Bangkit dan Runtuhnya Imperium Islam Militeristik: Menguak Sejarah Tiga Kekhalifahan Besar

Menguak Sejarah Tiga Kekhalifahan Besar


Sejak abad ke-7, peradaban Islam telah memainkan peran penting dalam sejarah dunia dengan berdirinya tiga kekhalifahan besar: Umayyah, Abbasiyah, dan Ottoman. Ketiga kekhalifahan ini membawa warisan yang beragam dalam aspek sosial, politik, dan budaya. Namun, Kekaisaran Ottoman dianggap memiliki pendekatan yang paling berbeda, terutama dalam cara mereka memerintah dan memperluas wilayah. Berbeda dengan era sebelumnya, yang lebih menekankan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya, Ottoman lebih fokus pada pendekatan militeristik. Mengapa dan bagaimana pendekatan ini berbeda dari masa Umayyah dan Abbasiyah? Artikel ini mengupas tuntas perbedaan serta dampak dari pendekatan militeristik Ottoman dan transisinya menjadi negara modern yang akhirnya berkontribusi pada kemunduran mereka.

Awal Mula Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah

Kekhalifahan Umayyah (661-750) adalah dinasti pertama yang muncul setelah era Khulafaur Rasyidin. Terkenal dengan ekspansi wilayah yang pesat, Kekhalifahan Umayyah berhasil memperluas wilayah Islam dari Spanyol hingga India. Fokus mereka adalah penaklukan wilayah untuk memperkuat posisi politik dan menyebarkan ajaran Islam. Namun, meskipun ada dorongan untuk memperluas kekuasaan, fokus Umayyah tidak hanya pada militer; mereka juga memberi perhatian pada pengembangan arsitektur, seni, dan administrasi pemerintahan yang efisien.

Kekhalifahan Abbasiyah (750-1258) yang muncul setelah Umayyah menggeser fokus dari militer ke pencapaian intelektual dan budaya. Selama era Abbasiyah, peradaban Islam mengalami zaman keemasan dalam ilmu pengetahuan, sastra, dan teknologi. Banyak sarjana terkenal, seperti Al-Khwarizmi dan Ibnu Sina, lahir pada masa ini, menghasilkan karya-karya yang membawa dampak besar pada dunia pengetahuan. Pendekatan kekhalifahan ini, yang dikenal sebagai "pendekatan Aristotelian," sangat menghargai kebijaksanaan dan keilmuan, dengan tujuan menciptakan masyarakat yang maju secara intelektual dan budaya.

Kekaisaran Ottoman dan Pendekatan Militeristik

Berbeda dengan kekhalifahan sebelumnya, Kekaisaran Ottoman (1299-1923) lahir dari latar belakang yang sangat berbeda. Mereka muncul dari keturunan Turki nomaden yang berasal dari Asia Tengah, yang secara alami memiliki keterampilan militer yang kuat. Sebagai masyarakat nomaden, orang Turki memiliki budaya perang yang sudah terinternalisasi, yang kemudian diterapkan dalam pembentukan dan pengembangan kekaisaran mereka.

Pada awalnya, Ottoman didirikan sebagai kesultanan kecil di Anatolia yang dikelilingi oleh berbagai wilayah yang terpecah dan diperintah oleh penguasa lokal (beyliks). Keadaan ini memaksa mereka untuk terus berperang demi memperluas wilayah dan mempertahankan kekuasaan. Ketika mereka berkembang menjadi kekaisaran besar, pendekatan militeristik semakin diperkuat, terutama dengan pembentukan pasukan elite yang dikenal sebagai Janissaries. Pasukan ini tidak hanya memainkan peran militer tetapi juga menjalankan pemerintahan. Mereka diambil dari anak-anak non-Muslim yang direkrut melalui sistem devshirme dan dilatih dengan disiplin tinggi untuk melayani Sultan dengan loyalitas mutlak.

Transformasi Negara: Dari Kekaisaran Feodal ke Negara Modern

Salah satu perbedaan mendasar antara Ottoman dengan kekhalifahan sebelumnya adalah transisi dari sistem feodal ke negara modern yang terpusat. Pada masa Umayyah dan Abbasiyah, negara berfungsi sebagai entitas yang lebih longgar dengan banyak otonomi diberikan kepada wilayah lokal. Di bawah pemerintahan Ottoman, negara menjadi lebih terpusat, dengan Sultan memegang kekuasaan penuh atas segala aspek kehidupan, termasuk urusan agama, hukum, dan militer.

Pendekatan terpusat ini semakin kuat setelah reformasi pada era Sultan Suleiman "The Magnificent." Suleiman memperkenalkan kodifikasi hukum yang lebih ketat dan memperkuat peran para hakim dan mufti dalam mengawasi pelaksanaan syariah. Sementara di satu sisi, reformasi ini memperkuat kendali negara atas masyarakat, di sisi lain, kebijakan ini mengurangi kebebasan dan otonomi yang pernah ada di kalangan masyarakat. Banyak pihak yang sebelumnya mendukung Ottoman menjadi tidak puas karena merasa terlalu diatur oleh pemerintahan pusat.

