Dari Semarang ke New York: Perjalanan Akademis Profesor Ismail Fajri Alatas
Perjalanan Akademis Profesor Ismail Fajri Alatas
Profesor Ismail Fajri Alatas, yang akrab dipanggil Aji Alatas, saat ini
mengajar Middle Eastern, Islamic Studies, dan sejarah di New York University
(NYU). Perjalanan akademisnya yang panjang dan penuh tantangan membawanya dari
Semarang, Indonesia, hingga ke salah satu universitas paling bergengsi di
dunia. Melalui berbagai pengalaman pendidikan dan perjalanan lintas benua, Aji
telah membentuk perspektif unik dalam kajian sejarah dan antropologi, khususnya
terkait dunia Islam dan Timur Tengah. Kisah hidupnya menunjukkan bagaimana
pertemuan lintas budaya dan disiplin akademis dapat membentuk wawasan yang luas
dan mendalam tentang sejarah dan identitas.
Awal Kehidupan: Dari Semarang ke Jakarta
Lahir di Semarang pada tahun 1983, Aji menghabiskan masa kecilnya di Jakarta
hingga menginjak usia remaja. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang
memberikan dorongan kuat terhadap pendidikan. Saat Aji menginjak bangku sekolah
menengah pertama (SMP), kondisi politik dan sosial Indonesia sedang mengalami
gejolak besar. Pada tahun 1998, ketika ia berada di kelas tiga SMP, Indonesia
dilanda krisis politik dan ekonomi yang memuncak dalam reformasi besar-besaran.
Situasi ini membuat orang tuanya merasa perlu untuk mengirim Aji ke luar
negeri, mencari suasana yang lebih stabil untuk melanjutkan pendidikan.
Menempuh Pendidikan Menengah dan Tinggi di Australia
Setelah meninggalkan Indonesia, Aji melanjutkan pendidikan menengah atas di
Australia. Pengalamannya di sana bukan hanya memperkenalkannya pada budaya dan
sistem pendidikan baru, tetapi juga membuka wawasan yang lebih luas tentang
sejarah dan berbagai perspektif internasional. Ketertarikannya pada sejarah
mulai berkembang saat ia berada di sekolah menengah atas, dan ia kemudian
memutuskan untuk mengambil studi sejarah di tingkat sarjana.
Di Australia, Aji mulai menekuni sejarah sebagai disiplin akademis. Namun,
ia merasa bahwa untuk memahami sejarah Islam dan dunia Arab dengan lebih
mendalam, ia perlu menguasai bahasa Arab dan memiliki pemahaman langsung
tentang budaya Arab. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk memperdalam bahasa
Arabnya di Hadramaut, Yaman, di mana ia menghabiskan beberapa bulan untuk
mengasah keterampilan bahasa dan mengeksplorasi lingkungan sosial-budaya
setempat.
Pengalaman di Hadramaut, Yaman: Memperdalam Bahasa dan Budaya Arab
Selama di Hadramaut, Aji tidak hanya belajar bahasa Arab, tetapi juga
menyelami kehidupan masyarakat lokal dan tradisi Islam yang berkembang di
wilayah tersebut. Pengalaman ini memperkaya pemahamannya tentang Islam dari
sudut pandang budaya dan sejarah, serta memberinya kesempatan untuk melihat
langsung bagaimana masyarakat Muslim menarasikan masa lalu mereka. Di Yaman, ia
merasakan bahwa sejarah bukanlah sekadar rangkaian peristiwa masa lalu, tetapi
bagian dari identitas kolektif yang terus hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Melanjutkan Studi ke Singapura: Memperluas Perspektif Sejarah
Setelah dari Yaman, Aji melanjutkan pendidikan formalnya di National
University of Singapore (NUS), di mana ia kembali mengambil jurusan sejarah. Di
NUS, ia semakin menyadari kompleksitas disiplin sejarah sebagai sebuah studi
akademis. Ia mulai memahami bahwa sejarah bukanlah sesuatu yang statis atau
seragam, melainkan beragam dan terbuka terhadap berbagai interpretasi. Di
sinilah muncul pemikirannya bahwa sejarah membutuhkan pendekatan
interdisipliner, khususnya melalui antropologi, untuk memahami berbagai bentuk
historisitas dan cara-cara berbeda di mana orang-orang menarasikan masa lalunya.
Perpaduan Sejarah dan Antropologi di University of Michigan
Kegelisahan Aji terhadap keterbatasan disiplin sejarah membawanya ke
University of Michigan, Ann Arbor, di Amerika Serikat, yang memiliki program
doktoral gabungan antara sejarah dan antropologi. Di sini, ia menemukan cara
untuk mengintegrasikan perspektif antropologis dalam studi sejarah, yang
memungkinkan pendekatan lebih holistik terhadap kajian historis. Program
doktoral ini memberinya kesempatan untuk mengeksplorasi bagaimana sejarah tidak
hanya ditulis, tetapi juga dihayati dan dialami oleh masyarakat.
Pendekatan interdisipliner ini memperkaya penelitian Aji dalam kajian
sejarah Islam, di mana ia dapat memadukan metode sejarah dengan wawasan
antropologis untuk memahami perubahan sosial, agama, dan politik di dunia
Muslim. Pengalaman belajar di Michigan juga memperkenalkannya pada berbagai
tradisi intelektual di dunia akademis Barat, sekaligus memberikan ruang untuk
mempertanyakan dan merefleksikan narasi sejarah yang dominan.
Karier Akademis di New York University: Dari Tenure Track hingga
Mendapatkan Tenure
Pada tahun 2016, setelah menyelesaikan studinya di University of Michigan,
Aji beruntung mendapatkan kesempatan untuk mengajar di New York University
tanpa harus melewati tahap postdoktoral terlebih dahulu. Ia langsung menempati
posisi tenure track, sebuah prestasi yang langka dan mengesankan dalam dunia
akademis. Di NYU, Aji mengajar Middle Eastern, Islamic Studies, dan sejarah,
serta terus melanjutkan penelitiannya.
Berkat kontribusi akademisnya yang signifikan, Aji berhasil memperoleh
tenure di NYU baru-baru ini. Pencapaian ini mengukuhkan posisinya sebagai salah
satu akademisi terkemuka di bidang kajian Islam dan Timur Tengah, serta membuka
jalan bagi penelitian lebih lanjut tentang sejarah Islam yang interdisipliner
dan kritis.
Pandangan terhadap Sejarah Islam dan Pentingnya Pendekatan Interdisipliner
Dalam pengajarannya, Aji kerap menekankan bahwa sejarah Islam harus dilihat
dari berbagai perspektif, bukan hanya sebagai rangkaian peristiwa, tetapi juga
sebagai pengalaman hidup yang berdampak pada identitas dan praktik keagamaan
masyarakat Muslim. Pendekatan interdisipliner yang menggabungkan sejarah dan
antropologi memungkinkan analisis yang lebih kaya dan mendalam tentang
bagaimana masyarakat Muslim menafsirkan dan merefleksikan masa lalu mereka.
Aji percaya bahwa sejarah Islam harus dipelajari tidak hanya melalui
teks-teks klasik atau dokumen sejarah resmi, tetapi juga melalui cara-cara
masyarakat mempraktikkan agama dan membangun narasi tentang masa lalu mereka.
Misalnya, kajian tentang ziarah, tradisi oral, dan praktik keagamaan
sehari-hari dapat memberikan wawasan yang lebih holistik tentang bagaimana
Islam dipahami dan diamalkan di berbagai konteks budaya.
Membangun Jembatan Antara Timur dan Barat dalam Kajian Islam
Sebagai akademisi yang mengajar di Amerika Serikat, Aji melihat perannya
sebagai seorang "jembatan" antara dunia akademis Barat dan tradisi
intelektual Islam. Ia berusaha untuk memperkenalkan perspektif dari dunia Muslim
kepada mahasiswa dan koleganya di NYU, sekaligus mengkritisi dan merevisi
pandangan-pandangan yang mungkin kurang seimbang atau berakar pada stereotip.
Melalui pendekatan ini, Aji berharap dapat mengurangi kesalahpahaman tentang
Islam dan membangun pemahaman yang lebih inklusif dan mendalam.
Selain itu, Aji juga aktif dalam menghubungkan peneliti dan akademisi dari
berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk berdiskusi dan bertukar gagasan
tentang kajian Islam dan Timur Tengah. Hal ini merupakan bagian dari usahanya
untuk memperkuat kolaborasi internasional dalam penelitian tentang dunia Islam,
sekaligus membuka jalan bagi perspektif-perspektif baru yang dapat memperkaya
kajian akademis di kedua belahan dunia.
Refleksi dan Rencana Masa Depan: Terus Menyumbangkan Pemikiran
Ke depan, Aji berencana untuk terus memperluas penelitiannya tentang sejarah
dan antropologi dunia Islam, dengan fokus khusus pada bagaimana masyarakat
Muslim di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, memahami dan menafsirkan
identitas keagamaan mereka. Ia juga berencana untuk mengembangkan proyek-proyek
kolaboratif yang melibatkan akademisi dari berbagai disiplin ilmu dan negara,
dengan tujuan memperluas cakrawala kajian Islam di dunia akademis
internasional.
Perjalanan Aji dari Semarang ke New York adalah bukti nyata bagaimana
pendidikan dan pengalaman lintas budaya dapat membentuk seorang akademisi yang
berwawasan luas dan kritis. Melalui peran dan kontribusinya di NYU, Aji Alatas
terus menginspirasi banyak orang untuk tidak hanya menjadi pintar, tetapi juga
bijaksana dan terbuka terhadap berbagai perspektif dalam mempelajari sejarah
dan agama. Ini bukan sekadar pencapaian pribadi, tetapi juga sebuah pengingat
bahwa pengetahuan adalah jembatan yang dapat menghubungkan dunia yang berbeda,
membangun pemahaman yang lebih mendalam, dan menciptakan dunia yang lebih
inklusif.
Penulis
Sumarta
Sumber