Sayid Fahrul Baraqbah Seorang Komunis dari Kalimantan
Dari sekian banyak keturunan Arab, bahkan tergolong kaum sayid, hanya Sayid Fahrul Baraqbah yang membuat perbedaan dalam sejarah orang Arab di Indonesia. Adalah lumrah jika keturunan Arab bergabung dengan partai Islam, tapi Fahrul memilih jadi pemimpin Partai Komunis Indonesia.
Di Hadramaut, orang-orang Arab yang kehidupannya dipersulit oleh bentang alam, akhirnya banyak yang memutuskan merantau. Keturunan Nabi Muhammad SAW juga ikut serta. Mereka menuju Asia Tenggara, termasuk ke Nusantara, dengan sebagian besar motivasinya untuk berdagang.
“Mereka merantau ke luar negeri untuk mengadu nasib, atau seperti kata pepatah Arab: untuk mencari cincin Nabi Sulaiman yang kaya raya itu,” tulis Lodewijk Willem Christiaan van den Berg dalam Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara (1989).
Tak semuanya berdagang, bahkan ada yang berpolitik. Di pulau Kalimantan, terdapat Kesultanan Pontianak Qadariyah dari dinasti Al Qadrie. Di Kalimantan Timur, meski tidak menjadi Sultan, ada Sayid Baraqbah dan Sayid Muhammad yang jadi orang kepercayaan Sultan Kutai. Keduanya punya gelar bangsawan setempat: Aji Raden.
Burhan Magenda dalam "Dinamika Peranan Politik Keturunan Arab di Tingkat Lokal" (Jurnal Antropologi Indonesia Vol. 29, No. 2; 2005), menyebut bahwa pejabat-pejabat Kutai dari keturunan Arab umumnya dari kelas sosial atas, yakni golongan sayid.
Menurut data dari Rabithah Alawiyah, Qabilah-qabilah Alawiyin yang Tersisa di Dunia, Baraqbah merupakan salah satu keluarga sayid atau keturunan Nabi yang ada di Indonesia. Magenda mencatat, karier Sayid Baraqbah di pemerintahan diikuti pula oleh anaknya.
Sayid Mochsen Baraqbah, anak sulungnya yang lahir pada 1919, pernah belajar di sekolah Pamong Praja OSVIA, akronim untuk Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren alias sekolah pendidikan bagi calon pegawai-pegawai bumiputra pada zaman Hindia Belanda. Usai lulus, ia jadi pejabat kerajaan. Ia pernah menjadi Kepala Penjawat, setara camat atau kepala distrik, sebelum menduduki posisi birokrasi lain di pemerintahan hingga pensiun sebagai bupati pada 1965. Si sulung juga punya gelar bangsawan Aji Raden.
Ia memilki dua adik. Sayid Gasyim Baraqbah, yang bergiat di organisasi Nahdhatul Ulama dan semasa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) menjabat wakil NU di parlemen daerah Kalimantan Timur. Sementara satu adik lagi, Sayid Fahrul Baraqbah, memlih jalan anomali dan melakukan "bunuh diri kelas".
Fahrul enggan membanggakan gelar dalam keluarga aristokrat Kutai berdarah Arab. Ia bergabung ke dalam Partai Komunis Indonesia. Jabatannya adalah Sekretaris Comite Daerah Besar PKI Kalimantan Timur. Burhan Magenda dalam East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy (2010) mencatat riwayat Fahrul dari abangnya, Gasyim.
