MULAI RAMAI MENOLAK HABIB

Sekarang ini mulai deras penolakan terhadap sebutan “habib”, sama derasnya dengan promosi “habib” waktu itu seiring dengan Pilpres 2014 dan 2019. 


Kini, mulai banyak keturunan Nabi saw, terutama dari jalur walisongo yang menolak disebut habib.

Pertama: Ini terjadi sejak pertama, diungkapkannya hasil penelitian K.H. Imaduddin Al Bantani yang menjelaskan bahwa keluarga Alawiyin tidak tersambung ke Nabi Muhammad saw. 

Kedua, pernyataan tegas “Naqobah Ansab Auliya Tis’ah (NAAT)”, ‘Lembaga Pencatat Nasab Wali Songo’ bahwa Bahar bin Smith telah melakukan fitnah dan NAAT tidak memerlukan pengakuan nasab sebagai keturunan Nabi Muhammad saw dari Rabithah Alawiyah. NAAT punya catatan sendiri yang lebih terjaga dan ilmiah.

Sekarang, tambah banyak yang mencoba mengupas penelitian Kiyai Imad dengan penjelasan yang sangat sederhana dan mudah dipahami. Dalam penelitian Kiyai Imad, disebutkan bahwa silsilah yang diproduksi Rabithah Alawiyah berbeda dibandingkan kitab-kitab silsilah lama yang ada sejak abad 5 hijriyah. 

Dalam silsilah Rabithah Alawiyah terjadi penambahan orang yang diklaim sebagai keturunan Nabi saw, padahal dulu tidak pernah ada. Namanya Ubeidillah. Nama ini seolah-olah dicantolkan belakangan pada sekitar tahun 1800-an. Nama ini tidak dikenal dalam kitab-kitab silsilah lama. Dari Ubeidillah inilah turun generasi keluarga Alawiyah yang ada di Indonesia sekarang ini. 

Artinya, jika Ubeidillah adalah nama yang dicantolkan belakangan tiba-tiba dan tidak diketahui anak dari siapa, seluruh habib yang ada di Indonesia ini terputus darahnya dari Nabi saw. Mereka bukanlah keturunan Nabi Muhammad saw.

Di samping itu, tidak ada catatan mereka di Yaman, negara asal mereka. Rabithah Alawiyah itu hanya ada di Indonesia dan berdiri pada 1928. Di Yaman tidak ada. Hal ini menimbulkan keraguan karena jika benar tersambung ke Nabi Muhammad saw, harus ada catatannya dari lembaga di Yaman atau di Irak karena Yaman itu berasal dari Irak.

Hal yang lebih mengagetkan lagi adalah adanya tuduhan bahwa keluarga Bani Alawiyin ini adalah antek-antek dan boneka penjajah Belanda dalam menghancurkan perjuangan umat Islam di Indonesia. Catatan ini dibongkar dengan dikaitkan pada pencantolan nama Ubeidillah yang terjadi sekitar 1800-an. 

Sejarah mencatat bahwa kedatangan Belanda dengan perusahaan VOC terjadi mulai 1602. Sejak saat itu terjadi perlawanan pada Belanda, terutama dari kalangan umat Islam. Untuk meredam perlawanan umat Islam, atas saran Snouck Hurgronje, diangkatlah imigran dari Yaman yang bernama Habib Utsman dengan gaji 1.000 gulden per bulan oleh Belanda untuk menjadi Mufti Agung Batavia. Habib Utsman membuat kitab dan berfatwa “Haram Memberontak pada Penjajah Belanda”. Bahkan, Habib ini di Masjid Pekajon mendoakan Ratu Belanda Wilhelmina ketika ulang tahun pada 2 September 1898.

Hal ini pun sama dengan catatan cendekiawan muslim Azyumardi Azra bahwa Habib Utsman yang berasal dari Yaman, Hadramaut adalah kontroversial dan bekerja sama dengan penjajah Belanda dengan mengkritik jihad petani Banten pada 1888. Inilah data yang tersebar pada berbagai Medsos dan melahirkan banyak kecaman bahwa keluarga Alawiyin ini adalah antek penjajah Belanda. 

Coba lihat angka tahunnya, sekitar 1800-an bukan?

Sama dengan perkiraan tahun pencantolan Ubeidillah di silsilah keturunan Nabi saw, bukan?

Kembali ke soal penolakan NAAT untuk konfirmasi terhadap Rabithah Alawiyah. NAAT tidak memerlukan pengakuan Rabithah Alawiyah karena keturunan Wali Songo bukan dari keluarga Alawiyin. Mereka punya keluarga sendiri yang dicatat oleh banyak lembaga keluarga masing-masing. Malah NAAT itu punya catatan yang lebih lengkap, ketat karena harus ada catatan dari negara asal mereka sebagai keturunan Nabi saw, misalnya, Maroko, Irak, Iran, Mesir, dan lain sebagainya. Kalaupun catatan itu tidak ada, mereka tidak takut untuk tes DNA.

Dengan demikian, kita bisa paham mengapa sekarang mulai banyak yang menolak disebut habib. Itu karena data silsilahnya diragukan dan tidak jelas sumbernya serta sebutan “habib” itu hanya klaim dari keluarga Alawiyin. Mereka yang bukan dari Baalawi lebih suka dipanggil “sayid, sayidah, syarif, syarifah”, bahkan ada juga yang hanya senang dipanggil ‘Ustadz” karena merasa lebih dekat dengan masyarakat dan murid-muridnya.

Rabithah Alawiyah harus menjelaskan ini semua dengan riset atau penelitian modern sebagaimana yang dilakukan Kiyai Imad agar semuanya clear. Kalau bisa, lebih hebat dibandingkan Kiyai Imad, misalnya, datanya bersumber dari kitab silsilah yang ditulis pada tahun ketika orang-orang yang ada dalam kitab itu masih hidup. Itu jauh lebih akurat. Paling tidak, kitab yang ditulis tidak jauh jaraknya dari waktu hidup orang-orang yang dicatat dalam kitab itu.

Kalau kita semua mencintai Nabi Muhammad saw dan berharap berlimpahnya  rahmat bagi umat Muhammad saw, buka data yang benar, berdebat yang akademis agar semuanya menjadi lurus. Hasil penelitian hanya bisa dibantah atau digugat oleh penelitian lain yang lebih akurat.  Memang banyak sekarang dari pendukung Rabithah Alawiyah yang menjawab balik Kiyai Imad, tetapi isinya cuma bantahan-bantahan murahan yang kalau enggak marah-marah, cengengesan, atau hal bodoh lainnya. Kalau dijawab dengan hal seperti itu atau sekedar pod cast, mau ribuan tayangan pun, nilainya hanya “nol”, omong kosong. Bikin satu saja penelitian seperti Kiyai Imad, itu sangat jauh lebih bermakna dan penuh ilmu pengetahuan. Itu namanya cerdas. Malu dong sama Nabi Muhammad saw yang “fathonah”, ‘cerdas’. Saya dukung penuh Rabithah Alawiyah untuk melakukan penelitian. Kalau tidak, penelitian Kiyai Imad adalah “kebenaran” sebelum ada penelitian lain yang menjatuhkannya. Begitu cara kerja ilmu pengetahuan.

Buka dengan jujur, apalagi soal sejarah. Jika sejarah keluarga imigran Yaman kerja sama dengan Belanda, akui saja. Tinggal kita bekerja sama di Negara Indonesia yang telah merdeka ini. Kalau tidak dijelaskan, ini bakal menjadi bola liar karena menganggap bahwa wali songo tidak punya keturunan. Padahal, keturunan wali songo itu menyembunyikan dirinya supaya tidak ditangkap penjajah Belanda. Itulah salah satu alasan kenapa keturunan wali songo yang juga keturunan Nabi saw tidak pernah koar-koar soal nasabnya. Mereka semuanya adalah pejuang, pemberontak, prajurit yang melawan penjajahan. Jangan sampai ada pikiran di masyarakat kita bahwa ketika keturunan wali songo sedang berperang, keluarga Yaman malah enak-enak kerja sama dengan Belanda untuk meredam perjuangan keturunan wali songo. Itu sangat berbahaya.

Satu lagi yang mesti dicatat. Jangan takut tes DNA untuk meyakinkan nasab kalau memang keturunan Nabi saw. Reporter Najwa Shihab, anak dari Quraish Shihab, berani untuk melakukan tes DNA. Hasilnya, mengagetkan. Hasil dari tes DNA menunjukkan bahwa komposisi DNA Najwa Shihab jangankan mendekati DNA Nabi Muhammad saw, dekat ke gen Arab saja tidak, hanya 3,48% untuk “Middle Eastern”. Malah, komposisi Najwa Shihab lebih dekat ke gen India, 48,54% untuk “South Asian”. Itu yang ada di kompas com. Hasil ilmu pengetahuan. 

Baik Najwa Shihab, maupun ayahnya, Quraish Shihab, tenang-tenang saja. Tidak ada masalah. Dari dulu juga tidak mau disebut habib. Biasa saja. Mereka orang-orang cerdas yang terbuka pikirannya. Saya sangat menghormati Quraish Shihab karena ceramahnya padat ilmu dan menulis tafsir Al Misbah. Tak akan berkurang rasa hormat saya dan para penuntut ilmu kepada Qurasih Shihab hanya karena hasil tes DNA. Demikian pula para pengagum, pengikut, pendukung, atau umat Habib Luthfi bin Yahya, Habib Husein Baagil, Habib Zen Asegaf, Habib Jindan, Habib Husein Jafar, dan habib-habib lainnya, tidak akan berkurang rasa hormat mereka. Rasa hormat itu berasal dari manfaat yang dirasakan, ilmu yang bertambah, masalah yang terpecahkan, ketenteraman dan ketenangan yang terasa, keamanan yang terjamin agar NKRI tetap utuh, kehidupan yang harmonis, dan lain sebagainya.

Hiruk  pikuk soal perhabiban ini terus terjadi karena memang merupakan akibat hiruk pikuk yang mereka lakukan sendiri pada waktu yang lalu. Tenang, selesaikan dengan baik, gunakan ilmu pengetahuan karena Allah swt telah melengkapi kita dengan akal untuk menjadi penengah dalam kehidupan beragama.


Sampurasun.

Penulis : Enro Diponegoro

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel