KIPRAH DAN PERJUANGAN KEBANGSAAN KIAI ABBAS BUNTET (Bagian 2)
Sejak kecil, Kiai Abbas adalah seorang santri yang gemar menggali ilmu pengetahuan dari berbagai pesantren. Awalnya Kiai Abbas mendapat pengajaran dari ayahnya sendiri, Kiai Abdul Jamil. Setelah beberapa tahun berada dalam bimbingan ayahnya, Kiai Abbas melanjutkan pendidikan ke Pesantren Sukanasari Plered Cirebon yang diasuh oleh Kiai Nasuha. Setelah itu, ia melanjutkan ke Pesantren Jatisari yang diasuh Kiai Hasan, lalu ke Pesantren Giren di Tegal Jawa Tengah di bawah asuhan Kiai Ubaidah. Kemudian atas perintah ayahnya, Kiai Abbas bersama Kiai Annas (adiknya) melanjutkan pendidikan ke Pesantren Tebuireng Jombang yang saat itu baru berdiri di bawah asuhan Kiai Hasyim Asy’ari. Bahkan Kiai Abbas turut membantu masa-masa awal berdirinya Pesantren Tebuireng, terutama melalui kemampuan bela diri dan kedigdayaannya dalam menghadapi para pemberontak yang tidak suka dengan keberadaan Pesantren di Tebuireng.
Kiai Abbas merupakan santri generasi pertama Pesantren Tebuireng sekaligus santri yang tempat asalnya paling jauh. Kedekatan Kiai Abbas dengan Kiai Hasyim Asy’ari sesungguhnya meneruskan kedekatan ayahnya, Kiai Abdul Jamil, dengan Kiai Hasyim Asy’ari, saat keduanya pernah sama-sama berada di Tanah Suci (Mekkah). Bahkan, Kiai Abdul Jamil merupakan orang yang turut mendorong Kiai Hasyim Asy’ari agar sepulang dari belajar di Tanah Suci (Mekkah) segera mendirikan pesantren sendiri, dan ia siap mensupport dengan mengirimkan puteranya (Kiai Abbas dan Kiai Anas) untuk membantu sekaligus menjadi santri pertamanya. Hal ini karena Kiai Abdul Jamil yang dari aspek usia lebih senior dari Kiai Hasyim Asy’ari, melihat kemampuan Kiai Hasyim Asy’ari yang meski usianya masih cukup muda tetapi memiliki kecerdasan dan ilmu yang sangat matang dan mendalam. Di Pesantren Tebuireng Kiai Abbas bersahabat dengan santri-santri lain dari generasi pertama, seperti Kiai Abdul Wahab Hasbullah dan Kiai Abdul Karim Manab. Bahkan saat sahabatnya, Kiai Abdul Karim Manab, merintis berdirinya pesantren Lirboyo, Kiai Abbas turut membantu.
Selesai menimba ilmu di Pesantren Tebuireng, Kiai Abbas dinikahkan oleh ayahnya dengan Nyai Mini Chafidzoh puteri Kiai Manshur bin Kiai Sholeh Zamzam 4 dari Pesantren Bendakerep. Dari pernikahan ini Kiai Abbas dikaruniai 4 orang anak, yaitu: 1. Kiai Mustahdi, 2. Kiai Mustamid, Kiai Abdul Rozak, 4. Nyai Sumaryam. Setelah Nyai Mini Chofidzoh wafat, Kiai Abbas menikah lagi dengan Nyai I’anah, puteri dari pamannya, Kiai Abdul Mun’im. Dari pernikahan itu Kiai Abbas dikaruniai 6 orang anak, yaitu: 1. Kiai Abdullah Abbas, 2. Nyai Maimunah, 3. Nyai Qismatul Maula, 4. Kiai Nahduddin, 5. Nyai Sukaenah, 6. Nyai Munawaroh.
Setelah menikah, Kiai Abbas melanjutkan belajarnya di Tanah Suci Mekkah, guna memperdalam lagi ilmu yang telah dimiliki sekaligus menunaikan haji. Di Mekkah ia belajar satu angkatan dengan Kiai Bakir dari Yogyakarta, Kiai ‘Abdullah dari Surabaya, dan Kiai Wahab Hasbullah dari Jombang. Selama berada di Tanah Suci, ia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Ahmad Zubaidi, dan Syekh Machfudz al-Turmusi. Sepulang dari Tanah Suci, Kiai Abbas ikut mengabdi membantu ayahnya dalam mengemban amanah sebagai sesepuh Pondok Pesantren Buntet. Setelah ayahnya wafat, tongkat estafet kepemimpinan Pondok Pesantren Buntet dipegang oleh Kiai Abbas.
Pada masa kepemimpinan Kiai Abbas, sistem pendidikan di Pesantren Buntet mulai dikembangkan seiring tuntutan zaman, tidak hanya menggunakan metode bandongan dan sorogan yang merupakan tradisi awal pesantren, tetapi juga mulai diperkenalkan sistem pendidikan dengan metode halaqah (seminar) dan madrasi (kelas). Selain itu, pada tahun 1928 bertepatan dengan peristiwa Sumpah Pemuda, Kiai Abbas membuat inovasi baru di dunia pesantren, yaitu mendirikan Madrasah “Abna’ul Wathan (Wathaniyah)” yang di dalamnya diajarkan ilmu-ilmu umum selain ilmu agama, seperti Ilmu Hisab (Aritmatika), alJughrafiyah (Geografi), al-Lughah al-Wathaniyah (Bahasa Indonesia), Ilmu at- Thabi’iyyah (Ilmu Alam) dan Tarikh al-Wathan (Sejarah Kebangsan). Pemilihan nama “Abna’ul Wathan (Wathaniyah)” oleh Kiai Abbas yang berarti “tunas-tunas bangsa (kebangsaan)” untuk madrasah yang didirikannya itu menegaskan bahwa Kiai Abbas merupakan sosok kiai yang memiliki wawasan, komitmen dan cita- cita kebangsaan. Madrasah tersebut hingga saat ini keberadaannya masih eksis di Pesantren Buntet.
Salah satu pemikiran Kiai Abbas yang cukup terkenal dan telah mengubah paradigma pengelolaan pesantren saat itu adalah, ia menggambarkan pesantren laksana “pasar”. Menurutnya, baik pesantren maupun pasar keduanya harus bisa melayani siapa saja yang datang tanpa memandang jenis kelamin, domisili, usia, status sosial, latar belakang, dan lain-lain. Di samping itu jenis kebutuhan para santri pun tidak sama. Orang datang ke pasar karena butuh beras, daging, terigu, 5 sayuran, cabai, garam, dan lain-lain. Begitu pula orang datang ke pesantren butuh ilmu qira’at, ilmu fikih, ilmu tauhid, ilmu tafsir dan sebagainya. Oleh karena itu ia menganjurkan kepada semua kiai yang menguasai ilmu tersebut harus mampu melayani santri yang datang. Gambaran seperti itulah yang sering disampaikan Kiai Abbas kepada keluarganya. Hal tersebut dimaksudkan untuk merangsang mereka supaya sama-sama berperan aktif dalam berkiprah di Pesantren Buntet untuk meneruskan perjuangan leluhurnya. Dengan strategi inilah Kiai Abbas berhasil menyamakan persepsi keluarganya dalam mengembangkan pesantren. Langkah Kiai Abbas berikutnya adalah memobilisasi keluarga kemudian melaksanakan pembagian tugas sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Sejak masa penjajahan, selain berkomitmen mengembangkan pendidikan masyarakat melalui Pesantren Buntet yang diasuhnya, Kiai Abbas juga concern melatih mental dan fisik para santri serta masyarakat melalui keterampilan bela diri. Hal ini menjadi modal penting bagi para santri dan masyarakat untuk ikut berjuang membela negerinya dari kaum penjajah di masa-masa revolusi fisik.
Pada masa kepemimpinan Kiai Abbas, Pesantren Buntet menjadi basis penting bagi laskar-laskar jihad, seperti barisan Hizbullah, Sabilillah, PETA (Pembela Tanah Air), terutama pasca Proklamasi 1945. Selain itu, ia juga secara khusus membentuk regu laskar santri bernama Asybal (berarti: singa kecil) yang berfungsi sebagai “telik sandi” atau semacam pasukan inteligen. Asybal diisi oleh para remaja berusia di bawah 17 tahun yang sengaja dibentuk sebagai pasukan pengintai, bertugas mengawasi jalan-jalan yang mungkin dilalui musuh (dari arah mana musuh datang, dengan memakai kendaraan apa musuh datang) serta bertugas sebagai penghubung yang membawa informasi dari satu kesatuan kepada kesatuan yang lainnya. Sebagai pimpinan Asybal pada waktu itu adalah: Kiai Nahduddin Abbas (Komandan, putera bungsu Kiai Abbas), Kiai Mohammad Faqihuddin (Wadan), Mohammad Hisyam Mansyur (Dan Kie I), Kiai Fachruddin (Dan Kie II), Kiai Hasyim Halawi (Dan Kie III), Kiai Muayyad Qosim (Dan Kie IV).
Menjelang terjadinya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Kiai Abbas juga sudah mulai memobilisasi massa, terutama dari kalangan santri. Ia memberikan komando kepada mereka untuk ikut dalam barisan perjuangan rakyat Indonesia di Surabaya. Ia sendiri ikut terjun dalam kancah perang besar itu. Peristiwa bersejarah tersebut merupakan efek dari Fatwa Jihad yang digagas oleh gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari bersama para kiai lain beberapa hari sebelumnya dalam sebuah pertemuan NU di Surabaya di mana Kiai Abbas juga turut hadir di dalamnya.
Penulis : Dr. H. Mohamad Kholil, S.S., M.S.I