Analisis Dinamika Pertahanan Indonesia: Antara Profesionalisme dan Kepentingan Politik di Era Jokowi
Antara Profesionalisme dan Kepentingan Politik di Era Jokowi
Pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi sejak 2014 telah melalui berbagai
fase penting, terutama dalam kebijakan pertahanan dan keamanan nasional.
Perbincangan seputar pencapaian dan strategi pertahanan selama dua periode
kepemimpinannya menjadi bahan evaluasi dan diskusi oleh berbagai pihak,
termasuk lembaga penelitian dan akademisi. Artikel ini akan mengupas isu
modernisasi militer Indonesia di bawah Presiden Jokowi serta analisis mengenai
profesionalisme dan keterlibatan politik dalam kebijakan pertahanan.
Isu ini menjadi semakin menarik ketika muncul nama Sri Mulyani, Menteri
Keuangan, dalam diskusi nominasi menteri pertahanan. Pertanyaan muncul:
bagaimana penunjukan pejabat strategis dipertimbangkan, dan apa dampaknya
terhadap organisasi pertahanan Indonesia? Selain itu, pembahasan tentang peran
TNI dalam pemerintahan Jokowi membawa kita pada dilema antara profesionalisme
militer dan intervensi politik dalam tubuh angkatan bersenjata.
Nominasi Menteri
Pertahanan: Sri Mulyani sebagai Usulan Alternatif?
Dalam suatu dialog penting, Presiden Jokowi pernah menanyakan opsi untuk
menteri pertahanan, dan nama Sri Mulyani diusulkan sebagai kandidat potensial.
Langkah ini mengisyaratkan upaya untuk mengeksplorasi pemimpin non-militer
dalam posisi strategis di sektor pertahanan. Namun, usulan ini bukan tanpa
kontroversi. Mengangkat seseorang dari luar kalangan militer, khususnya seorang
ekonom seperti Sri Mulyani, menunjukkan bahwa sektor pertahanan dipandang tidak
hanya dari perspektif kekuatan militer, tetapi juga manajemen anggaran dan
strategi kebijakan makro.
Meski demikian, terdapat peringatan tentang anggaran pertahanan yang
menyusut hingga di bawah 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kondisi ini
dinilai membahayakan kemampuan pertahanan, yang berpotensi bukan hanya
menurunkan efektivitas militer tetapi juga memaksa pengurangan kekuatan dan
infrastruktur yang ada. Dalam hal ini, Sri Mulyani, yang dikenal ketat dalam
pengelolaan fiskal, bisa menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan
anggaran pertahanan dengan kebutuhan pembangunan ekonomi nasional.
Kritik Terhadap
Struktur Organisasi dan Jabatan di TNI
Salah satu isu utama dalam pembahasan mengenai TNI di era Jokowi adalah
terkait dengan struktur dan pola jabatan. Beberapa perwira cenderung tidak
tertarik menduduki posisi di luar Markas Besar (Mabes) TNI atau Kementerian
Pertahanan karena jabatan-jabatan ini tidak memberikan prospek promosi ke
bintang satu atau bintang dua. Akibatnya, jabatan-jabatan administratif seperti
Sekretaris Militer Presiden (Setmilpres) sering kali diisi oleh perwira yang
akan segera pensiun, mengurangi dinamika regenerasi kepemimpinan di tubuh TNI.
Masalah ini menunjukkan bagaimana kalkulasi karier dan pola promosi
dalam TNI dipengaruhi oleh faktor birokrasi dan politik. Jabatan-jabatan
administratif tidak lagi dipandang sebagai arena prestasi, melainkan lebih
sebagai tempat “parkir” menjelang pensiun. Hal ini memunculkan dilema:
bagaimana memastikan profesionalisme TNI tetap terjaga, sekaligus memberikan
insentif bagi perwira muda untuk terus berkembang dan berkontribusi, terutama
di luar Mabes TNI.
Modernisasi Militer:
Profesional atau Politis?
Lembaga riset dan analisis kebijakan, yang sering disebut sebagai Lab
Politik dan Keamanan, melakukan kajian mendalam mengenai modernisasi militer di
era Jokowi. Hasil kajian mereka diterbitkan dalam sebuah paper berjudul "Modernisasi
TNI di Bawah Jokowi: Profesional atau Politis?". Kajian ini menyoroti
dua sisi modernisasi pertahanan Indonesia: pertama, upaya meningkatkan
profesionalisme militer, dan kedua, kecenderungan intervensi politik dalam
proses pengambilan keputusan.
