Hak Atas Tanah dan Pengaturan Agraria di Daerah Istimewa Yogyakarta: Sejarah dan Dinamika Kebijakan

Sejarah dan Dinamika Kebijakan



Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki sistem pengelolaan tanah yang unik dan berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Sejarah panjang tata kelola agraria di Yogyakarta didasarkan pada sistem Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman yang memiliki aturan tersendiri terkait hak atas tanah. Artikel ini akan mengulas bagaimana sistem agraria ini berkembang dari masa kolonial hingga pasca-kemerdekaan, serta tantangan dalam penerapan hukum tanah di DIY.

Pengaturan Tanah di Masa Kesultanan dan Pakualaman



Pada masa Kesultanan Yogyakarta, pengelolaan tanah sudah diatur secara sistematis melalui pembentukan lembaga administratif di tingkat kelurahan. Kelurahan diberi tanggung jawab untuk mencatat bidang tanah yang digunakan oleh masyarakat. Tanah yang telah dimanfaatkan oleh warga, baik untuk pertanian, pemukiman, atau kegiatan lain, dicatat dalam register khusus yang dikenal sebagai "leger A". Data ini memuat informasi tentang luas, jenis penggunaan tanah (misalnya sawah atau tegalan), dan pihak yang mengelolanya.

Untuk tanah yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat, diberi status khusus yaitu "hak nganggu turun-temurun." Meski tidak berstatus sebagai hak milik, hak ini memungkinkan warga untuk menggunakan tanah tersebut secara turun-temurun dan diperlakukan seperti hak milik, yang dapat diwariskan atau diperjualbelikan. Pencatatan terkait status ini dilakukan di buku "leger B" yang berisi daftar warga yang memperoleh hak nganggu. Apabila terjadi transaksi jual-beli atau pewarisan, proses tersebut dicatat dalam buku "leger C".

Tanah Kas Desa dan Pengelolaan di Kelurahan

Selain pengelolaan hak individu, ada pula ketentuan yang mengatur penggunaan tanah oleh kelurahan. Tanah ini dikenal sebagai tanah "hak anggaduh," yang merupakan tanah milik Kesultanan atau Kadipaten yang dialokasikan untuk kepentingan pemerintahan desa. Hak anggaduh bukan merupakan hak milik penuh bagi kelurahan, melainkan hak untuk menguasai dan mengelola tanah dengan luas maksimum 1/5 dari total luas tanah di kelurahan. Jika, misalnya, luas tanah kelurahan adalah 100 hektar, maka tanah yang bisa dikuasai adalah 20 hektar.

Tanah ini dimanfaatkan untuk tiga kepentingan utama:

  1. Pengarem-arem: Sebagai sumber tunjangan pensiun bagi pamong desa yang telah purna tugas.
  2. Lungguh: Untuk memberikan gaji bagi pamong desa yang masih aktif.
  3. Pendapatan Desa: Tanah ini digunakan sebagai sumber pendapatan untuk mendukung aktivitas pemerintahan desa.

Pada masa modern, tanah-tanah ini dikenal dengan istilah tanah kas desa, dan tetap berfungsi sebagai salah satu aset penting yang mendukung keberlangsungan operasional pemerintahan di tingkat desa.

Pengaruh Kebijakan Kolonial Belanda

Pemerintah kolonial Belanda juga memiliki kebijakan terkait tanah yang dikenal dengan konsep "domein verklaring," yaitu tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya dianggap sebagai milik pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan ini tercantum dalam Staatsblad 1870 nomor 118, yang berlaku untuk Jawa dan Madura, tetapi secara tegas dikecualikan untuk wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Dengan demikian, Kesultanan dan Pakualaman tetap memiliki hak atas tanah di wilayahnya.

Jika pemerintah kolonial memerlukan tanah untuk kepentingan tertentu, mereka harus meminjamnya dari Kesultanan atau Pakualaman melalui sistem sewa, dengan waktu yang ditentukan. Ketika masa sewa berakhir, hak atas tanah kembali sepenuhnya kepada Keraton. Kondisi ini menunjukkan bahwa struktur kepemilikan tanah di DIY tidak pernah mengalami perubahan signifikan hingga masa pendudukan Jepang.

Masa Pendudukan Jepang dan Awal Kemerdekaan

Pada masa pendudukan Jepang, terjadi penguasaan terhadap tanah-tanah di Yogyakarta tanpa adanya dasar hukum yang jelas. Pemerintah Jepang mencoret nama-nama warga dalam buku leger C dan mengganti status tanah tersebut menjadi "tanah istimewa" atau "tanah tutupan." Hal ini digunakan untuk kepentingan militer Jepang.

Namun, setelah kemerdekaan, pengaturan tanah kembali seperti semula. Struktur kepemilikan tanah tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku pada masa Kesultanan dan Pakualaman, meskipun Yogyakarta telah ditetapkan sebagai Daerah Istimewa dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950. Pengelolaan tanah di DIY tetap berpedoman pada aturan tradisional yang sudah ada, dengan penyesuaian sesuai kebutuhan perkembangan zaman.

Undang-Undang Pokok Agraria dan Tantangan Implementasinya di DIY

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) merupakan landasan hukum agraria di Indonesia yang bersifat nasional dan bertujuan untuk menggantikan sistem agraria kolonial. UUPA mengenal berbagai bentuk hak atas tanah seperti hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai.

Namun, penerapan UUPA di DIY tidak berjalan mulus. Salah satu tantangan utama adalah status tanah adat yang dikenal dengan berbagai nama seperti hak anggaduh dan hak nganggu yang memiliki karakteristik khusus. Meskipun dalam ketentuan konversi UUPA, hak-hak adat ini diakui, konversi ke dalam bentuk hak sesuai UUPA tidak dapat langsung dilaksanakan karena diperlukan peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari Menteri Agraria.

Pada tahun 1984, melalui Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1984, UUPA mulai diberlakukan secara penuh di DIY. Namun, beberapa aspek terkait tanah adat masih memerlukan regulasi yang lebih jelas untuk dapat diimplementasikan secara efektif.

Peran Kraton dalam Pengelolaan Tanah di Yogyakarta

Hingga saat ini, Kraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman tetap memiliki peran penting dalam pengelolaan tanah di DIY. Hak atas tanah kasultanan dan kadipaten masih diakui, dan penggunaan tanah diatur dengan mengacu pada prinsip-prinsip yang sudah ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Kepemilikan tanah oleh pihak asing dan peraturan mengenai tanah milik masyarakat tetap mengacu pada ketentuan lokal yang berlaku.

Pemerintah daerah DIY bersama dengan Kraton terus berupaya untuk menyesuaikan sistem agraria lokal dengan ketentuan nasional, sambil tetap mempertahankan kekhasan sistem hukum tanah yang berlaku di wilayah ini. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menerbitkan peraturan daerah (perda) yang mengatur mengenai tanah kas desa dan hak-hak atas tanah lainnya, sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.

Masa Depan Pengelolaan Tanah di DIY

Tata kelola agraria di Yogyakarta menunjukkan karakteristik yang unik, yang menggabungkan antara sistem hukum adat, pengaruh kolonial, serta kebijakan nasional pasca kemerdekaan. Sejarah panjang ini membentuk dinamika agraria yang berbeda dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Meskipun UUPA telah diberlakukan, pelaksanaan konversi hak tanah adat tetap menjadi tantangan tersendiri.

Masa depan pengelolaan tanah di DIY bergantung pada sinergi antara pemerintah daerah, Kraton, dan masyarakat untuk mencari jalan tengah yang menghormati nilai-nilai tradisional sekaligus memenuhi kebutuhan modernisasi hukum. Dengan mengacu pada pengalaman sejarah dan perkembangan kebijakan yang ada, diharapkan pengaturan agraria di DIY dapat terus berkembang menuju sistem yang lebih adil dan berkelanjutan, memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat serta menghormati hak-hak tradisional yang ada.

Artikel ini menyajikan gambaran lengkap tentang bagaimana sejarah dan perkembangan kebijakan agraria di DIY telah membentuk dinamika kepemilikan dan penggunaan tanah yang khas, serta mengulas berbagai tantangan dan potensi solusi dalam menghadapi perubahan kebijakan agraria ke depan.

Penulis

Sumarta

 

Sumber

@dispertarudiy (8 Okt 2024). Yogyakarta Tanah Istimewa.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel