DAR’UL MAFASID MUQODDAMUN ‘ALA JALBIL MASHALIH
Kaidah ushul fiqih ini menurut saya kemudian banyak menjadi pertimbangan dari dilema pengambilan keputusan. Kadang benar, kadang mengada-ada, kadang diplesetkan kemana-mana.
Misalnya
begini, “Begini kang karena kalau tidak segera diselesaikan kasus ini akan
merembet kemana-mana, berlarut-larut terus kita tidak bisa kerja nyaman kan? Ya
sudah kita putuskan bayar saja hakimnya kita patungan saya 200 juta, sampeyan
100 juta, masing-masing 50 juta jadi terkumpul 700juta kan?.” Kata kawan saya.
Atau begini,
di Indramayu itu ada kilang minyak besar Balongan, karena berhubungan dengan
minyak tentu ada saja kecelakaannya misalnya tercecernya minyak di perairan
pantai. Manfaat minyak tentu sangat besar bagi masyarakat banyak, tercecernya
minyak tentu “mafasid” lalu bagaimana kaidah itu dilakasanakan? “Begini pak
direktur saya kasih opsi ke sampeyan kami tuntut Kilang ini ditutup atau
sampeyan bayar saja ke kami sejumlah sekian.” Kata aktifis pejuang warga itu.
Akhirnya bayar juga itu yang punya kilang sesuai dengan kaidah "Dar'ul
mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih. Mencegah kemudaratan lebih prioritas
dibanding menarik kemanfaatan."
Akhirnya saya
melihat sendiri dengan kepala sendiri bahwa dalil kaidah itu dipakai di
pengadilan, dipakai para pencari keadilan. Sejatinya tentu hukum haruslah
menggunakan dalil-dalil kebenaran, namun seringkali yang menang adalah
kebohongan, tentu dengan pembenaran perspektif yang tidak pada tempatnya
seperti "Dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih. Mencegah
kemudaratan lebih prioritas dibanding menarik kemanfaatan".
Seringkali
kita menutup seratus lubang kejahatan dengan sebuah cara pendekatan ibadah yang
syar’i misalnya umroh. Akan tampak ia seperti hamba saleh meskipun kerja
sehari-harinya sangatlah koruptif. Semoga kita dijauhkan dari sifat demikian,
berfikir sederhana, bertindak sederhana dan hidup sederhana.
Penulis : Yahya Ansori