PUISI-PUISI DARI BELAKANG GEDUNG DPRD
Puisi #1 :
Ayahku Berpulang Predator Tak Garang
Menjadi paket yang serasi
Untuk predator sejati ia begitu garang
Ia memberi tahu bahwa jika ia bukan pemain sembarangan
Runtuh tubuh gempal mu
Lamban cara permainan mu
Ia tak bergairah lagi
Ia pun tak semangat lagi
Ia tak ingin lagi bermain
Aku mencintaimu
Dengan segenap asa yang tak terbilang
Aku tetap setia menyambangi mu
Sepenuh hati
Ayah mengapa kau pergi
Ayah janganlah tinggalkan aku sendiri
Aku tak kuat berada di sini
Saat aku di tinggal oleh mu
Harap ku memudar
Sesak
Menyesak dalam dada
Lirih ucap tak lagi sama
Hancur berkeping jadinya
Musnah janji berdua semula
Kini aku sendiri berkawan teman teman oleh
rasa simpati
Adrianomu tenggelam bersama dengan
kepergianmu ayah
Puisi #2 :
Seperti Debu Obat Nyamuk
Di sudut jendela
Ku temukan selembar kertas
Menganga lubang di lantai paling atas
Ada kenangan mengetuk
Awan itu kelabu
Yang penuh keindahan seisi jiwa
Sudah kubuka kisah keindahan
Bersimpul tentang cinta
Namun demikian itu hanya sebuah
Kebohongan semata wayang belaka
Aku dibuatnya takjub dengan
Manisnya janji yang dia beri padaku
Hayal di bawanya terbang tinggi
Rapuh hati melihat mu bersama nya pergi
Perasaan ku terhapus
Menguap seperti debu
Menghilang seperti abu
Lihat : Perjalanan di ujung Indramayu Barat
Puisi #3 :
Cinta Semangkuk Mie Instan
Adakah rindu tersisa untukkuKala malam datang
Menjelang di hadapan
Mekar bersemi di untaian kasih
Jumpa cinta pertama
Sinar mata selalu menggoda
Aku tak tahu mengapa
Kau membuat ku resah
Betapa indahnya hari ini
Jika dia datang lagi
Agustus yang indah
Tak mungkin ku lupakan
Sampai akhir nanti
Membayangkan jika kita bersama sama
Duduk di warung sederhana
Melihat senja di atas sana
Suap suapan mie bersama
Semoga hari itu tiba lagi
Ya semoga
Puisi #4 :
Jerawat Anak Perjaka
Kala diri berusia 26 tahunMakin hari makin bertambah umur yang tidak
tahu sampai kapan masih ada di sini banyak
perjalanan yang panjang
Dan tak bisa di bilang melalui kata
Jakun mulai membesar
Suara mulai meninggi
Hasrat anak muda menggebu-gebu
Emosi semangat bagai
Bagai bara api meluap panas
Bulu bulu tangan tegak berdiri
Badanku masih lemah tuk mengangkat tubuh
Teman teman sebaya sudah menikah
Sedang aku masih sendiri
Kumis dengan bulu warna hitam memanjang
tak berasa
Satu bagian yang tak boleh tertinggal
Ialah wajah yang bersanding bersama
Dengan banyaknya jerawat yang menghiasi
wajah
Tanda bahwa aku sudah perjaka
Sudah mampu menerka nerka
Dan bisa memilah bisa memilih
Di sini
Di sajak telah tertanam benih
Harapan sang anak perjaka
Baik kini atau pun nanti
Puisi #4 :
Puisi Tak Punya Nama
Aku duduk di kursi luarSiang pukul satu
Lalu sang angin
Bawakan kesejukan
Dan dedaunan mulai bergoyang
Ku berjalan menggunakan sruk
Berjalan dengan langkah kaki pelan pelan
Kerikil halangi pergerakan
Kaki ku bergetar hebat
Bercengkrama dengan di warnai gelak tawa
bahagia
Cukup lama Senda gurau ini
Hingga terlupa waktu
Tanpa sadar
Terdengar suara azan dari musholla
Lama berdiam diri Berjam jam
Pembeli silih berganti datang
Siang bergilir petang tuk jadi pengingat
Pengganti
Ku bersihkan wajah dan memakai pakaian rapi
bersiap menyambut malam
Dan alunan sajak yang selalu tak sama
Puisi ku tak punya nama
Puisi#5 :
Galonku Habis
Aku antar kau pada malamLaju roda dua
Seperti malas'tak bringas
Langit mulai gelap
Saat lampu lampu
Mulai dinyalakan
Bapak ibu saudara sudah terlelap
Disanalah kantuk kencang menyerang
Mulut yang terus menguap tanpa henti
Bergegas mati suri
Jarak waktu bergulir cepat
Ku buka pintu kulkas
Tiada buah buahan
Yang ada hanya sayur sayuran
Ku temukan sisa makanan kemarin
Entah masih enak atau tidak
Ku potong sedikit
Brem Jogja manis rasanya
Ku kunyah kunyah sampai habis
Tenggorokan kering kerontang
Air liur menetes ke tanah
Rasa haus mencekik leher
Ku lihat ke dapur
Galon ku kosong melompong
Ya sudah lah
Dengan nada terpaksa
Ku pegangi perut
Sampai subuh tiba
Puisi #6 :
Kenangan Indah di Pantai Pattaya
Aku termenung di bawah mentariDi antara megahnya alam ini
Betapa indahnya hari itu
Pernahkah kau fikir tentang bagusnya
Pesona alam ini
Tak ingin kah kau hidup alam ini
Air pasang berganti surut
Seandainya di hari silam
Kan pasti tersulam berbagai kenangan
Memori indah bersama orang tercinta
Rerumputan bersemi asri
Kicau burung bernyanyi
Tanda merdunya suasana
Menghangatkan seluruh jiwa
Serasa sore tersenyum mesra
Angin bertiup Bayu membangkit Sukma
Adakah bisa esok kau ulang jua
Kenangan yang tak dapat di lupa
Puisi #7 :
Tokek Masih Di Sini
Sejenak aku terlena
Akan kehidupan yang fana
Kemana saja langkah pergi
Pasti ujung-ujungnya kan
Kembali
Buaian Sepoi angin membuat hati
Tak bergeming sama sekali
Tak kuasa diri menahan
Rasa sepi
Buat ku tak berdaya
Hadapi getirnya sendiri
Telinga di bisikan segala
Cerita lama
Mata kecewa
Kala beban
Mengusikku dalam neraca nestapa
Hampa kini sudah
Sedingin rasa
Cicak cicak masih betah menempel
Tembok usang kian merupak
Biarkan sepi dan sedih
Jadi bagian dari hidup semu
Semua hanya duka lara
Puisi #8 :
Putri Dipukul Ayah
Di kala ku mengenalmu
Kau buatku seperti seorang teman biasa
Berjuta kali adakan pertemuan
Tak bosan-bosannya
Kau memanggilku
Dengan sebutan kakak
Semua menjadi cerita
Segala piluh dan kesah
Menjadi milik kita
Masa ku dan dirimu cepat berlalu
Keakraban hiasi foto-foto
Tentang mu
Dan tentang ku
Terdengar jeritan terbius oleh
Rasa ketakutan yang berangsur-lama
Andai masih ada mamah
Aku akan merasakan bahagia
Yang lama
Ayah hanya cinta
Dunia Nya sendiri
Tanpa pernah bertanya
Tentang keadaan ku
Nak sudah makan Apa belum
Rindu pertanyaan itu
Terucap dari bibir ayah
Semenjak kematian mamah
Ayah jarang ada di rumah
Dulu aku selalu menebar tawa
Pada kawan kawan semua
Seiring dengan ribuan pukulan
Yang menghantam lesung pipi
Tubuh banyak ternoda
Entah aku anak manusia
Atau anak binatang
Tiap helai rambut berlumur darah
Tiap hari pipi sembab sebab tangisan
Ayah aku ikhlas jadi Samsak mu
Demi menjaga amanah dari sang mamah
Walaupun bagaimana kau tetap ku hormati
Meski wajah tiap hari kau pukuli
Puisi #9 :
Perut Nonjok Berhari-hari
Jam berapa sekarang
Sepertinya sudah pagi
Kulihat langit cantik dan biru
TV tak menyala tapi yang terlihat
Hanya gambar mu
Oh, aku bangkit dari tempat tidur
Lalu ku minum kopi
Yang ada di atas meja
Ku coba membaca berita
Tapi ceritanya membosankan
Di saat aku ingin menimba air
Sumur tuk ku mandi
Penyakit datang tak terkira
Kukira hanya sehari
Tapi berhari hari
Tiada teman menjenguk diri
Yang ada ialah kucing masuki kamar
Yang bertamu pertama kali
Sakit
Kala siang aku meringis kesakitan
Kala malam bolak balik ke kamar mandi
Terus berulang-ulang kali
Lemah tenaga terporsir
Cairan tetap keluar tiada habisnya
Puisi #10 :
Dunia Celana Bolong
Dari puncak bukit Mega
Sejenak pandangan terlempar
Nada nada sendu telah tersirat empedu
Pernahkah kau mengadu padanya
Tentang dunia yang kau injaki ini
Pernahkah kau di dengar mereka
Ataukah dirimu takut dan sembunyi
Pada kenyataan juga kepahitan
Dunia yang selalu membuat mu
Sengsara
Bisakah kau berteriak sekeras
Auman singa yang sedang lapar
Bisakah kau buat ocehan mereka
Terdiam
Dari sudut manakah gerangan
Kiranya kau memulai
Mana keadilan yang katanya merata
Nyatanya hukum masih saja tak adil
Untuk si miskin
Mana yang katanya para koruptor
Yang kaya di hukum mati
Lihat sana sini kelakuan si kaya makin
Menjadi jadi
Layaknya sebuah celana
Semakin lama dia terpakai
Maka bukan tak mungkin
Akan bolong juga
Makin lama makin menganga juga
Ah,aku bingung pada negeri ini
Mengapa hukum keadilan belumlah tercipta
Entahlah ingin jadi apa dunia ini
Ku bingung menjawabnya
Puisi #11 :
Suara Sepatu-sepatu Bekas
Pengembara penyair Lana
Berjalan jalan tak tahu kemana
Sering kali Aku terusik
Oleh riuh jalanan yang berisik
Mungkin aku memang bodoh
Atau tak peduli perkataan orang
Ku saksikan motor motor
Kebut kebutan tak ada yang tau
Anak siapa itu
Orang orang pandai
Hanya diam dan menonton
Melihatnya suasana perjalanan
Menjadi lebih mencekam
Apa lagi yang ingin ku tunggu
Kalau bukan menunggu teman ku
Di pulau peraduan
Langit laporkan situasi
Bahwa sore sudah berganti nama menjadi sang
malam
Sepatu sepasang pun terlepas
Dari jeratan kaki jemari
Lalu ku taruh sepatu baru
Di rak warna biru tua
Puisi #12 :
Barisan Pecahan Perasaan
Di dalam puisi dan segelas kopi
Ku tuliskan nama mu
Sebagai diksi
Sketsa wajah mu
Ada pada goresan pensil
Menyeret ku,ke gerbang masa silam
Ketika tubuh ku luruh jiwa pun terbang
Di Gilas cuaca dan usia
Waktu tertatih namun terus berputar
Namamu lekat tak pernah hilang
Seiring kepakan burung elang
Wangi cintamu membias hilang
Akankah kembali seperti dulu?
Berdua berjuang menjadi satu?
Masihkah berlaku cinta di hatimu
Apakah sama seperti dahulu
Barisan kata pecahkan perasaan
Yang tak bisa di ungkapkan
Lewat ucapan
Di bawah langit yang bermekaran
Pertanda akan keindahan
Ia berlalu pergi meninggalkan
Terurai kata permisi
Tanpa sapaan
Puisi #13 :
Menjenguk Senyum
Ku telusuri zaman
Semakin dekat aku memandang mu
Semakin tegas rindu
Di kening ku
Angin gunung dan ngarai
Bagai konser shimpony
Adanya kekal
Adanya abadi
Nyanyian grup band roxxte
Terdengar lembut
Alunan sang gitaris
Mengayun mesra
Suara kicau hati ikut bernyanyi
Kata demi kata
Ku rajut benang mesra untuk mu
Bila burung kau kejar
Ia kan terbang
Cinta takkan pernah habis
Untuk di bahas
Ku suruh tukang pos
Tuk mengirim surat
Untukmu
Karena aku kan menuju rumah mu
Tuk menjenguk senyum yang merekah di
wajahmu
Puisi #14 :
Menghayati Kepergianmu Tamy
Ku coba diam sejenak
Amati suara angin
Terkadang resah
Kadang kadang menangis
Tanpa di sengaja
Ungkapan ungkapan
Rasa rinduku berbeda
Dari siapa saja yang ada di sini
Tak perlu sebongkah berlian
Untuk menjadi pengagum brilian
Aku dan kamu
Bukan dilan dan milea
Bukan roman, dan Wulan
Bukan Reva dan boy
Serta bukan pula galih dan Ratna
Meskipun hubungan tak lagi satu
Dalam balutan doa kita dapat bersatu
Cinta cucu Adam
Bertepuk sebelah tangan
Rasa hati masihlah kehilangan
Walau tak sempat berpegangan
Nama mu ada selalu dalam buai
Kenangan
Puisi #15 :
BBM Cekik Rakyat Jelata
Ingin mengurai hujan
Kala senja labuh dalam golek peraduan
Rakyat rakyat kita
Perlu tempat pengaduan
Keraguan telah menjadi pembatas
Hak hak kami pun di rampas
Sekencang apapun teriakan mu
Takkan pernah ada yang dengar
Para petinggi negeri
Asik dengan ongkang-ongkang kaki
Tanpa perduli rasa perih
Dan pedih yang di alami
Segala kebijakan yang dibuat
Hanya memperkuat keterpurukan ekonomi
bangsa ini
Dunia begitu ironi
Saat kami para suami
Menjadi ujung tombak
Pencari nafkah
Untuk anak istri
Kalian malah gerogoti
Puluhan ribu kocek di kantong kami
Mencekik kami
Dengan harga subsidi BBM
Yang melonjak tinggi
Tak cukupkah kau hancurkan
Sandang pangan kami
Tak puas kah kau
Menyiksa kami sejak dulu
Masihkah kau ingin bunuh
Rakyat mu sendiri
Mungkin bagi mereka yang
Punya rumah mewah
Serta mobil bagus
Tak jadi soal bagi mereka
Tapi?
Bagaimana dengan mereka
Yang tiap pagi
Hanya makan nasi putih
Bercampur garam
Apa pernah kau memikirkan mereka
Walau sekali saja
Apa pernah hah
Jawab pertanyaan ku
Bapak dan ibu maafkan
Aku hanya bocah lumpuh
Yang cuma bisa mengoceh tak karuan
Demi hanya ingin dengar
Suara rakyat dari kejauhan
Puisi #16 :
Namaku Dibuku Yasin
Pagi ini di temani oleh rintik hujan
Pohon Pinus di tengah hutan
Hati sedang rungsing tak karuan
Terduduk ku sendiri
Menjerit tak bersuara
Angin lewat hanya basa basi
Mampir sejenak tanpa permisi
Ku tanya pada siapa
Tak ada yang menjawab
Tak perlu banyak bercerita
Tentang apa dan mau kemana
Berlalu lah dengan leluasa
Aku belajar di ruang kelas
Merajut garang atas laba laba hitam
Mengusik sepi
Membuang sunyi
Membuka kebebasan dalam perbuatan
Diriku termakan bujuk rayunya setan
Ruang itu hampa tak ada siapa-siapa
Ku cari tari tuk gantungkan
Masa yang tidak indah lagi
Biarlah ku pergi meninggalkan
Biarkan air tetap tergenang
Seperti namaku yang kan selalu
Terkenang
Puisi #17 :
Sajak Tak Bisa Dimakan
Gugusan hari indah
Masih dalam nadir
Ilusi menjamu upacanmu
Tetap terpahat satu luka
Dalam hati
Buah kelapa
Buah kedondong
Segala ocehan mereka
Datang berbondong-bondong
Sajak sajak ku memang tak laku
Namun semua itu ciptaan ku
Hasil karya ku
Sajak sajak ku
Tidak bisa di makan
Karena ia bukan kue'lapis
Sajak sajak ku tak bisa di makan
Karena ialah bukan kue bolu
Akan tetapi puisi puisi
Yang ku ciptakan
Membuahkan rasa kebanggaan
Dalam dada
Inilah yang bisa kulakukan
Karena itulah sajak ku penuh
Dengan kenyataan yang aku
Ciptaan lewat larik larik kerinduan
Lihat : Perjalanan di ujung Indramayu Barat
Puisi #18 :
Tak Bisa Di -blow up
Percikan hasrat telah terdiam
Pergi mencari penghidupan
Tapi tak pernah ku dapatkan
Mentari pergi membawa terang
Malam tanpa bintang bintang
Menjadikan segala tatapan
Diam tak ada reaksi
Semenjak itu seiring waktu berlalu
Segala rasa tak kunjung menemukan
Titik temu
Sekilas mataku memerah
Rasa tak sanggup tuk menimbang
Pilunya kesedihan
Dari balik tirai jendela penantian
Semua tanpa kepastian
Gilar gilir sang tuan melangkah
Entah kemana arah dan tujuan
Ada banyak kosakata yang tak bisa
Ku artikan melalui bibir
Yang hanya diam saja
Sebab tak tahu ingin menuang apa
Dan bingung dengan semuanya
Bagaimana bisa
Aku menulis keinginan
Sementara rasa kengganan muncrat
Kepermukaan
Entah apa yang ku katakan
Semua telah berantakan
Puisi #19 :
Baterai Leglog
Lelah mata menatap layar ponsel
Begitu lama tanpa jeda
Jatuhnya daun di tepinya hati
Masalah demi masalah
Semua pasti merasakannya
Trauma masalah lalu
Bukan berarti alasan
Untuk menyakiti masa depan
Ku tahu diriku belumlah mapan
Dan belum menjadi yang terdepan
Ketika ingin berbisik bisik
Pada gendang telinga
Pujat kerut wajah
Tersadar baterai telah berubah
Bingung rasuki raga
Sadar diri bila tak punya
Hp dan casan menyatu
Tak pernah di pisahkan
Jika di pisahkan HP kan mati seketika
Bila di satukan hidup menyala
Ingin hati mengganti nya
Apalah daya uang pun tak ku punya
----------------
Puisi -Puisi Karya Rizal, seniman dari belakang gedung DPRD Indramayu, 2022.