BERCERMIN DARI AL-ZAYTUN
Semenjak disahkannya undang-undang pesantren makin banyak sahabat saya yang antusias mendirikan pesantren.
Jangan salah Indramayu bukan hanya memiliki satu pesantren mentereng sehebat Al-Zaytun tapi juga ratusan pesantren yang terdaftar IJOP-nya di Kementerian Agama Republik Indonesia.
Tentu bahagia rasanya punya sahabat punya pesantren.
Suatu hari saya dengar berita ada maling mencuri kotak amal di wilayah Patrol Kecamatan Patrol Indramayu tertangkap kamera.
Ada 2 hal yang membuat hati saya trenyuh, sedih disatu sisi juga tertawa di lain pihak. Mencuri uang masjid itu tentu bukan perbuatan baik, cara mendapatkan uang yang salah. Tapi yang membuat saya terkekeh adalah amal jariyah yang terkumpul itu diambil semua oleh maling, dapat banyak amal dong itu si maling.
Cerita maling kotak amal itu menurut saya biasa. Ada yang lebih sadis dari
maling kotak amal, yang memindahkan uang jamaah ke kantongnya menjadi milik
pribadi. Banyak juga pejabat misalnya oknum
pejabat pajak yang mengumpulkan uang pajak kemudian dicuri menjadi milik
pribadi. Cara mereka canggih tidak bisa
ditiru maling kotak amal yang dapat recehan.
Tindak Pidana Pencucian Uang atau TPPU itu tentu tidak legal, sama tidak legalnya maling kotak amal. Tapi cara-cara memindahkan uang uang rakyat (pajak), amal (sedekah) ada yang legal ada yang tidak legal.
Maling kotak amal, atau
oknum pejabat yang melakukan TPPU harus dinyatakan bersalah setelah melalui
pengadilan, pembuktian kebenaran di depan hakim. Tidak boleh kita memvonis
bersalah, jahat, sesat tanpa melalui pengadilan.
Sebagai contoh misalnya kawan saya membuat pesantren IJOP-nya sudah ada, santrinya ada
(meski cuma ada 3 orang), gedungnya ada meski meminjam madrasah diniyyah
misalnya. Kemudian dia bikin proposal, dapatlah kawan saya bantuan BOP
Pesantren 500 juta dari pemerintah.
Dibelanjakanlah 100 juta untuk kebutuhan santri selama satu tahun, kemudian 400 juta
untuk beli mobil pengasuh. Apakah pengasuh pondok pesantren dapat saya nilai
salah?
Sebagai kawan menurut saya tanpa pembuktian pengadilan, kawan saya adalah
orang baik, tidak salah. Kecuali pengadilan membuktikan kesalahan kawan saya
itu secara hukum. Konsensus kita bernegara adalah persamaan kita di muka hukum,
bukan penghakiman saya secara sepihak.
Sejak tahun 90-an Pesantren Al-Zaytun berdiri megah, menghasilkan ribuan
alumni. Tentu saja didaftarkan secara hukum oleh pemilik yayasannya. Banyak
kawan saya juga tertarik untuk sukses seperti Al-Zaytun. Punya gedung megah,
mandiri secara finansial di sisi anggaran dan belanja pesantren. Tapi tentu
tidak semua berhasil seperti Al-Zaytun.
Rumus pemindahan kepemilikan itu hampir sama. Dari uang amal atau pajak
kemudian dipindahkan ke milik pribadi, atau yayasan atau BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) kemudian
dimanfaatkan oleh pribadi pemilik yayasan atau BUMD kalau di Pemerintah Daerah.
Regulasi dan legislasilah yang menjadikan pemindahan uang itu sah atau tidak
sah. Kasus uang BPR KR di Indramayu misalnya contoh pemindahan kepemilikan yang bermasalah dan harus diselesaikan secara hukum.
Kehebatan Al-Zaytun dalam mengelola pendidikan, pesantren, kemandirian ekonomi, mengelola santri, memanage anggaran harusnya bisa menjadi cermin bagi mereka yang mengelola pesantren tapi tak maju-maju, santrinya sedikit, duitnya hanya dapat dari pencairan proposal.
Belajar itu bisa dari siapa saja, bukankah Nabi mengajarkan kita belajarlah sampe ke negeri Cina. Soal ada kekurangan sebaiknya yang kurang ditambahkan, yang bengkok
diluruskan sesuai kaidah al-muhafadhotu
'ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah. Seperti pesantren Al-Zaytun itu ada baiknya ya dipertahankan, yang kurang
baik tentu sebaiknya diubah agar menjadi makin baik.
Bolehkah bercermin hal baik dari Al-Zaytun? Kenapa tidak?
Penulis : Yahya Ansori (Kordinator Forum Muda NU Indramayu)