KIPRAH DAN PERJUANGAN KEBANGSAAN KIAI ABBAS BUNTET (Bagian 1)
Ulasan tentang sosok Kiai Abbas Buntet yang sering dijuluki “Singa dari Jawa Barat” dalam Perang 10 November 1945 sejauh ini telah banyak diteliti dan ditulis, baik dalam bentuk artikel, buku, maupun hasil-hasil penelitian ilmiah. Dalam sebagian besar tulisan itu, sosok Kiai Abbas Buntet hampir selalu diidentikkan dengan dimensi “kesaktian” (karamah) atau hal-hal yang bersifat supra-rasional. Dalam tulisan singkat ini, penulis akan melihat sosok Kiai Abbas Buntet dari aspek kiprah dan dan perjuangan kebangsaannya. Tulisan ini merupakan catatan penulis atas berbagai data yang penulis temukan dari berbagai sumber, baik sumber lisan maupun tulisan.
Kiai Abbas (1879-1946) merupakan tokoh sesepuh generasi keempat di lingkungan Pesantren Buntet, salah satu pesantren tertua di Jawa, Indonesia. Ayah Kiai Abbas, Kiai Abdul Jamil (1842-1919), adalah sesepuh generasi ketiga pasca wafatnya sang ayah, Kiai Mutta’ad (1785-1842), yang merupakan sesepuh generasi kedua. Adapun sesepuh generasi pertama sekaligus tokoh awal berdirinya Pesantren Buntet adalah Kiai Muqayyim, seorang mufti sekaligus keluarga Kesultanan Cirebon (1689-1785). Dalam catatan sejarah, Pesantren Buntet berdiri sejak tahun 1750. Istilah sesepuh merupakan jabatan dengan otoritas tertinggi di lingkungan Pesantren Buntet yang masih bertahan hingga sekarang. Jabatan itu ditentukan berdasarkan garis keturunan putera laki-laki tertua dari jalur anak laki-laki.
Jika melihat silsilahnya, ayah dari Kiai Muqoyim, Kiai Abdul Hadi, merupakan putera dari pasangan Pangeran Cirebon dan Anjasmoro, puteri dari Lebe Mangku Warbita Mangkunegara yang berasal dari Srengseng, Kawedanan Karangampel Indramayu. Kiai Muqoyyim juga sempat tinggal di Keraton bersama orang tuanya dan mendapat pendidikan Islam dan ketatanegaraan yang cukup baik dari guru dan orang tuanya, sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Keraton dan mendirikan pesantren di Buntet.
Kiai Abbas lahir pada hari Jumat 24 Dzulhijjah 1300 H atau 1879 M di Buntet Pesantren Cirebon. Ia merupakan putera tertua Kiai Abdul Jamil bin Kiai Mutta’ad. Kiai Mutta’ad sendiri merupakan cucu menantu dari Kiai Muqayyim (pendiri pertama Pesantren Buntet, Mufti Kesultanan Cirebon) yang berhasil menghidupkan kembali pesantren Buntet yang sempat vakum setelah wafatnya Kiai Muqayyim. Hasil pernikahan Kiai Mutta’ad dengan cucu Kiai Muqayyim bernama Nyai Ratu Aisyah atau Nyai Lor binti Raden Muhammad melahirkan beberapa orang putera-puteri, di antaranya: 1. Ny. Rohilah (menikah dengan Kiai Kriyan, Mufti Kesultanan Cirebon), 2. Ny. Mu’minah (menikah dengan Kiai Sa’id bin Kiai Murtasim yang merupakan saudara misan Kiai Mutta’ad; pendiri Pesantren Gedongan), 3. Nyai Qayyumiyah, 4. Kiai Barwi (menetap di Jawa Timur), 5. Kiai Sholeh Zamzam (Pendiri Pesantren Bendakerep), 6. Nyai Maemunah, 7. Kiai Sulaiman (wafat mendahului Kiai Mutta’ad), 8. Kiai Abdul Jamil (Buntet), 9. Kiai Razi, 10. Kiai Abdul Karim. Selain menikahi Nyai Ratu Aisyah (Nyai Lor), Kiai Mutta’ad juga menikah dengan Nyai Ratu Masriyah (Nyai Kidul) dari Pamijahan dan memiliki beberapa putera-puteri, di antaranya: 1. Ny. Sa’udah, 2. Kiai Abdul Mun’im (mertua Kiai Abbas dari anak perempuan bernama Nyai I’anah), 3. Kiai Tarmidzi, 4. Nyai Karimah, dan 5. Kiai Abdul Mu’thi.