Dampak Sistem Devshirme dan Janissaries

Sistem devshirme dan pembentukan pasukan Janissaries adalah contoh konkret dari bagaimana Ottoman menerapkan pendekatan militeristik dalam pemerintahan mereka. Melalui devshirme, anak-anak Kristen dari Balkan dipisahkan dari keluarga mereka dan dilatih sebagai Janissaries. Sistem ini tidak hanya menciptakan pasukan yang sangat loyal kepada Sultan tetapi juga meredam kekuatan feodal yang dapat mengancam stabilitas kekaisaran. Berbeda dengan tentara pada masa Umayyah dan Abbasiyah, yang sering kali merupakan suku-suku atau klan-klan yang memiliki kekuatan sendiri, Janissaries adalah pasukan profesional yang sepenuhnya bergantung pada pemerintah pusat.

Namun, pada abad ke-17 dan ke-18, Janissaries yang awalnya menjadi kekuatan besar dalam pemerintahan mulai mengalami kemerosotan moral. Keterlibatan mereka dalam politik internal kekaisaran dan korupsi menyebabkan ketidakstabilan yang berlarut-larut. Ketika Sultan Mahmud II akhirnya membubarkan Janissaries pada tahun 1826, tindakan tersebut menandai perubahan besar dalam struktur militer Ottoman tetapi juga mengungkap kelemahan mendasar dalam sistem pemerintahan yang terlalu mengandalkan militer.

Kelemahan dan Kemunduran Kekaisaran Ottoman

Pendekatan militeristik Ottoman, meskipun efektif pada awalnya, justru menjadi salah satu faktor yang mempercepat kemunduran kekaisaran. Pengendalian terpusat yang dilakukan oleh negara membuat masyarakat merasa tertekan, dan reformasi yang terus-menerus dilakukan untuk menyesuaikan dengan zaman modern sering kali tidak cukup untuk mengatasi tantangan eksternal. Pada abad ke-19, ketika negara-negara Eropa mulai melakukan revolusi industri dan mengembangkan teknologi militer yang lebih canggih, Ottoman tertinggal dan kesulitan dalam mengejar ketertinggalan.

Kekaisaran yang dahulu sangat berkuasa akhirnya mulai kehilangan wilayahnya, satu demi satu. Tekanan dari kekuatan luar, seperti Rusia dan negara-negara Eropa lainnya, serta pemberontakan internal dari wilayah-wilayah yang merasa tidak puas dengan kekuasaan pusat, menyebabkan runtuhnya Ottoman. Pada akhirnya, kekalahan dalam Perang Dunia I mengakhiri kekuasaan kekhalifahan tersebut, dan pada tahun 1923, kekaisaran secara resmi dibubarkan dan digantikan oleh Republik Turki modern.

Kontras dengan Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah

Ketika membandingkan Ottoman dengan Umayyah dan Abbasiyah, terlihat jelas perbedaan dalam pendekatan pemerintahan dan strategi ekspansi. Umayyah dan Abbasiyah cenderung lebih fokus pada pembangunan budaya dan ilmu pengetahuan. Mereka tidak terlalu mencampuri kehidupan masyarakat dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk berkembang secara mandiri. Namun, pada era Ottoman, negara sangat terlibat dalam kehidupan sehari-hari rakyatnya. Pendekatan ini memang memperkuat kekaisaran untuk waktu tertentu, tetapi juga menyebabkan ketidakpuasan yang meluas.

Bahkan, ketika Ottoman mencoba untuk melakukan modernisasi, transisi dari kekaisaran feodal ke negara modern justru menciptakan masalah baru. Negara yang terlalu terpusat menyebabkan hilangnya kepercayaan dari wilayah-wilayah yang pernah mendukung kekaisaran. Pada akhirnya, pendekatan militeristik yang terlalu mendominasi dan keterlibatan negara dalam setiap aspek kehidupan masyarakat menjadi faktor utama yang mempercepat keruntuhan Ottoman.

Kesimpulan

Pendekatan militeristik Kekaisaran Ottoman adalah hasil dari latar belakang mereka sebagai masyarakat nomaden dengan keterampilan militer yang kuat. Meskipun pendekatan ini membawa kesuksesan dalam ekspansi wilayah, strategi ini pada akhirnya gagal karena negara tidak mampu mengatasi perubahan sosial dan politik di zaman modern. Sebaliknya, Umayyah dan Abbasiyah lebih fleksibel dalam mengelola kekuasaan, dengan menekankan pada perkembangan budaya dan pengetahuan.

Pembelajaran dari sejarah Ottoman menunjukkan bahwa strategi militer yang berlebihan dan pengendalian negara yang terlalu ketat dapat menjadi bumerang bagi kekaisaran besar. Dalam konteks modern, penting bagi negara untuk menyeimbangkan kekuatan militer dengan pembangunan masyarakat dan budaya yang inklusif, agar tidak mengulangi kesalahan masa lalu yang membawa kejatuhan bagi kekaisaran yang pernah begitu perkasa.

Penulis

Sumarta

 

Sumber

Ismail Fajrie Alatas. (16 Oktober 2024). Debat & Koalisi Ide di Era Imperium Islam. https://youtu.be/N_B6Q83fIg4

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel