Drama Politik Pilkada: Dinasti, Meritokrasi, dan Kelas Menengah
Dinasti, Meritokrasi, dan Kelas Menengah
Dalam panggung politik Indonesia, Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sering
kali menjadi arena pertarungan yang penuh dengan drama. Di balik kampanye dan
janji-janji politik, ada sejumlah aktor yang berperan di balik layar, mengatur
alur permainan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Politik lokal ini kerap
kali menjadi cerminan dari dinamika kekuasaan di tingkat nasional, dengan
berbagai manuver yang membuat publik bertanya-tanya tentang integritas proses
demokrasi itu sendiri. Salah satu isu sentral dalam Pilkada adalah bagaimana
dinasti politik, meritokrasi, dan reaksi kelas menengah saling berkelindan
dalam drama politik yang semakin kompleks.
Dinasti Politik dalam Pilkada: Ketika Kekuasaan Tetap di Lingkaran Keluarga
Dinasti politik bukanlah fenomena baru di Indonesia. Dalam banyak Pilkada,
kita bisa melihat keluarga politik yang mencoba mempertahankan kekuasaan
melalui anggota keluarganya. Misalnya, ketika seorang kepala daerah yang sudah
habis masa jabatannya mencalonkan anak atau saudaranya untuk menggantikan
posisinya. Hal ini sering kali dilakukan dengan alasan “melanjutkan program
yang sudah berjalan,” namun banyak yang melihatnya sebagai upaya untuk
mempertahankan kekuasaan dalam lingkup keluarga.
Dinasti politik mencerminkan bagaimana kekuasaan sering kali dilihat sebagai
warisan yang harus dipertahankan di dalam keluarga, bukan sebagai amanah dari
rakyat. Di berbagai daerah, kita melihat fenomena ini muncul, baik di tingkat
kabupaten, kota, hingga provinsi. Dinasti politik bisa menjadi penghalang bagi
kemajuan meritokrasi—di mana posisi politik seharusnya diisi oleh orang-orang
yang memang layak berdasarkan prestasi, kompetensi, dan dedikasinya kepada
rakyat.
Namun, yang menarik dari fenomena dinasti politik di Pilkada adalah
bagaimana publik meresponsnya. Ada kalanya, masyarakat daerah masih menerima
calon dari keluarga politik tertentu karena merasa tokoh tersebut bisa
melanjutkan “kebaikan” yang sudah dilakukan oleh keluarganya. Di sisi lain, ada
juga resistensi dari masyarakat yang sudah jenuh dengan kepemimpinan yang hanya
berputar di kalangan elit keluarga tertentu.
Meritokrasi yang Tersingkirkan
Pada intinya, meritokrasi adalah konsep di mana seseorang bisa menduduki
posisi tinggi berdasarkan kemampuan dan prestasinya. Dalam konteks politik,
meritokrasi seharusnya menjadi prinsip utama dalam memilih calon pemimpin yang
akan memegang kendali daerah. Namun, dalam kenyataannya, meritokrasi sering
kali terkikis oleh kekuatan dinasti politik dan jaringan koneksi yang
mendominasi.
Presiden Jokowi awalnya dipandang sebagai simbol meritokrasi dalam politik
Indonesia. Ia memulai karier politiknya dari bawah, sebagai wali kota, kemudian
menjadi gubernur, dan akhirnya terpilih sebagai presiden. Perjalanan kariernya
dianggap sebagai contoh nyata bagaimana seseorang bisa naik ke puncak kekuasaan
karena prestasi, bukan koneksi keluarga atau politik. Namun, ketika
anak-anaknya mulai terjun ke dunia politik, muncul keraguan apakah prinsip
meritokrasi masih dijunjung tinggi.
Fenomena ini mengundang reaksi keras dari banyak pihak, terutama kelas
menengah yang menjunjung tinggi prinsip meritokrasi. Mereka merasa bahwa proses
politik seharusnya memberikan ruang bagi orang-orang yang kompeten, bukan
mereka yang mendapatkan keuntungan karena hubungan keluarga. Ketika dinasti
politik semakin menguat, kelas menengah yang selama ini melihat meritokrasi
sebagai jalan menuju kemajuan merasa kecewa.
Reaksi Kelas Menengah: Dari Apatisme Menuju Kekecewaan
Kelas menengah memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan politik dan
sosial di Indonesia. Mereka adalah kelompok yang relatif terdidik, memiliki
akses terhadap informasi, dan cenderung lebih kritis terhadap kebijakan
pemerintah. Namun, meski mereka memiliki potensi besar untuk mempengaruhi arah
kebijakan, kelas menengah sering kali memilih untuk bersikap apatis terhadap
dinamika politik.
Namun, ada titik di mana apatisme ini berubah menjadi kekecewaan mendalam.
Ketika mereka melihat bahwa nilai-nilai meritokrasi yang mereka pegang teguh
diinjak-injak oleh praktik politik yang mengutamakan dinasti, koneksi, dan
kepentingan pribadi, kekecewaan mereka tidak dapat lagi dibendung. Dalam banyak
kasus, kelas menengah mulai merasa bahwa usaha keras mereka untuk mencapai
posisi tertentu tidak lagi dihargai, karena orang-orang yang menduduki jabatan
tinggi bukanlah mereka yang layak, tetapi mereka yang memiliki hubungan dekat
dengan elit politik.
Abdur, seorang komedian dan pengamat sosial, pernah dengan cerdas
menggambarkan kemarahan kelas menengah ini. Ia menyatakan, "Kelas menengah
itu akan bergerak bukan karena lapar, tapi ketika kepalanya diinjak-injak,
terutama dalam hal intelektualitas." Ucapan ini sangat relevan dalam
konteks kekecewaan kelas menengah terhadap politik dinasti yang mengabaikan
nilai-nilai meritokrasi. Mereka merasa bahwa kecerdasan, kompetensi, dan usaha
mereka telah dipandang sebelah mata oleh para penguasa yang lebih mementingkan
kekuasaan dan warisan politik.
Politik sebagai Panggung Drama
Politik di Indonesia sering kali disamakan dengan sebuah panggung drama, di
mana para aktor politik bermain dengan segala cara untuk mencapai tujuan
mereka. Para elit politik yang berada di belakang layar kerap kali mengatur
alur cerita, menentukan siapa yang akan menjadi protagonis dan antagonis, serta
menyusun strategi demi mempertahankan kekuasaan.
Salah satu contoh nyata dari drama politik ini adalah bagaimana
partai-partai besar, yang sebelumnya berseberangan dalam Pemilihan Presiden
(Pilpres), tiba-tiba bisa bersatu dalam Pilkada. Fenomena ini menunjukkan
betapa fleksibelnya politik Indonesia. Kesetiaan politik bisa berubah dalam
sekejap, tergantung pada kepentingan yang sedang diperjuangkan.
Ridwan Kamil, seorang politisi yang sebelumnya diandalkan Partai Golkar
untuk memenangkan Pilkada Jawa Barat, juga menjadi korban dari permainan
politik ini. Meskipun memiliki peluang besar untuk menang di wilayah dengan
jumlah pemilih yang sangat besar, Golkar memilih untuk mundur dari pertarungan.
Banyak spekulasi yang beredar bahwa Golkar tunduk pada tekanan dari koalisi
politik yang lebih besar, menunjukkan betapa kompleksnya dinamika politik di
Indonesia.
Masa Depan Demokrasi di Indonesia: Mampukah Meritokrasi Bertahan?
Dengan semakin kuatnya dinasti politik dan semakin terpinggirkannya meritokrasi,
masa depan demokrasi di Indonesia tampaknya berada dalam ujian berat. Kelas
menengah yang selama ini menjadi pendukung utama perubahan, kini mulai merasa
terpinggirkan. Jika meritokrasi tidak segera dikembalikan sebagai prinsip utama
dalam politik, bukan tidak mungkin kelas menengah akan semakin apatis dan
kehilangan kepercayaan terhadap sistem politik.
Dalam drama politik Pilkada, masyarakat harus terus waspada. Pilkada
seharusnya menjadi ajang bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang benar-benar kompeten,
bukan mereka yang hanya menjadi “boneka” dari kekuatan elit di balik layar.
Dinasti politik dan meritokrasi harus mendapatkan perhatian yang serius agar
demokrasi di Indonesia tetap hidup dan berkembang sesuai dengan harapan rakyat.
Kesimpulan
Drama politik Pilkada, dengan segala intrik dan permainan di belakang layar,
menjadi cerminan dari dinamika kekuasaan di Indonesia. Dinasti politik terus
berusaha mempertahankan kekuasaan, sementara meritokrasi mulai tersingkir. Di
sisi lain, kelas menengah yang merasa nilai-nilai mereka diinjak-injak oleh
praktik politik yang tidak adil, mulai menunjukkan tanda-tanda kekecewaan yang
mendalam. Masyarakat perlu terus mengawal proses demokrasi ini agar meritokrasi
bisa kembali berjaya, dan Pilkada benar-benar menjadi ajang bagi pemilihan
pemimpin yang kompeten dan berpihak pada rakyat.
Penulis
Sumarta
Sumber
https://youtu.be/BVFpnohDd1A