Ayah Kiai Abas, Kiai Abdul Jamil, memiliki dua orang isteri. Isteri pertamanya bernama Nyai Sa’diyah puteri dari Kiai Kriyan (dari isteri bernama Nyai Sri Lontang Jaya Arjawinangun) yang yang saat dinikahkan masih berumur sangat muda sehingga belum bisa melayani Kiai Abdul Jamil baik lahir maupun batin. Mertuanya, Kiai Kriyan, lalu mencarikan lagi isteri kedua untuk Kiai Abdul Jamil, yaitu Nyai Qori’ah, puteri dari Kiai Syatori bin Kiai Nurkati (Nur Hatim), seorang ulama yang menjadi penghulu landraad (pengadilan negeri Hindia Belanda) di Cirebon. Nyai Qori’ah adalah seorang perempuan yang memiliki darah keturunan Tiongkok dari neneknya (isteri Kiai Nurkati). Dari pernikahan dengan Nyai Qori’ah, Kiai Abdul Jamil memiliki keturunan: 1. Kiai Abbas, 2. Nyai Yakut, 3. Nyai Mu’minah, 4. Nyai Nadroh, 5. Kiai Akyas, 6. Kiai Anas, 7. Kiai Ilyas, 8. Nyai Zamrud. Sedangkan dari pernikahan dengan Nyai Sa’diyah binti Kiai Kriyan, Kiai Abdul Jamil memperoleh keturunan: 1. Nyai Sakiroh, 2. Nyai Mandah, 3. Kiai Ahmad Zahid, 3. Nyai Sri (Enci), 4. Nyai Khalimah.
Silsilah nasab Kiai Abbas dari jalur ayah sampai kepada Sunan Gunung Jati yaitu: Kiai Abbas bin Kiai Abdul Jamil bin Kiai Mutta’ad bin Kiai Raden Muridin bin Kiai Raden Nuruddin bin Kiai Raden Ali bin Pangeran Punjul (Raden Bagus atau Pangeran Penghulu Kasepuhan) bin Pangeran Senopati (Pangeran Bagus) bin Pangeran Kebon Agung (Pangeran Sutajaya V) bin Pangeran Dalem Anom bin Pangeran Nata Manggala bin Pangeran Sutajaya Sedo ing Demung bin Pangeran Wirasutajaya (adik kandung Panembahan Ratu) bin Pangeran Dipati Anom (Pangeran 3 Suwarga atau Pangeran Dalem Arya Cirebon) bin Pangeran Pasarean (Pangeran Muhammad Tajul Arifin) bin Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah Azmatkhan).
Berdasarkan silsilah nasab di atas, Kiai Abbas dan keluarga besar Pesantren Buntet pada umumnya masih memiliki keturunan bangsawan dari Jalur Sunan Gunung Jati atau Kesultanan Cirebon, baik dari jalur Kiai Muqayyim maupun Kiai Mutta’ad. Namun sejak masa Kiai Abdul Jamil memimpin Pesantren Buntet gelar kebangsawanan tidak lagi digunakan, hal ini untuk menghilangkan sekat perbedaan dengan masyarakat umum.
Penulis : Dr. H. Mohamad Kholil, S.S., M.S.I