ADA APA DI RAPERDA DESA WISATA (2)
23 Oktober 2022
Ada yang menarik dari Raperda Desa Wisata ini terutama di pasal 31, dalam pasal ini raperda mencoba melakukan inisiasi pembatasan agar norma-norma kesusilaan tetap dijaga dalam pencanangan desa wisata.
Kenapa menarik karena Pemkab Indramayu selama ini terkesan tidak pernah proaktif dengan menjamurnya pusat-pusat karaoke yang juga patut di duga menjadi ruang bisnis esek-esek yang menjamur dari timur hingga ke barat sepanjang jalur pantura.
pasal 31 ayat a. menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat lokal. dan juga di ayat d. turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum.
Bahwa secara faktual wisata esek-esek di Indramayu sudah ada sejak lama sudah puluhan tahun, di Cilegeng Indah, Kalimenir, Cetol, Tenda Biru, dan banyak tempat lainnya. Pertanyaannya kenapa lokasi-lokasi yang terserak tidak dikumpulkan saja menjadi terpusat sehingga terlokalisasi tidak kemana-kemana. Lokalisasi itu ibarat selokan, jika rumah selokannya banyak ada dimana-mana maka kotorannya akan berceceran kemana-mana, tentu akan lebih baik jika terlokalisir dalam satu tempat sebagai satu tempat wisata saja. Silahkan pemkab pilih lokasinya dimana.
Di era modern mudah sekali mendeteksi seberapa besar populasi PSK di sekitar kita. Anda cukup install Mi Chat cobalah seberapa banyak yang merespon dalam radius terdekat. Bisa juga malam-malam anda jalan cobalah cek betapa banyaknya mereka yang menanti di sepanjang jalan, terutama di sekitar zona yang saya sebut di atas.
Religiusitas dan kesusilaan versi Indramayu tentu harus disandingkan vis a vis dengan kemakmuran, pemerataan ekonomi, pemilikan lahan dan lapangan kerja. Diskursus aturan kesusilaan dan religiusitas tanpa menimbang hal-hal tersebut hanya makin membuat rakyat makin kesulitan dari sisi ekonomi.
Tapi perda desa wisata ini keren sekali, semoga memuat kekhasan yang unik sesuai aspek-aspek sosiologis Indramayu. Tidak persis seperti bunyi undang-undang, kalau persis sama lalu buat apa bikin perda kan?
Penulis : Yahya Ansori