Modernisasi militer mencakup pengadaan alutsista (alat utama sistem
persenjataan) baru dan peningkatan kapasitas prajurit. Namun, di sisi lain,
keputusan-keputusan strategis dalam pertahanan kerap dipengaruhi oleh dinamika
politik dan kepentingan kelompok tertentu. Hal ini menimbulkan pertanyaan:
apakah modernisasi TNI dilakukan semata untuk memperkuat ketahanan negara,
ataukah ada unsur politisasi dalam pemilihan program dan pengadaan alutsista?
Tantangan Anggaran
dan Masa Depan Pertahanan Indonesia
Dengan keterbatasan anggaran pertahanan di bawah 1% PDB, pemerintah
dihadapkan pada dilema besar: bagaimana menjaga postur pertahanan yang ideal
dengan sumber daya terbatas? Beberapa analis menyarankan bahwa Indonesia perlu
melakukan reformasi struktural dalam TNI agar lebih efisien dan efektif. Ini
termasuk peninjauan ulang jumlah personel, fokus pada alutsista modern, dan
peningkatan pelatihan personel agar sesuai dengan kebutuhan pertahanan masa
depan.
Namun, keterbatasan anggaran ini juga memunculkan kekhawatiran akan
adanya trade-off dalam prioritas kebijakan. Pemerintah harus memilih
antara menjaga kekuatan militer yang memadai dan memenuhi kebutuhan ekonomi
rakyat. Di sinilah peran pemimpin seperti Sri Mulyani menjadi relevan—dapatkah
sektor pertahanan dikelola dengan lebih efisien tanpa mengorbankan keamanan
nasional?
Peran Civil Society
dan Evaluasi Akhir Pemerintahan Jokowi
Seiring mendekati akhir masa jabatan Jokowi, berbagai pihak dari
kalangan civil society melakukan pencatatan dan evaluasi terhadap
kebijakan pemerintah, termasuk di bidang pertahanan. Salah satu lembaga riset
memfokuskan penilaiannya pada pencapaian strategis pemerintahan di sektor
militer. Evaluasi ini tidak hanya mencakup capaian kebijakan, tetapi juga
menyoroti persoalan transparansi, akuntabilitas, dan potensi penyimpangan dalam
pengelolaan pertahanan.
Salah satu kritik utama adalah bahwa modernisasi militer di era Jokowi
tidak sepenuhnya mengarah pada profesionalisme. Masih terdapat indikasi
politisasi, baik dalam pemilihan pimpinan militer maupun dalam pengadaan
alutsista. Civil society berharap pemerintah berikutnya dapat melanjutkan
agenda reformasi TNI dengan fokus pada transparansi dan akuntabilitas, sehingga
profesionalisme militer dapat benar-benar terwujud.
Kesimpulan: Antara
Harapan dan Tantangan
Dua periode pemerintahan Jokowi membawa banyak perubahan dalam sektor
pertahanan Indonesia, namun juga menyisakan sejumlah tantangan. Usulan untuk
memasukkan Sri Mulyani sebagai menteri pertahanan mencerminkan pemikiran
out-of-the-box dalam menempatkan figur sipil pada posisi strategis. Namun,
persoalan struktural dalam tubuh TNI serta keterbatasan anggaran masih menjadi
pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.
Modernisasi TNI di bawah Jokowi adalah upaya yang ambisius, tetapi tidak
lepas dari kritik atas adanya unsur politisasi. Ke depan, tantangan bagi
Indonesia adalah bagaimana memastikan sektor pertahanan mampu beradaptasi
dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati diri profesionalnya. Dengan
keterlibatan aktif dari civil society dan pemimpin yang berkomitmen pada
reformasi, Indonesia memiliki peluang untuk membangun kekuatan pertahanan yang
tangguh dan akuntabel.
Penulis
Sumarta
Sumber
Dialog Podcast
Akbar Faizal Uncensored dengan Andi Wijayanto (Mantan
Gubernur Lemhanas Era Presiden Joko Widodo) tanggal 12 Nopember 2024