Dilema TikTok: Apakah Konten Viral Membodohkan atau Memberdayakan Pengguna?

Apakah Konten Viral Membodohkan atau Memberdayakan Pengguna?

 


TikTok, sebuah platform media sosial yang semula dirancang untuk berbagi video pendek, telah tumbuh dengan kecepatan yang luar biasa dalam beberapa tahun terakhir. Dengan lebih dari 1 miliar pengguna aktif bulanan secara global pada 2024, platform ini telah menjadi sarana distribusi konten yang sangat berpengaruh di dunia digital. TikTok menawarkan ruang terbuka di mana semua orang bisa menjadi kreator, memungkinkan konten viral yang tidak hanya berasal dari kalangan ahli atau tokoh berpengaruh, tetapi juga dari pengguna biasa yang, dalam banyak kasus, memiliki latar belakang pendidikan yang rendah. Ini menghadirkan tantangan besar: apakah kebebasan dalam distribusi konten ini berpotensi merusak kualitas pemikiran masyarakat atau justru memberdayakan mereka?

Artikel ini akan mengeksplorasi dinamika TikTok sebagai platform distribusi konten, mengapa platform ini tumbuh dengan sangat cepat, dan bagaimana algoritma serta karakteristik pengguna mempengaruhi jenis konten yang paling populer. Pada akhirnya, kita akan merenungkan implikasi dari konten viral di TikTok terhadap masyarakat, terutama dalam konteks pendidikan dan kecerdasan emosional.

TikTok: Konten Viral untuk Semua

Salah satu kekuatan utama TikTok adalah kemampuannya untuk membuat konten yang dibuat oleh siapa saja menjadi viral. Berbeda dengan platform lain seperti Instagram atau YouTube, yang cenderung membutuhkan lebih banyak waktu dan usaha untuk membangun audiens, TikTok menawarkan peluang bagi siapa saja untuk mendapatkan perhatian besar hanya dalam hitungan jam. Mekanisme ini tidak hanya mendorong pengguna untuk terus membuat konten, tetapi juga menciptakan fenomena di mana orang-orang dari berbagai latar belakang, termasuk yang minim pengetahuan dan wawasan, dapat berbagi ide dan pandangan mereka kepada jutaan pengguna lainnya.

Namun, meskipun hal ini tampak sebagai misi yang mulia — di mana semua orang memiliki hak yang sama untuk bersuara — model ini juga menimbulkan dilema. TikTok berfungsi lebih sebagai platform distribusi konten daripada platform media sosial tradisional. Dengan kata lain, tujuan utamanya adalah menyebarkan konten secara luas tanpa terlalu memperhatikan kualitas intelektual atau substansi konten tersebut.

Algoritma TikTok dan Dampaknya

Algoritma TikTok berperan sangat besar dalam menentukan konten apa yang muncul di beranda pengguna. Salah satu kekuatan TikTok adalah kemampuannya untuk mengukur interaksi pengguna secara cepat. Seberapa lama seseorang menonton video, berapa kali mereka menyukainya, membagikannya, atau bahkan sekadar menggulir, menjadi indikator bagi TikTok untuk menentukan apakah suatu konten layak disebarluaskan lebih lanjut.

Namun, inilah masalahnya: algoritma TikTok tidak secara langsung menilai kualitas konten berdasarkan keakuratan atau signifikansinya. Sebaliknya, algoritma TikTok didorong oleh engagement. Semakin banyak interaksi yang diterima sebuah video, semakin besar peluangnya untuk menjadi viral. Konten yang kontroversial, dramatis, atau bahkan ekstrem cenderung lebih mudah menarik perhatian daripada konten yang informatif atau mendidik. Ini menciptakan ruang bagi konten-konten yang mungkin tidak berisi edukasi atau substansi yang kuat tetapi tetap menjadi viral karena sifatnya yang menarik emosi.

Penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi antara tingkat pendidikan dan kemampuan mengelola emosi (LeDoux, 1998). Pengguna dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah cenderung lebih mudah terprovokasi oleh konten yang membangkitkan emosi negatif seperti kemarahan, ketakutan, atau kecemasan. Inilah yang seringkali terjadi di TikTok, di mana konten-konten yang memancing emosi lebih banyak mendominasi dibandingkan konten-konten yang berisi edukasi atau diskusi mendalam.

Dampak Sosial dari Konten Viral di TikTok

Penting untuk mencatat bahwa TikTok tidak hanya mempengaruhi individu secara emosional, tetapi juga secara sosial. Di Indonesia, misalnya, pengguna TikTok cenderung berasal dari kelas sosial menengah ke bawah, yang dalam banyak kasus memiliki akses terbatas terhadap pendidikan formal yang berkualitas. Menurut data yang dirilis oleh We Are Social dan Hootsuite pada tahun 2023, pengguna Android di Indonesia menghabiskan lebih banyak waktu di TikTok dibandingkan dengan pengguna dari negara lain di dunia (Kemp, 2023). Hal ini menunjukkan bagaimana TikTok menjadi sarana utama bagi banyak orang untuk mendapatkan hiburan dan informasi, sekaligus menyoroti potensi platform ini dalam memengaruhi pola pikir masyarakat.

