SEMUA ANAK WAJIB MONDOK (Refleksi Metamorfosis Kupu & Hardiness Rajawali)
Pengalaman saya “hijrah” pindah domisili dari kota Cirebon ke Surabaya 1991 lalu diawali dengan kegalauan yang akut. Siang – malam selalu kepikiran pingin boyong. Maklum, di Surabaya saya hidup “sendirian”, tanpa teman, tanpa saudara. Saya tinggal di pesantren Darul Arqam, sebuah pesantren sederhana, tepat di belakang kampus tempat saya kuliah, IAIN (sekarang UIN) Sunan Ampel.
Bapak yang tak
pernah kuliah ketika itu tak kuasa menolak. Maka sayapun mengurus kepindahan kuliah
melalui seorang Dekan di IAIN Cirebon.
Setelah dipastikan
bisa pindah, hati saya tetap galau, makan tidur masih gak nyaman. Kemudian bapak
menyarankan saya untuk sowan ke Kang Ayip (Almaghfurlah Alhabib Muhammad Yahya)
guru pesantren pertama saya di Jagasatru Cirebon.
Kang Ayip memberi
nasihat yang membuat saya seketika bangkit ingin melanjutkan perjuangan, kuliah
di IAIN Sunan Ampel.
Beliau dawuh, bahwa
kuliah di tanah rantau akan mendapatkan “ilmu prihatin” yang sangat berharga
untuk meraih kesuksesan kelak dibandingkan kuliah dekat dengan rumah orang tua.
Bisa saja tujuannya baik, yaitu membantu pekerjaan orang tua, menjaga adik-adik
dst. Tetapi yang terjadi nanti, apa tidak sebaliknya? Justru semakin menjadi
beban orang tua, karena selalu bertengkar dengan adik yang sedang tumbuh dewasa
dst.
Saya menangis dan
bersimpuh di lutut Kang Ayip, bertekad memilih kembali ke Surabaya, dan siap walaupun
hidup dalam keprihatinan. Beliau menepuk pundak saya, sambil berpesan untuk
terus mengaji dan jangan lupa ziarah ke Sunan Ampel.
Saya dibekali
amalan untuk membaca surat Al Insyirah selepas shalat fardhu. Dan khusus ayat 5
dan 6: fa inna ma'a al'usri yusrā, inna ma'a al'usri
yusrā (maka sesungguhnya setiap kali ada
kesulitan itu ada kemudahan, dan sesungguhnya setiap kali ada kesulitan itu ada
kemudahan) dibaca tiga kali.
Amalan ini jadi
spirit untuk selalu bisa berdamai dengan kehidupan di tanah rantau. Saya
mendapat pelajaran, bahwa al ‘usra (kesulitan) pada ayat di atas menunjukkan
makna bahwa kesulitan itu “tertentu” (ma’rifat) saja atau kasuistis.
Berbeda dengan
yusra (kemudahan) yang tanpa alif lam, jadi isim nakirah, punya makna “tak
terhingga”. Kesulitan itu ibarat butiran pasir di antara luasnya padang pasir (anugerah
kenikmatan) pada kehidupan manusia.
Allah SWT juga meletakkan
kata ma’a (menyertai) dan bukan ba’da (setelah) dalam surat Al Insyirah ini. Artinya,
setiap kali ada masalah/ cobaan apapun, Dia Yang Maha Pengasih dan Penyayang
telah menyiapkan solusinya untuk kita.
Walhasil selama
kuliah (1991-1995) saya benar-benar belajar berdamai dengan keprihatinan. Saya
tinggal di pesantren gratis yang tidak memiliki toilet. Seratusan santri ketika
itu kalau buang air besar harus berjalan 200-an meter untuk jongkok di bilik
sungai yang dilewati mahasiswa-i kuliah.
Sayapun harus
mengelola uang wesel kiriman orang tua seratus-an ribu sebulan. Itu harus cukup
untuk makan, beli buku dll. Kondisi seperti itu memaksa saya harus nyambi kerja
serabutan untuk mencukupi kebutuhan tambahan transport kesana-kemari sebagai
aktivis dst. Nguli bangunan, makelar percetakan, atau jualan apa saja pernah saya
jalani.
Lulus dari IAIN
Sunan Ampel, saya diminta oleh beberapa senior untuk daftar Cados (calon
dosen). Konon saya masuk “radar” para dosen sepuh untuk menerima estafet
regenerasi dosen.
Kurang dari setahun
pasca wisuda (1996) saya benar-benar jadi dosen di kampus swasta milik
pesantren terbesar di Jombang, sebelum akhirnya menjadi dosen PNS di IAIN Sunan
Ampel pada 1998.
Khabar itu membuat
orang tua dan guru-guru saya di Cirebon bangga. Mereka sering menjadikan
perjalanan hijrah saya itu “success story” untuk memotivasi santri dan siswa.
Sebagai orang tua,
kita harus berani melatih anak-anak berhijrah, berpisah dengan orang tua.
Mondok atau minimal pernah tinggal di boarding school, berpisah (sementara) dari
orang tua. Biarkan anak-anak itu merasakan keprihatinan, sebuah proses
pendewasaan diri yang menjadi bekal suksesnya kelak.
Kalaupun ada dari
mereka minder, karena status santri (khususnya dari pesantren salaf) itu
identik dengan anak kurus, gudigen, dst. Biarkan saja bullyian itu mereka nikmati.
Bangun optimisme
pada mereka dengan perjalanan hidup kupu-kupu. Sebelum hewan berwarna-warni nan
indah itu dinanti para pemilik rumah, kupu-kupu itu adalah ulat yang
menjijikkan dan dijauhi orang.
Namun setelah ulat
itu hidup dalam keprihatinan, menarik diri, hijrah, tirakat, puasa dst, maka
ulat itu tumbuh menjelma menjadi kepompong, dan akhirnya menjadi kupu-kupu
indah yang dinanti kedatangannya oleh siapapun, terutama pemilik rumah-rumah
mewah, karena diyakini bisa mendatangkan hoki dst.
Sukses itu sebuah
proses metomorfosis sebagaimana kehidupan kupu-kupu di atas. Siapapun pasti
menjumpai ujian atau cobaan dalam hidupnya, termasuk hidup dengan keprihatinan.
Mereka yang berani menghadapi ujianlah yang bakal naik drajatnya.
Anak-anak yang mau
naik kelas di SD hingga perguruan tinggi pastilah mereka yang sudah
menyelesaikan ujiannya. Gelar sarjana (S1) diraih setelah lulus ujian Skripsi.
Kepingin gelar Master, wajib menghadapi ujian Thesis (S2), lebih sulit dari
skripsi. Sedangkan untuk yang lulus ujian Disertasi (S3) akan mendapat gelar
terhormat akademik sebagai Doktor.
Maka hanya mereka
yang terlatih prihatin sajalah yang tangguh menghadapi semua ujian kehidupan.
Kita juga bisa
belajar dari kehidupan burung rajawali sebagaimana dikisahkan dalam kitab Injil.
Burung paling gagah perkasa itu mulai melatih anaknya untuk keluar dari zona
nyaman, yaitu memberi makan di luar sangkarnya pada usia 6-7 minggu.
Sangkar anak
rajawali yang rapat dan empuk itu bahkan dirusak sendiri oleh sang induk untuk
memaksa anaknya keluar. Induk rajawali tak menghiraukan teriakan dan tangisan
anak-anak mereka.
Ketika sang anak rajawali
memasuki usia 11-12 minggu. Mereka ditendang, dilempar dengan patuknya dari
ketinggian tebing ribuan kaki di atas permukaan laut.
Anak-anak rajawali
itu teriak sambil mengepak-ngepak sayapnya untuk menyelamatkan diri terbang ke
angkasa. Induknya mengawasi dari atas, agar anak-anak rajawali itu fokus menyelamatkan
diri dari kuatnya daya tarik bumi, terjun bebas ke samudera ganas.
Kalau anak rajawali
itu ada yang tak kuasa menggerakkan sayapnya, maka sebelum tercebur ke laut,
dengan sigap sang induk menyelamatkannya, dan menggondongnya ke atas tebing,
bekas sangkarnya.
Besoknya, sang
induk menendang dan melempar kembali anak-anaknya itu ke jurang, dan begitu
seterusnya, sampai sayap-sayap anak rajawali itu kuat dan tangguh terbang
tinggi mandiri.
Saya beruntung
punya orang tua yang mengarahkan kepada sosok Kang Ayip sebagai guru ngaji,
sekaligus guru kehidupan yang paripurna.
Nasihatnya untuk memilih
hidup prihatin dini, dengan istiqamah mengaji (baca: belajar), juga mendalami perjuangan
Raden Ahmad Rahmatullah Sunan Ampel benar-benar membawa keberkahan dalam
merajut mimpi bersama santri-santri pesantren yang saya asuh sekarang. Wallahu
a’lam.
Penulis : Syarif Thayib,
Alumni Ponpes Jagasatru Cirebon, Dosen UIN Sunan Ampel, Pengasuh
Pesantren KidsPreneur gratis di Surabaya