Kakek Habib Luthfi bin Yahya, Salah Satu Ulama di balik Lahirnya NU
Beberapa hari ini kaum Nahdliyyin ramai dengan hiruk pikuk kemeriahan, tidak lain tidak bukan yakni peringatan hari lahir organisasi terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama yang genap satu abad.
Dalam perjalanannya NU memiliki banyak historis terutama tokoh-tokoh pendirinya seperti Hadratussyekh Hadratussyekh KH Hasyim Asyari, KH Abdul Wahid Hasyim, KH Zainul Arifin, KH Zainal Musthafa, KH Idham Chalid, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH As'ad Syamsul Arifin, KH Syam'un KH Syam'un dan kiai-kiai Pendiri NU lainya.
Selain itu, ada beberapa tokoh yang jarang kita ketahui mengenai lahirnya Nahdlatul Ulama ntah itu karena kurang dipublikasi media ataupun karena ketawadluan dari ulama-ulama nya, wallahu a'lam.
Dan diantara dari sekian banyak tokoh yang melatarbelakangi lahirnya Nahdlatul Ulama yakni salah satunya ialah Habib Hasyim bin Umar bin Yahya Pekalongan (Kakek Maulana Habib Luthfi bin Yahya) yang jarang diketahui oleh khalayak umum.
Habib Hasyim bin Umar bin Yahya merupakan kakek dari Maulana Habib M. Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya Pekalongan, Beliau lahir hari Senin bulan Jumadil Akhir tahun 1280 H/1862 M, di Karangampel, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.
Habib Hasyim bin Yahya Tokoh di Balik Berdirinya NU
Seperti yang di rilis dalam video yang diunggah oleh kanal YouTube Bangkit Media 2 tahun yang lalu, yang berjudul Sosok Wali Kuci Berdirinya NU. Riwayat berikut diceritakan langsung dari Habib Luthfi bin Yahya, dulu saya sering duduk di rumahnya Kiai Abdul Fattah, untuk mengaji. Di situ ada seorang wali, namanya Kiai Irfan Kertijayan. Kiai Irfan adalah sosok yang hafal keseluruhan kitab Ihya Ulumuddin, karena kecintaannya yang mendalam pada kitab tersebut. Setiap kali ketemu saya beliau pasti memandangiku lalu menangis. Di situ ada Kiai Abdul Fattah dan Kiai Abdul Adzim.
Lama-kelamaan akhirnya beliau bertanya, “Bib, saya mau bertanya. Cara dan gaya berpakaian Anda kok sukanya sarung putih, baju dan kopyah putih, persis guru saya.”
“Siapa Kiai?” jawabku.
“Habib Hasyim bin Umar,” jawab Kiai Irfan.
Saya mau mengaku cucunya tapi kok masih seperti ini, belum menjadi orang yang baik, batinku dalam hati. Mau mengingkari/berbohong tapi kenyataannya memang benar saya adalah cucunya Habib Hasyim. Akhirnya Kiai Abdul Adzim dan Kiai Abdul Fattah yang menjawab, “Lha beliau itu cucunya.”
Lalu Kiai Irfan merangkul dan menciumiku sembari menangis hebat saking gembiranya. Kemudian beliau berkata, “Mumpung saya masih hidup, saya mau cerita, Bib. Tolong ditulis.”
“Cerita apa Kiai?” jawabku.
“Begini,” kata Kiai Irfan mengawali ceritanya.
Mbah Kiai Hasyim Asy’ari setelah beristikharah, bertanya kepada Kiai Kholil Bangkalan. Bermula dengan mendirikan Nahdlatut Tujjar dan Nahdlah-nahdlah yang lainnya, beliau merasa kebingungan. Hingga akhirnya beliau ke Mekkah untuk beristikharah kembali di Masjidil Haram. Di sana kemudian beliau mendapat penjelasan dari Kiai Mahfudz at-Turmusi dan Syekh Ahmad Nahrawi, ulama Jawa yang sangat alim. Kitab-kitab di Mekkah kalau belum ditahqiq atau ditandatangani oleh Kiai Ahmad Nahrawi maka kitab tersebut tidak akan berani dicetak. Itu pada masa Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti Mekkah pada waktu itu.
Syaikh Mahfudz at-Turmusi dan Syekh Ahmad Nahrawi dawuh kepada Kiai Hasyim Asy’ari, “Kamu pulang saja. Ini alamat/pertanda NU bisa berdiri hanya dengan dua orang. Pertama Habib Hasyim bin Umar bin Yahya Pekalongan, dan kedua Kiai Ahmad Kholil Bangkalan (Madura).”
Maka Kiai Hasyim Asy’ari pun segera bergegas untuk pamit pulang kembali ke Indonesia. Beliau bersama Kiai Asnawi Kudus, Kiai Yasin dan para kiai lainnya langsung menuju ke Simbangkulon Pekalongan untuk bertemu Kiai Muhammad Amir dengan diantar oleh Kiai Irfan dan kemudian langsung diajak bersama menuju kediaman Habib Hasyim bin Umar.
Baru saja sampai di kediaman Habib Hasyim langsung berkata, “Saya ridha. Segeralah buatkan wadah Ahlussunnah wal Jamaah. Ya Kiai Hasyim, dirikan, namanya sesuai dengan apa yang diangan-angankan olehmu, Nahdlatul Ulama. Tapi tolong, namaku jangan ditulis.” Jawaban terakhir ini karena wujud ketawadukan Habib Hasyim.
Kemudian Kiai Hasyim Asy’ari meminta balagh (penyampaian ilmu) kepada Habib Hasyim, “Bib, saya ikut ngaji bab hadits di sini. Sebab Panjenengan punya sanad-sanad yang luar biasa.” Makanya Kiai Hasyim Asy’ari tiap Kamis Wage pasti di Pekalongan bersama Sultan Hamengkubuwono IX yang waktu itu bernama Darojatun, mengaji bersama. Jadi Sultan Hamengkubowono IX itu bukan orang bodoh, beliau orang yang alim dan ahli thariqah.
Setelah dari Pekalongan Kiai Hasyim Asy’ari menuju ke Bangkalan Madura untuk bertemu Kiai Ahmad Kholil Bangkalan. Namun baru saja Kiai Hasyim Asy’ari tiba di halaman depan rumah Kiai Kholil sudah mencegatnya seraya dawuh, “Keputusanku sama seperti Habib Hasyim!”
Lha, ini dua orang kok bisa kontak-kontakan, padahal Pekalongan-Madura dan waktu itu belum ada handphone. Inilah hebatnya. Akhirnya berdirilah Nahdlatul Ulama.
Dan Muktamar NU ke-5 ditempatkan di Pekalongan sebab hormat kepada Habib Hasyim bin Umar. Jadi jika dikatakan Habib Luthfi bin Yahya kenceng (fanatik) kepada NU, karena merasa punya tanggungjawab kepada Nahdlatul Ulama dan semua habaib. Dan ternyata cerita ini disaksikan bukan hanya oleh Kiai Irfan, tapi juga oleh Habib Abdullah Faqih Alattas, ulama yang sangat ahli ilmu fiqih.
Beliau menikah dengan Syarifah Salmah binti Muhammad bin Ibrahim bin Yahya. Syarifah Salmah ini adalah Raden Ayu Kun Maryati (keturunan dari para bangsawan Adipati). Beliau wafat pada tahun 1350 H/1931 M, jenazah beliau dimakamkan di Sapuro pada hari Senin, 15 Rabi'ul Akhir.
Penulis : Khumaedi NZ
Ketua PK MATAN IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2021-2022