Sayid Fahrul Baraqbah lahir pada 1925. Ia hanya lulus sekolah dasar elite Hollandsch Inlandsche School (HIS). Pada 1945, Fahrul menjadi salah satu gerilyawan anti-Belanda di Samarinda. Ketika posisi Belanda makin kuat dan menjepit para pejuang pro-Republik di Kalimantan Timur, Fahrul Baraqbah melarikan diri ke Jawa Timur. Di sana ia bergabung dengan laskar bersenjata Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Laskar ini dikenal dekat dengan Amir Sjarifuddin. Di Pesindo, Fahrul pernah ditempatkan di Yogyakarta pada 1947. Setahun berikutnya ia terlibat dalam Front Demokrasi Rakyat dan Peristiwa Madiun. Ketika orang-orang Komunis itu dihabisi akibat intrik politik kaum nasionalis,
Fahrul lolos dari pembersihan. Usai revolusi, Pesindo berubah jadi Pemuda Rakyat. Fahrul sendiri pulang ke kampung halamannya pada awal 1950. Di sana ia menjadi salah satu pimpinan Comite Daerah Besar—semacam DPD Provinsi—PKI Kaltim di masa Demokrasi Terpimpin. Di kalangan buruh di Balikpapan, Fahrul cukup berpengaruh. “Sebagai pemimpin PKI Kaltim, Fahrul Baraqbah menguasai massa buruh minyak yang militan di Balikpapan yang kebanyakan menjadi anggota dari afiliasi PKI, Persatuan Buruh Minyak ...
Dalam tradisi keturunan Arab di Kalimantan Timur, peranan Sayid Fahrul Baraqbah di dalam PKI dianggap sebagai suatu kekhususan karena pengalaman Sayid Fahrul Baraqbah sendiri dan di luar 'arus utama politik' keturunan Arab Kaltim pada umumnya yang rata-rata non-Komunis,” tulis Magenda dalam jurnal. Jelang 1965, Fahrul Baraqbah juga memimpin Front Nasional Kaltim.
Tak hanya enggan memakai gelar aristokrat keturunan Arab, dalam pidatonya di Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959 di Jakarta, Fahrul tampaknya pula menolak keberadaan kesultanan di sebuah negara Republik. “Belum diundangkannya oleh Pemerintah UU penghapusan daerah istimewa di Kalimantan Timur yang sudah disetujui Parlemen tanggal 11 Mei 1959 yang lalu, hal ini tidak mempunyai arti lain selain menghambat kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh perjuangan Rakyat di Kalimantan Timur yang karenanya masih memberikan kemungkinan bagi kaum feodal dan kaum anti-demokrasi lainnya untuk dapat memperpanjang kekuasaan feodal/swapraja yang sudah dibenci oleh Rakyat,” serunya dalam pidato.
Garis politik Fahrul jelas anti-Belanda. Ia mendukung program nasionalisasi perusahaan asing pada 1950-an, termasuk salah satu perusahaan pelayaran Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), yang beroperasi sejak 1888. Baginya, “Sikap ragu-ragu Pemerintah dalam mengambil alih perusahaan pelayaran KPM dan mengembalikan kapal-kapal KPM kepada pemiliknya Belanda, membawa akibat yang tidak ringan bagi penghidupan Rakyat Kalimantan Timur yang semua atau hampir semua kebutuhan pokok hidupnya tergantung dari luar daerah.” Isi pidatonya di Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia mencerminkan ideologinya, seorang Komunis yang anti-imperialisme. Fahrul, yang tinggal di Jalan Baru Samarinda pada 1960-an, adalah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara sejak 15 September 1960. Nomor anggotanya 57/B dan menduduki Wakil Ketua DPRD Kalimantan Timur saat itu.
Fahrul terbilang akrab dengan Panglima Komando Daerah Militer Mulawarman, Brigadir Jenderal R. Soeharjo alias Hario Kecik. Usai peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jakarta, yang lantas berbalik menjadi kampanye hitam anti-PKI dan pembunuhan besar-besaran terhadap kaum Komunis di Indonesia, Fahrul ditangkap. Ia salah satu dari 500 ribu hingga tiga juta orang Indonesia yang tergulung gelombang berdarah dalam sejarah politik Tanah Air.
Bagi Burhan Magenda, sosok Fahrul sangatlah unik. Mengingat kecenderungan orang keturunan Arab, apalagi keturunan Nabi, garis politiknya (mestinya) lebih cocok ke partai beraliran Islam, bukan Partai Komunis Indonesia. Namun, bagi (Sayid) Fahrul Baraqbah, yang berjuang dalam Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949, PKI menjadi pelabuhan dan jalan perjuangan politiknya.
Penulis: Petrik Matanasi
Sumber : "Sayid dan Komunis dari Kalimantan", https://tirto.id/chgN