Namun, masalah muncul ketika konten yang dikonsumsi adalah konten yang tidak beredukasi, seperti drama, perundungan, konten ekstrem, atau sekadar sensasi. Pengguna yang mengonsumsi konten semacam ini secara terus-menerus dapat terjebak dalam siklus ketergantungan pada konten dangkal yang tidak memberikan nilai tambah intelektual atau emosional. Hal ini semakin diperburuk oleh algoritma TikTok yang justru mendorong konten-konten seperti ini untuk terus muncul di beranda pengguna, sehingga sulit bagi mereka untuk keluar dari lingkaran tersebut.

Fenomena "Echo Chamber" dan Manipulasi di TikTok

Salah satu aspek lain yang patut diperhatikan adalah bagaimana TikTok dapat menciptakan fenomena echo chamber, di mana pengguna hanya terpapar pada jenis konten dan pandangan yang sejalan dengan preferensi mereka. Hal ini bukan hanya membatasi wawasan pengguna, tetapi juga dapat mempengaruhi cara mereka memandang dunia. Konten viral yang tidak berkualitas dapat memanipulasi pandangan pengguna tentang apa yang benar dan salah, atau apa yang penting dan tidak penting.

Manipulasi ini dapat terjadi secara disengaja maupun tidak disengaja. Misalnya, seorang kreator dapat membuat 100 hingga 1000 akun palsu di TikTok dan menggunakan akun-akun tersebut untuk menyebarkan konten tertentu, membuatnya terlihat lebih populer atau berpengaruh daripada yang sebenarnya. Ini menciptakan ilusi bahwa konten tersebut layak dipercaya hanya karena mendapatkan banyak "like" atau komentar positif. Dalam dunia di mana informasi begitu mudah diakses, manipulasi semacam ini bisa sangat berbahaya, terutama bagi pengguna yang tidak memiliki pengetahuan kritis untuk memverifikasi kebenaran informasi yang mereka terima.

TikTok dan Pendidikan: Siapa yang Diuntungkan?

Salah satu alasan utama mengapa TikTok tumbuh begitu pesat adalah karena platform ini sangat inklusif dan terbuka untuk semua. Siapa saja bisa membuat konten, dan siapa saja bisa menjadi viral, tanpa memandang latar belakang pendidikan atau sosial. Ini menciptakan ruang yang tampaknya demokratis, di mana suara orang-orang yang biasanya tidak didengar bisa mendapatkan perhatian yang signifikan.

Namun, masalah muncul ketika kita mempertimbangkan kualitas dari suara-suara tersebut. Seiring dengan semakin banyaknya pengguna TikTok yang berasal dari kalangan dengan pendidikan rendah, muncul pula konten-konten yang tidak berisi edukasi atau substansi yang kuat. Banyak dari konten yang viral di TikTok adalah konten-konten yang berfokus pada drama, perundungan, atau sensasi semata, bukan pada diskusi yang berwawasan atau informatif. Ini menciptakan situasi di mana konten viral yang mendominasi TikTok cenderung membodohkan pengguna alih-alih memberdayakan mereka.

Menurut hasil penelitian dari Pew Research Center (2021), semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, semakin besar kemungkinan mereka mengonsumsi konten yang sifatnya emosional atau sensasional. Ini menunjukkan bahwa ada korelasi antara latar belakang pendidikan dan jenis konten yang dikonsumsi di TikTok.

Kesimpulan

TikTok adalah platform yang telah merevolusi cara kita mengonsumsi konten digital. Dengan kemampuannya untuk membuat siapa saja menjadi kreator dan menyebarkan konten secara viral, TikTok memberikan peluang bagi semua orang untuk didengar. Namun, di balik kebebasan ini, muncul tantangan besar dalam hal kualitas konten dan dampaknya terhadap masyarakat.

Algoritma TikTok, yang berfokus pada engagement daripada kualitas, cenderung mendorong konten yang memancing emosi negatif, terutama di kalangan pengguna dengan latar belakang pendidikan rendah. Akibatnya, platform ini berpotensi menjadi sarana yang membodohkan masyarakat, alih-alih memberdayakan mereka. Di sisi lain, TikTok juga memberikan ruang bagi individu untuk mengekspresikan diri dan bersuara, yang dalam beberapa kasus bisa menjadi sangat positif.

Pada akhirnya, tanggung jawab tidak hanya ada di tangan TikTok sebagai perusahaan, tetapi juga pada pengguna. Kita perlu lebih kritis dalam mengonsumsi konten dan lebih selektif dalam memilih apa yang kita sebarkan. Dengan demikian, kita bisa mengurangi dampak negatif dari konten viral yang tidak berisi edukasi, sambil memanfaatkan potensi positif dari platform ini.

Penulis

Sumarta

Referensi: 

Kemp, S. (2023). Digital 2023: Global Overview Report. We Are Social & Hootsuite.

LeDoux, J. E. (1998). The Emotional Brain: The Mysterious Underpinnings of Emotional Life. Simon & Schuster.

Pew Research Center. (2021). Social Media Use in 2021. Pew Research Center. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel