangga dengan rakyat kebanyakan.
Dari Mastoer Lahirlah Generasi Sastrawan Hebat
Mastoer menikahi putri dari Penghulu Rembang, S Umi Saidah. Dari pernikahan ini lahirlah anak-anak Mastoer yg kelak akan memiliki nama besar dalam dunia kesastraan Indonesia.
Berdasarkan catatan, Mastoer mendidik anak-anaknya dengan cara keras. Sedangkan melalui doa2 dan kelembutan istrinya, anak-anak Mastoer merasa terayomi. Walaupun hal itu tdk berlangsung lama, karna Istri Mastoer harus wafat terlebih dahulu meninggalkan sebagian anak-anaknya yang masih kecil.
Tapi berkat didikan tersebut, dan doa2 kebaikan dari ibunya. Anak-anak keluarga Mastoer bisa menjadi sosok-sosok yang tangguh dan memiliki potensi besar dalam dunia sastra di Indonesia. Sebut saja Pramoedya, anak tertua dari keluarga Mastoer. Karya-karya sastranya diakui sebagai masterpiece bagi karya sastra dunia. Setidaknya sudah 5 bahasa karya-karya Pram telah dialih bahasakan.
Kemudian Koesalah Toer, beberapa karya sastranya dan hasil terjemahan sastra asing karya dari Koes ini juga telah memenuhi deretan karya sastra Indonesia yang berbobot. Lalu, Soesilo Toer, anak paling muda. Yang sempat penulis temui. Pun menghasilkan karya-karya sastra dan terjemahan yg juga memenuhi deretan karya sastra Indonesia hingga saat ini.
Dianggap Kiri dan Terasing
Pergolakan sejarah politik bangsa ini, pasti memakan korban. Termasuk didalamnya adalah keluarga Pa Mastoer ini. Setidaknya, sepengetahuan penulis, ketiga anak Mastoer yang Gandrung dalam dunia sastra dan terjemahan. Menjadi salah tiga dari korban-korban pergolakan politik tersebut .
Pram, Koesalah dan Soes harus menelan pahitnya pergolakan politik. Ketiga orang ini terkategori kan kelompok kiri, komunis, yang dianggap makar oleh negara.
Mereka bertiga harus merasakan dinginnya Sel Penjara. Harus tersingkir bertahun-tahun. Dan setelah bebas pun mereka harus rela terasing dari masyarakat umum.
Agama dan Silsilah Keluarga Mastoer
Efek dari korban pergolakan politik yg dirasakan keluarga Mastoer ini, salah satunya banyak khalayak umum yang mempertanyakan atau mengasumsikan bahwa keluarga Mastoer adalah kelompok kiri yang tidak beragama.
Asumsi-asumsi liar tersebut, hasil dari upaya propaganda politik dari pihak pemenang, dengan menafikkan fakta, maupun catatan-catatan yang ada. Sejatinya keluarga Mastoer, merupakan asli berasal dari keluarga besar santri. Mastoer sendiri merupakan anak dari Penghulu Kediri, Kyai Ibrahim. Mastoer kecil sempat mengenyam pendidikan agama secara intens melalui ayahnya dan juga melalui saudara2 ayahnya yang merupakan keluarga pesantren di Kediri.
Sedangkan istri dari Mastoer, Umi Saidah. merupakan anak dari Penghulu Rembang, sosok Kyai Juga. Yang jika dirunut berdasarkan pengakuan dari Soesilo Toer, masih memiliki jalinan kerabat dekat dengan Keluarga Kyai Zubair, ayahanda dari Mbah Maemun Sarang.
Dan soal pertalian nasab dan perkawinan dalam lingkungan keluarga santri pada saat itu bahkan hingga kini. Pasti akan berputar dan berjalinan dari keluarga Kyai satu ke keluarga Kyai lainnya.
Dari catatan nasab ini, dan dari catatan keluarga. Bahwa bisa dipastikan jika keluarga Mastoer memiliki tradisi keagamaan yang kental ala keluarga santri kebanyakan.
Namun, karna efek pergolakan politik. Latar dari keluarga santri dan kultur keagamaan dari anak-anak Mastoer ini semakin terkikis. Melahirkan sikap skeptis dan apatis dengan kelompok2 Islam. Seperti penuturan dari Soesilo Toer, saya ini sudah kenyang dihina-hina oleh Kyai Ini, ustad itu, karna persoalan dituduh tdk bertuhan, tdk beragama. Toh, mereka-merek yang nuduh itu sekarang pada kena stroke. Islam itu humanis, Islam itu sosialis, tapi para tokoh dan penganutnya saja yang tidak bisa mengamalkan Islam secara utuh.
Saat penulis tanyakan pada Soesilo Toer berkaitan dengan agama yang dianutnya. Beliau berkata tegas saya ini Islam, tapi lebih cocok dengan ajaran Dharma dari Budha.
Tapi setelah penulis, ingatkan tentang bagaimana latar dari ayah dan kakek leluhurnya yang merupakan keluarga besar santri. Pak Soes, dengan mata menerawang, mengatakan dia berkehendak jika ada kesempatan agar Ia bisa naik haji sebagai wujud pamungkas dari jalan spiritualnya.
"Kalau bisa aku diberangkatkan haji, tapi uang saya tidak cukup" begitu ungkapnya dengan mata menerawang dan berkaca-kaca.
Dan yang mengharukan lagi, sebelum penulis pamit. Penulis mohon izin pada Pak Soes, utk mengirimkan hadiah Fatihah utk arwah Pak Mastoer, Kakek Buyutnya dan juga utk Pramoedya. Pa Soes mengizinkannya dan saat dibacakan bersama-sama surah Al Fatihah, mata pak Soes terus menerawang dan teduh. Mungkin dia kembali terkenang dengan masa-masa lampaunya, terkenang dengan orangtuanya, terkenang dengan sikap keji politik yg mengorbankannya, terkenang dgn keluhuran dari kakek buyutnya, dan juga mungkin terkenang bahwa ada batas usia bagi manusia...
Wallahu alam. Semoga karya-karya sastra dari keluarga Pak Mastoer ini bisa menghadirkan manfaat yang positif utk bangsa ini dan bisa menjadi amal jariyah bagi leluhurnya, orangtanya, dirinya dan anak keturunannya....amiin.
Penulis : R. Riyadu Topeq