KIPRAH DAN PERJUANGAN KEBANGSAAN KIAI ABBAS BUNTET (Bagian 3)
Pasca kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, segenap elemen bangsa, tak terkecuali ulama dan santri, secara moral mereka utuh dan memiliki semangat yang sama mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sehingga, ketika Tentara Sekutu dan NICA mendarat lagi di Jakarta, Semarang, Surabaya dan Sumatera pada tanggal 29 September 1945, perang revolusi kemerdekaan pun tidak dapat dihindari. Demi membela tanah air dan kedaulatan negara yang sudah merdeka, maka pada 17 September 1945 Fatwa Jihad pun ditandatangani oleh Kiai Hasyim Asy’ari, yang kemudian dikukuhkan dalam rapat para kiai NU se-Jawa dan Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 yang dikenal dengan Resolusi Jihad.
Perang 10 November 1945 adalah potret kepahlawanan para pemuda rakyat Indonesia bersama barisan ulama dan santri. Di balik semangat juang para pemuda, ulama dan santri itu, ada tokoh penting dari Cirebon, yakni Kiai Abbas, yang ikut terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya beserta ribuan laskar Hizbullah dari santri seluruh Jawa Barat. Tidak hanya itu, ia juga mengirimkan santri-santrinya yang tergabung dalam laskar Hizbullah ke berbagai daerah seperti Jakarta, Bekasi, Jawa Barat bagian Timur (Priyangan Timur), Cianjur dan daerah-daerah lainnya untuk melakukan perlawanan terhadap Tentara Sekutu yang ingin menjajah kembali Indonesia.
Bergabungnya Kiai Abbas dari Pesantren Buntet dalam pertempuran di Surabaya itu atas undangan gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari. Bahkan saat Bung Tomo menyampaikan rencananya kepada Kiai Hasyim Asy’ari ingin memulai pertempuran sebelum tanggal 10 November, Kiai Hasyim Asy’ari menyarankan agar pertempuran dimulai setelah Kiai Abbas dari Cirebon datang sebagai komandan tertinggi pasukan laskar Hizbullah. Hal ini karena Kiai Abbas adalah ulama yang sudah dikenal luas memiliki karamah atau “kesaktian” luar biasa yang sangat dibutuhkan dalam pertempuran, sehingga karenanya Kiai Abbas oleh gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari, disebut “Singa dari Jawa Barat”.
Pentingnya peran Kiai Abbas dalam peristiwa 10 November 1945 itu juga pernah disampaikan dalam pidato mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo pada upacara peresmian Hari Santri Nasional 22 Oktober 2015 di Tugu Proklamasi, Jakarta:
“Saya ingin pula menceritakan, bahwa sebenarnya perlawanan secara heroik rencananya bukan dilaksanakan tanggal 10, tetapi lebih awal. Jadi pada saat itu Kiai Hasyim Asy’ari menyampaikan, ‘kita tunda, kita menunggu ‘Singa Jawa Barat’, yaitu Kiai Abbas bin Abdul Jamil. Ia adalah cicit dari Mbah Muqoyyim, pendiri pesantren Buntet Cirebon. Dan Kiai Hasyim Asyari juga memerintahkan, setelah Kiai Abbas bin Abdul Jamil.datang, komando tertinggi Laskar Hizbullah diserahkan untuk memimpin langsung penyerangan sekutu di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Pengaruh Kiai Abbas yang kuat membuat keputusan Kiai Hasyim Asyari mengundurkan waktu, sangat tepat. Sehingga terjadilah pertempuran yang sangat heroik yang kita kenal hari ini sebagai hari pahlawan. Hari ini mempunyai makna yang bisa kita petik, bahwa peristiwa tersebut, bahwa perjuangan mempertahankan kedaulatan negara berdimensi lintas etnis dan lintas wilayah. Siapapun dan di manapun mempunyai kewajiban yang sama membela bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pada masa-masa awal revolusi kemerdekaan, Kiai Abbas tercatat pernah terlibat dalam urusan politik negara. Ia sempat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang menjadi cikal bakal lembaga parlemen saat ini, mewakili konstituen Jawa Barat. Kiai Abbas juga turut aktif dalam pergerakan Nahdlatul Ulama (NU), di sini jabatannya adalah anggota Dewan Mustasyar Pusat dan Rais A'am Syuriah NU Jawa Barat.
