Demokrasi di Ujung Tanduk: Saat Preman Mengancam Kebebasan Berpendapat di Indonesia
Saat Preman Mengancam Kebebasan Berpendapat di Indonesia
Pada Sabtu yang seharusnya tenang di Jakarta, sebuah peristiwa mengejutkan
mengguncang pilar kebebasan berpendapat di Indonesia. Sebuah diskusi yang
diadakan oleh kelompok diaspora Indonesia dari berbagai penjuru dunia
dibubarkan secara paksa oleh sekelompok preman. Diskusi ini, yang seharusnya
menjadi ajang bertukar pikiran dan menganalisis masa depan bangsa dengan
perspektif lintas benua, berakhir dengan intimidasi dan penghentian paksa.
Kejadian ini menimbulkan kekhawatiran besar tentang masa depan demokrasi di
Indonesia dan semakin memperjelas bahwa kebebasan berpendapat dan berkumpul
masih rentan direnggut oleh kekuatan-kekuatan tak terlihat.
Peristiwa di Hotel Kembang
Peristiwa ini terjadi di Hotel Kembang, Jakarta Selatan, saat diskusi
berlangsung damai dan dihadiri oleh sejumlah intelektual serta aktivis dari
berbagai kalangan. Diskusi ini mengusung topik yang relatif biasa, yaitu
tentang kondisi politik saat ini dan arah masa depan Indonesia. Di antara
peserta diskusi, hadir tokoh-tokoh nasional seperti Din Syamsuddin, Refly
Harun, dan aktivis muda Muhammadiyah, Mustofa Nahra. Namun, di tengah
berlangsungnya acara, suasana yang awalnya damai berubah menjadi kacau ketika
sekelompok orang yang tak dikenal, diduga preman, tiba-tiba menyerbu masuk.
Kelompok preman ini tidak hanya hadir secara fisik, mereka juga merusak
atribut diskusi dan mengintimidasi para peserta yang sedang berdiskusi. Di saat
yang sama, kehadiran polisi yang sempat terlihat di area hotel tidak
menunjukkan tindakan apapun untuk mencegah kekacauan ini. Polisi yang
seharusnya melindungi hak warga negara tampak tak berdaya, atau lebih tepatnya,
tampak tidak mau bergerak untuk menahan aksi brutal preman tersebut. Sungguh
ironis di negara yang telah merdeka selama lebih dari tujuh dekade, aparat
hukum tampak tunduk pada kekuatan di luar hukum.
Atmosfer Kacau: Preman Menguasai, Polisi Diam
Para peserta diskusi yang tidak menyangka akan menghadapi kekacauan seperti
itu, mencoba bertahan dan merekam kejadian tersebut. Video-video yang diambil
dari ponsel peserta menjadi bukti kuat bagaimana para preman ini bertindak
sewenang-wenang. Mereka merusak, mengancam, dan bahkan terlihat merayakan
"kemenangan" mereka setelah berhasil membubarkan acara. Dalam rekaman
video, terdengar salah satu preman berseru kepada rekan-rekannya, "Sukses,
Bang!" di luar hotel, memperkuat dugaan bahwa aksi ini bukanlah insiden
acak melainkan tindakan yang sudah direncanakan dengan matang.
Meski situasi sempat mereda, ancaman tidak berhenti di situ. Para preman
kembali datang dan memaksa diskusi benar-benar dihentikan. Bahkan, waktu
istirahat makan siang yang seharusnya menjadi kesempatan untuk beristirahat dan
merenungkan diskusi, dikurangi hanya menjadi 10 menit oleh para preman.
Instruksi-instruksi untuk membubarkan diskusi tidak datang dari polisi,
melainkan dari preman tersebut, yang tampaknya menguasai situasi sepenuhnya.
Masyarakat yang menonton perkembangan ini bertanya-tanya, di manakah kewibawaan
aparat hukum?
Preman dan Demokrasi: Akar Masalah yang Lebih Dalam
Peristiwa ini tidak hanya mengangkat pertanyaan tentang keberadaan preman
dalam kehidupan sosial-politik Indonesia, tetapi juga mempertanyakan kualitas
demokrasi itu sendiri. Mengapa polisi yang seharusnya menjaga keamanan tidak
bertindak? Mengapa kekuatan di luar hukum bisa menguasai ruang-ruang diskusi
yang seharusnya menjadi tempat kebebasan berpendapat?
