Ketika Takdir Menyeret Kami ke Dunia Gelap: Ujian Hidup yang Berujung pada Pilihan Kelam
Kisah Perjanjian Gaib Bagian 1 (Pertama)
Hidup tak
selalu berjalan mulus, dan terkadang kita dihadapkan pada persimpangan yang memaksa
untuk membuat pilihan-pilihan sulit. Kisah ini adalah salah satu dari ribuan
kisah manusia yang terjebak dalam tekanan ekonomi, hingga pada akhirnya membuat
keputusan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan moral yang dipegang teguh.
Kisah seorang ibu muda, sebut saja Teh Santi, yang keluarganya harus menghadapi
badai ekonomi akibat pandemi serta penyakit yang menimpa anaknya, hingga
membuat mereka terjebak dalam perjanjian gelap yang tak bisa mereka hindari.
Teh Santi
adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari berjualan kecil-kecilan di
depan rumah, membantu ekonomi keluarga dengan menjual otak-otak, nugget, serta
berbagai macam produk ringan lainnya. Suaminya bekerja sebagai supir di sebuah
pabrik es krim, dan meskipun pendapatan mereka tidak besar, cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hidup mereka mulai berubah pada awal
tahun 2020, ketika pandemi Covid-19 mulai melanda Indonesia.
"Sebelumnya,
jualan saya lancar. Suami juga rutin kasih nafkah. Tapi sejak pandemi, semuanya
berubah. Orang-orang takut keluar rumah, dagangan jadi sepi. Pendapatan saya
turun drastis. Awalnya sehari bisa dapat Rp300 ribu, tapi waktu itu susah
banget dapet Rp100 ribu," kenang Teh Santi. Kondisi ini membuat mereka
mulai mengandalkan tabungan yang sedikit demi sedikit mulai habis.
Tak hanya
masalah ekonomi yang menjadi ujian bagi keluarga ini, anak pertama mereka,
sebut saja Rama, tiba-tiba jatuh sakit dengan demam tinggi. Obat yang biasa
diberikan dari apotek tak lagi ampuh, sehingga akhirnya mereka membawa Rama ke
puskesmas. "Waktu itu dokter bilang kalau dalam tiga hari demamnya enggak
turun, bawa ke rumah sakit. Jujur, saya panik karena di puskesmas obatnya
enggak ada efek, sementara kondisi anak saya semakin lemas," kata Teh
Santi.
Setelah
beberapa hari, akhirnya Rama dibawa ke rumah sakit, dan seperti yang
diperkirakan, dia harus dirawat. Namun, masalah baru muncul. Mereka tidak
memiliki asuransi BPJS, sehingga biaya perawatan harus dibayar secara tunai.
"Pas lihat rincian biaya rawat inap, saya langsung pusing. Hari pertama
saja sudah hampir Rp2 juta. Terus saya mikir, gimana ini kalau sampai seminggu
dirawat? Tabungan kami pasti habis," ungkapnya.
Ketika
anak mereka dirawat di rumah sakit, suami Teh Santi mulai mencari cara untuk
menutupi biaya rumah sakit dan kebutuhan lainnya. Suaminya memutuskan untuk
meminjam uang di koperasi dan mendapatkan Rp10 juta. Namun, pada malam kedua
anak mereka dirawat, suaminya tiba-tiba menghilang. "Dia bilang ada
pekerjaan keluar kota. Saya enggak curiga sama sekali karena dia memang sering
keluar kota untuk pekerjaan," jelas Teh Santi.
Selama
suaminya pergi, kondisi Rama semakin membaik. Namun, rasa cemas karena biaya
rumah sakit yang terus menumpuk tidak bisa dihindari. Pada hari keempat,
suaminya tiba-tiba kembali ke rumah sakit dengan membawa sebuah kardus.
Wajahnya terlihat ceria, tapi bajunya terlihat kotor dan lusuh. "Dia kasih
saya kardus dan bilang buka di tempat sepi. Saya pikir apaan sih, aneh banget.
Tapi saya tetap ikutin apa yang dia bilang," kenangnya.
Teh Santi
tak pernah menyangka apa yang akan dia lihat ketika membuka kardus tersebut.
"Begitu saya buka, isinya uang pecahan Rp100 ribu. Banyak banget. Saya
sampai cubit diri sendiri, enggak percaya ini beneran uang. Uang itu
berceceran, enggak rapi kayak di bank. Saya hitung-hitung, ada sekitar Rp500
juta lebih," katanya dengan nada terkejut.
Tapi
kebahagiaan itu hanya sesaat. "Bukannya senang, saya malah merasa takut.
Uang sebanyak ini, dari mana datangnya? Apalagi suami saya enggak bilang jelas
dari mana uang itu. Saya tanya berkali-kali, tapi dia cuman bilang, 'Ini buat
bayar rumah sakit dan utang-utang. Saya cuma pengen kamu dan anak-anak
bahagia.' Tapi hatiku enggak tenang," ceritanya dengan mata berkaca-kaca.
Teh Santi
kemudian mulai menyadari bahwa suaminya mungkin telah melakukan sesuatu yang di
luar batas. Kecurigaannya semakin kuat ketika suaminya mulai sering berperilaku
aneh, seperti sering melamun dan kadang berbicara sendiri. Ketika dia mencoba
bertanya lebih jauh, suaminya selalu menghindar dan mengatakan itu hanya stres
karena masalah pekerjaan.
Kecurigaan
Teh Santi akhirnya terbukti ketika suatu malam, dia mendengar percakapan
suaminya dengan seseorang di telepon. Dari percakapan tersebut, Teh Santi
mendengar kata-kata seperti "kontrak umur" dan "tumbal".
"Saya langsung gemetar. Waktu itu saya sadar, suami saya terlibat dalam
pesugihan. Saya langsung nangis. Saya bilang ke suami, 'Kenapa sampai kayak
gini? Kita bisa cari jalan lain.' Tapi dia cuma diam," katanya.
Pesugihan
adalah praktik mistis yang dipercaya oleh beberapa orang sebagai cara cepat
untuk mendapatkan kekayaan, tetapi dengan imbalan yang sangat besar, yaitu
kontrak umur atau bahkan tumbal nyawa anggota keluarga. Dalam kasus Teh Santi,
ternyata suaminya telah membuat perjanjian dengan sosok gaib untuk mendapatkan
uang dengan syarat kontrak umur anak mereka.
"Saya
ngerasa hancur. Saya bilang ke suami, kalau saya bisa, saya lebih pilih saya
yang jadi tumbalnya, jangan anak kita. Tapi perjanjian itu sudah dibuat, dan
enggak bisa diubah," ujarnya dengan suara bergetar.
Dalam
ketakutan dan keputusasaan, Teh Santi berusaha mencari jalan keluar. Dia
mencari bantuan spiritual, berdoa setiap hari, dan memohon agar keluarganya
diselamatkan dari perjanjian tersebut. Namun, dalam hati kecilnya, dia tahu
bahwa pilihan yang dibuat suaminya telah menjerumuskan mereka ke dalam
lingkaran gelap yang sulit dihindari.
Kisah Teh
Santi adalah pengingat betapa tekanan hidup dan krisis ekonomi bisa membuat
orang melakukan hal-hal yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Dalam
keterpurukan, manusia sering kali mencari jalan pintas yang justru
menghancurkan kehidupan mereka sendiri. Pesugihan bukanlah solusi, tetapi
jebakan yang membawa lebih banyak penderitaan.
sumber: https://www.youtube.com/@MalamMencekam
editor
sm indramayutradisi.com