Relasi guru - murid antara Kiai Abbas dan Kiai Hasyim Asy’ari yang terbangun sejak awal berdirinya Pesantren Tebuireng, telah menjadikan Kiai Abbas turut serta menjadi tokoh penggerak NU. Keberadaan Kiai Abbas dan Pesantren Buntet tidak bisa dipisahkan dari perkembangan NU di Jawa Barat. Pesantren Buntet telah menjadi pusat pengembangan NU masa-masa awal di Jawa Barat. Karena itulah maka pada 12 Rabiuts Tsani 1350/27 Agustus tahun 1931, Buntet Pesantren menjadi lokasi digelarnya Muktamar NU ke-6. Pada tahun 1938, Kiai Abbas juga turut hadir sebagai utusan Syuriah NU Cirebon dalam Mukmatar NU di Menes, Banten. Demikian pula pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya tahun 1940. Kiprah Kiai Abbas sebagai tokoh penggerak NU juga diikuti oleh putera-puteranya yang juga menjadi tokoh-tokoh penting di lingkungan NU maupun politik pemerintahan, seperti Kiai Mustahdi Abbas, Kiai Mustamid Abbas, Kiai Abdullah Abbas dan Kiai Nahduddin Abbas.
Selain itu, Kiai Abbas juga bergaul akrab dengan beberapa tokoh bangsa, baik dari kalangan muslim maupun nasionalis, seperti Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Ridwan Abdullah (alumni Pesantren Buntet masa kepemimpinan Kiai Abdul Jamil; pencipta lambang NU), juga tokoh- tokoh lainnya seperti H. Samanhudi (Pendiri SDI, alumni Pesantren Buntet), HOS. Tjokroaminoto, Ki Hajar Dewantoro dan Dr Soetomo. Pada masa perkembangan Sarekat Islam (SI), Kiai Abbas juga pernah menjabat sebagai ketua hukum atau syuriah dalam struktur Sarekat Islam. Di masa penjajahan Jepang, Kiai Abbas juga disebutkan pernah menjabat sebagai anggota Tjuo Sangilin (semacam Dewan Legislatif Pusat) juga sebagai anggota Syuu Sangikai (Dewan Legislatif Daerah). Namun meski sebagai anggota dewan, ia selalu menentang kebijakan Jepang yang bertentangan dengan akidah Islam dan kepentingan bangsanya.
Tarekat Syattariyah adalah tarekat yang muncul pertama kali di India pada abad ke-15 yang namanya dinisbatkan kepada nama pendirinya, Syekh Abdullah asy-Syattar (wafat tahun 1485). Garis nasab Syekh Abdullah asy-Syattar bersambung kepada Rasulullah SAW melalui jalur Imam Hasan bin ‘Ali. Sedangkan Tarekat Tijaniyah muncul pada tahun 1195 H/1781 M di Fes, Maroko, Afrika Utara. Pendirinya adalah Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Salim al-Tijani. Ia lahir di 'Ain Madi, sebuah desa di Aljazair, tahun 1150 H/ 1737 M dan meninggal dunia pada 1230 H/ 1815 M.
Tarekat Syattariyah di Cirebon pada mulanya berkembang hanya di lingkungan Kesultanan Cirebon. Beberapa orang dari kalangan bangsawan kemudian meninggalkan keraton dan mendirikan pesantren-pesantren di sekitar wilayah Cirebon, sebagaimana yang dilakukan oleh Kiai Muqayyim. Pusat-pusat Tarekat Syattariyah di Cirebon pada saat itu (masa kolonial abad ke 17-19) yang bermula dari Keraton Cirebon kemudian beralih ke pesantren-pesantren yang berada di wilayah Cirebon, termasuk Pesantren Buntet yang didirikan oleh Kiai Muqayyim. Sebagai seorang mufti keraton sekaligus mursyid Tarekat Syattariyah, Kiai Muqayyim mendapat sanad Tarekat Syattariyah dari Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan (1650-1730). Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan sendiri mendapatkan sanad Tarekat Syattariyah dari Syaikh Abdurrauf as-Sinkili saat keduanya bertemu di Aceh pada tahun 1669 dalam perjalanannya menuju Mekkah. Menurut Agus Sunyoto, masuknya Tarekat Syattariyah di Cirebon pertama kali dibawa oleh Syekh Idhofi Mahdi atau Syekh Dzatul Kahfi atau Syekh Nurjati pada tahun 1420.
Perkembangan tarekat di Cirebon pada tahun 1919-1946 M tidak bisa dilepaskan dari peran Kiai Abbas. Pada masa Kiai Abbas, Tarekat Syattariyah dan Tarekat Tijaniyah mengalami perkembangan yang pesat. Kiai Abbas sendiri adalah seorang mursyid Tarekat Syattariyah yang sanadnya diperoleh dari ayahnya, Kiai Abdul Jamil. Namun seiring berjalannya waktu Kiai Abbas juga menjadi seorang muqaddam Tarekat Tijaniyah bersama saudaranya, Kiai Anas dan Kiai Akyas. Dari Pesantren Buntet Kiai Abbas telah berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah dan Tarekat Tijaniyah, hal ini dapat dilihat dari tersebar luasnya Tarekat Syattariyah dan Tarekat Tijaniyah sampai ke berbagai pelosok Tanah Air. Banyak murid yang berasal dari Cirebon maupun dari luar Cirebon yang telah diangkat oleh Kiai Abbas menjadi seorang mursyid.
Berkaitan dengan awal perkembangan Tarekat Tijaniyah di Indonesia, Kiai Abbas merupakan salah satu dari “Tujuh Kiai Besar” yang menjadi muqaddam utama Tarekat Tijaniyah yang diangkat langsung oleh muqaddam Tarekat Tijaniyah dari Madinah, Syekh Ali ibn Abdullah ath-Thayyib al-Madani pada tahun 1920-an. Tujuh muqaddam utama Tarekat Tijaniyah itu adalah Syekh Ali ibn Abdullah ath-Thayyib al-Madani yang kemudian menetap di Bogor, Kiai Asy’ari Bunyamin Garut, Kiai Badruzzaman Garut, Kiai Utsman Damiri Cimahi (Bandung), dan tiga bersaudara dari Buntet Pesantren: Kiai Abbas, Kiai Anas, dan Kiai Akyas.
Setelah sekian lama berkiprah dan berjuang mengabdikan diri untuk agama, nusa dan bangsa, Kiai Abbas wafat pada tanggal 1 Robiul Awal 1365 H/1946 M. Pada saat upacara pemakaman, orang yang mengumandangkan adzan adalah Tubagus Nafi’ dari Banten dan yang membacakan isyhad adalah Kiai Zain (adik sepupu Kiai Abbas, putera Kiai Abdul Mun’im, kakek dari isteri penulis, Ratu Bilqis, dari jalur ibu). Hingga akhir hayatnya, Kiai Abbas merupakan sosok kiai yang aktif dalam perjuangan kebangsaan baik di bidang pendidikan, sosial, politik dan keagamaan. Wafatnya Kiai Abbas bertepatan dengan ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati yang saat itu banyak disesalkan sejumlah tokoh termasuk Kiai Abbas sendiri karena dianggap merugikan bangsa Indonesia. Terkait berita wafatnya Kiai Abbas, pihak Belanda sempat tidak percaya, hingga pada hari Idul Fitri konon Belanda mencari kebenaran berita tersebut, hingga mendatangi makam Kiai Abbas dan berniat untuk membongkarnya. Namun, berkat siasat keluarga, upaya itu berhasil digagalkan. Makam Kiai Abbas terletak di Makbaroh Gajah Ngambung, Buntet Pesantren. Hingga kini makam tersebut selalu ramai dikunjungi keluarga, santri, alumni, dan para peziarah dari berbagai daerah.
Penulis : : Dr. H. Mohamad Kholil, S.S., M.S.I