Dalam sebuah diskusi di Indonesia Lawyers Club (ILC), para pakar hukum tata
negara dan aktivis dengan tegas menyuarakan kekhawatiran mereka. Salah satu
pakar hukum mengatakan, "Ini bukan hanya masalah preman, ini masalah
sistem yang rusak." Kejadian ini memperlihatkan bahwa kekuatan preman
bukanlah masalah yang berdiri sendiri, melainkan gejala dari kelemahan yang
lebih besar dalam penegakan hukum di Indonesia. Aparat hukum yang seharusnya
melindungi hak-hak dasar warga negara tampak tidak berdaya atau bahkan memilih
untuk tidak bertindak.
Kasus di Hotel Kembang memperlihatkan bahwa keberadaan premanisme dalam
kehidupan politik Indonesia masih menjadi ancaman nyata. Apa yang terjadi bukan
hanya serangan fisik terhadap diskusi akademis, tetapi juga sebuah serangan
terhadap kebebasan berpendapat itu sendiri. Jika preman dapat membubarkan
diskusi di tengah ibu kota tanpa adanya intervensi dari aparat keamanan, maka
ini merupakan sinyal kuat bahwa kebebasan berpendapat di Indonesia sedang
berada di ujung tanduk.
Pertanyaan Besar Tentang Dalang di Balik Peristiwa Ini
Sejauh ini, siapa dalang di balik pembubaran diskusi tersebut masih menjadi
misteri. Polisi memang menyatakan telah melakukan penyelidikan, tetapi banyak
yang pesimis bahwa penyelidikan tersebut akan mengungkap kebenaran yang
sebenarnya. Dugaan bahwa ada kekuatan politik atau orang-orang berpengaruh di
balik peristiwa ini semakin kuat. Beberapa peserta diskusi dan pengamat politik
berpendapat bahwa pembubaran ini mungkin terkait dengan upaya menekan
suara-suara kritis yang dianggap "mengganggu" pihak tertentu.
Sejumlah intelektual dan aktivis yang hadir dalam diskusi tersebut merasa
terancam. Mereka dipaksa untuk berhenti berbicara dan meninggalkan tempat acara
tanpa adanya penjelasan dari pihak berwenang. Ini adalah contoh bagaimana
kekuatan di luar hukum bisa menghalangi kebebasan berbicara dan berkumpul, yang
seharusnya dijamin oleh konstitusi Indonesia. Sebagai negara demokrasi, hal ini
seharusnya tidak boleh terjadi.
Catatan Kelam Bagi Demokrasi Indonesia
Peristiwa ini meninggalkan catatan kelam dalam perjalanan demokrasi
Indonesia. Reformasi 1998 telah membawa harapan besar bagi kebebasan
berpendapat, berkumpul, dan berekspresi. Namun, peristiwa di Hotel Kembang
memperlihatkan bahwa kebebasan tersebut masih bisa direnggut kapan saja oleh
kekuatan yang tidak terikat oleh hukum. Ini bukan hanya ancaman bagi
individu-individu yang terlibat dalam diskusi tersebut, tetapi juga ancaman
bagi seluruh masyarakat yang mendambakan kehidupan demokratis yang sehat dan
adil.
Seperti yang ditegaskan oleh salah satu pakar hukum di ILC, “Di tengah kota
Jakarta, ada preman yang bisa memerintahkan aparat untuk menekan orang yang
tidak melanggar hukum apapun. Ini sungguh memalukan dan mengancam kebebasan
kita sebagai bangsa yang merdeka.” Tindakan semacam ini harus ditanggapi dengan
serius oleh pemerintah dan masyarakat sipil.
Penutup: Menjaga Demokrasi dari Ancaman Premanisme
Indonesia sebagai negara demokrasi tidak boleh tunduk pada kekuatan
premanisme. Kejadian di Hotel Kembang adalah pengingat bahwa perjuangan untuk
menjaga kebebasan berpendapat dan berkumpul belum selesai. Aparat hukum harus
netral, berani, dan bertindak sesuai dengan konstitusi untuk melindungi hak-hak
dasar warga negara.
Sebagai masyarakat, kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga
demokrasi tetap hidup. Preman yang bisa membubarkan diskusi di tengah kota
Jakarta bukan hanya sebuah anomali, melainkan sebuah ancaman yang harus segera
diatasi. Demokrasi yang sehat membutuhkan penegakan hukum yang kuat, aparat
yang netral, dan masyarakat yang berani menyuarakan pendapatnya tanpa takut
diintimidasi.
Penulis
Sumarta
Sumber
https://youtu.be/sXfn13Je8vU