Apakah Indonesia Kembali ke Era Autocratic Legalism dan Autoritarian Populism?

Era Autocratic Legalism dan Autoritarian Populism



Pasca pemilihan presiden 2024, diskusi seputar arah politik Indonesia semakin memanas. Pertanyaan tentang apakah Indonesia akan kembali ke era autocratic legalism dan autoritarian populism menjadi semakin relevan di tengah wacana tentang koalisi partai-partai politik dan komunikasi antar-elit politik. Salah satu partai politik terbesar di Indonesia, PDI Perjuangan, menjadi sorotan, terutama terkait posisinya dalam pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana PDI Perjuangan, dengan sejarah panjangnya baik di dalam maupun di luar pemerintahan, memposisikan diri dalam dinamika politik terkini. Komunikasi yang intens antara Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, dan Prabowo Subianto mengundang berbagai spekulasi, apakah PDI Perjuangan akan bergabung dalam kabinet pemerintahan atau memilih tetap di luar sebagai oposisi yang kritis.

Komitmen PDI Perjuangan terhadap Civil Society

PDI Perjuangan, yang dikenal sebagai partai yang memiliki basis massa kuat dan komitmen terhadap Civil Society, selama ini konsisten memperjuangkan demokrasi yang sehat dan melawan berbagai bentuk otoritarianisme. Hingga hari ini, komunikasi antara PDI Perjuangan dengan unsur-unsur publik yang kritis tetap terjalin baik. Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, misalnya, terus hadir dalam berbagai kegiatan publik, termasuk di acara budaya seperti yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki, yang menunjukkan bahwa partai ini tidak hanya berfokus pada politik praktis, tetapi juga memiliki perhatian terhadap kebudayaan dan Civil Society.

Namun, komunikasi intens antara Megawati dan Prabowo menimbulkan tanda tanya di publik: apakah ini pertanda bahwa PDI Perjuangan akan masuk ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran? Ataukah partai ini akan tetap memilih jalur oposisi, yang selama ini dinilai sebagai penjaga demokrasi dari berbagai praktik otoritarianisme?

Antara Kaderisasi dan Fungsi Kontrol

Bagi PDI Perjuangan, bergabung atau tidaknya ke dalam pemerintahan bukanlah keputusan yang diambil secara sembarangan. Megawati dan para pimpinan partai selalu berpegang pada mekanisme internal partai yang dijalankan melalui kongres. Kongres PDI Perjuangan dijadwalkan akan berlangsung pada bulan April mendatang, dan di sanalah keputusan definitif terkait sikap politik partai akan diambil. Pertemuan-pertemuan antar-elit politik, meskipun penting, tidak serta-merta mengubah sikap resmi partai.

Megawati dan PDI Perjuangan memahami bahwa dalam konteks demokrasi, fungsi kontrol terhadap pemerintah adalah hal yang esensial. PDI Perjuangan memiliki portofolio yang baik, baik ketika berada di dalam pemerintahan maupun di luar. Di luar pemerintahan, PDI Perjuangan telah membuktikan diri mampu menjalankan fungsi oposisi yang kritis dan konstruktif, sebagaimana terlihat pada periode pemerintahan sebelum Jokowi.

Namun, dalam pemerintahan pun, PDI Perjuangan telah menunjukkan kapasitasnya sebagai partai yang solid dalam mengedepankan asas kaderisasi, kelembagaan, dan menjalankan mekanisme kontrol yang baik. Artinya, apakah PDI Perjuangan memilih berada di dalam atau di luar pemerintahan, partai ini telah memiliki pengalaman yang cukup untuk berkontribusi positif bagi bangsa dan negara.

Persatuan Elit Politik: Keuntungan atau Tantangan?

Salah satu isu penting yang muncul pasca Pilpres 2024 adalah mengenai persatuan elit politik. Prabowo Subianto dikenal memiliki pandangan bahwa persatuan elit politik adalah hal yang penting. Hal ini terlihat dari koalisi besar yang dibentuknya, termasuk bergabungnya berbagai partai politik besar dalam pemerintahan. Namun, apakah ini berarti bahwa tidak ada lagi oposisi formal yang kuat di parlemen?

Persoalan ini menjadi semakin menarik ketika PDI Perjuangan tidak secara tegas menyatakan akan menjadi oposisi. Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) pada bulan Mei lalu, PDI Perjuangan tidak menutup kemungkinan untuk masuk ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Bahkan, jadwal kongres partai yang seharusnya diadakan tahun ini diundur hingga April 2025, yang menunjukkan bahwa PDI Perjuangan masih membuka opsi untuk bergabung dalam pemerintahan, sembari tetap menjaga sikap kritis.

Namun, apakah bergabungnya PDI Perjuangan ke dalam pemerintahan akan menguntungkan bagi partai ini? Atau justru akan merugikan, mengingat banyak pemilih yang berharap PDI Perjuangan tetap berada di luar pemerintahan sebagai oposisi yang kritis?

Risiko dari Koalisi Super Majority

Bergabungnya PDI Perjuangan ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran juga menimbulkan kekhawatiran akan munculnya apa yang disebut sebagai "koalisi super majority". Dalam sistem koalisi super majority, hampir semua kekuatan politik berada di dalam pemerintahan, meninggalkan sedikit atau bahkan tidak ada ruang bagi oposisi formal di parlemen.

Hal ini tentu berisiko, karena dalam demokrasi yang sehat, oposisi diperlukan untuk memberikan alternatif kebijakan dan menjaga check and balances. Tanpa oposisi yang kuat, kebijakan-kebijakan pemerintah bisa berjalan tanpa kontrol yang memadai, yang pada akhirnya dapat merugikan rakyat. Salah satu contoh nyata adalah ketika kebijakan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) disetujui hampir tanpa kritik di parlemen, karena oposisi formal yang ada, seperti Partai Demokrat dan PKS, tidak memiliki cukup kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan tersebut.

Di sisi lain, koalisi super majority juga rawan terhadap intrik antar-partai dalam satu koalisi. Konflik internal dalam koalisi bisa muncul, terutama ketika setiap partai memiliki kepentingan yang berbeda. Oleh karena itu, PDI Perjuangan diharapkan mampu menjaga komitmennya untuk tetap menjadi kekuatan demokratik yang menjaga jarak dengan pemerintahan.

Masa Depan Demokrasi di Indonesia

Keputusan PDI Perjuangan untuk bergabung atau tidak ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran bukan hanya berdampak pada partai itu sendiri, tetapi juga pada masa depan demokrasi di Indonesia. PDI Perjuangan, dengan sejarahnya sebagai partai yang lahir dari perjuangan melawan otoritarianisme, memiliki tanggung jawab untuk menjaga marwah demokrasi di Indonesia.

Banyak pihak, termasuk kalangan Civil Society, berharap agar PDI Perjuangan tetap berada di luar pemerintahan, menjaga check and balances, serta menjadi suara kritis yang mewakili aspirasi rakyat yang tidak terwadahi oleh pemerintah. Namun, keputusan akhir tetap berada di tangan para pimpinan partai, yang akan menentukan sikap resmi partai dalam kongres yang akan datang.

Bagaimanapun, dinamika politik Indonesia pasca Pilpres 2024 ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia masih berada pada fase yang dinamis. Apakah Indonesia akan kembali ke era autocratic legalism dan autoritarian populism? Hanya waktu yang akan menjawab, tetapi peran partai-partai politik, termasuk PDI Perjuangan, sangat krusial dalam menentukan arah masa depan bangsa ini.



Sumber

https://youtu.be/TPnAbqKm7jI

 

Editor

sm Indramayutradisi


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel