Jeritan Hati Hakim Indonesia: Menggugah Nurani Negara untuk Kesejahteraan dan Keamanan
Menggugah Nurani Negara untuk Kesejahteraan dan Keamanan
Dalam ruang sidang yang hening, seorang hakim sering disebut "Yang
Mulia" oleh terdakwa, pengacara, dan seluruh pihak yang terlibat dalam
proses hukum. Namun, di balik gelar yang terdengar agung tersebut, tersimpan
realita pahit yang dialami oleh para hakim di Indonesia. Realita yang jauh dari
kemuliaan, penuh dengan tantangan ekonomi, ancaman keamanan, serta tuntutan
moral yang tak jarang terabaikan oleh negara.
Salah satu kisah yang menggugah hati datang dari Haji Prakoso, seorang hakim
dari Pengadilan Negeri Sampang, Madura. Dengan suara bergetar, Prakoso
menceritakan perjalanan panjangnya untuk menghadiri sebuah pertemuan penting,
di mana ia dan rekan-rekannya berusaha menyuarakan keluhan para hakim dari
seluruh penjuru Indonesia. Bukan hanya soal kesejahteraan yang tak kunjung
membaik selama bertahun-tahun, tetapi juga hak-hak fundamental lainnya seperti
jaminan keamanan yang juga tak terpenuhi.
Hakim seperti Prakoso bukanlah sosok yang menuntut kehidupan mewah. Mereka
sadar betul akan tanggung jawab besar yang diemban sebagai garda terakhir
penegak keadilan. Namun, tuntutan untuk terus menjalankan tugas di tengah
kondisi ekonomi yang tidak menentu, terutama setelah lebih dari satu dekade
tanpa perhatian dari negara, membuat kehidupan mereka berada di ujung tanduk.
Hakim yang ditugaskan di daerah-daerah terpencil sering kali harus berjuang
untuk bertahan, menghadapi berbagai kesulitan yang sering kali luput dari
perhatian publik.
Ketidakadilan Bagi Penegak Keadilan
Dalam pengakuannya, Prakoso menggambarkan kisah seorang rekannya yang
bertugas di Kepulauan Buru, Maluku. Hakim tersebut berasal dari Gresik, Jawa
Timur, dan harus membawa istri serta dua anaknya untuk tinggal di tempat yang
jauh dari pusat peradaban. Kondisi ini tentu tidak mudah. Bahkan, untuk sekadar
pulang kampung menemui keluarga di Gresik, hakim tersebut harus menunggu
bertahun-tahun hingga akhirnya memiliki dana yang cukup. Pengorbanan semacam
ini adalah hal yang lumrah di kalangan para hakim, terutama mereka yang
ditugaskan di daerah-daerah terpencil.
Hal serupa juga dialami oleh Prakoso sendiri. Sebelum ditugaskan di Madura,
ia sempat bertugas di Tanjung Jabung Timur, Jambi. Di sana, ia menghadapi
kenyataan pahit saat orang tua istrinya meninggal dunia, namun ia tak bisa
menghadiri pemakaman karena keterbatasan ekonomi. Ini bukan sekadar kisah
pribadi Prakoso; banyak hakim di Indonesia yang mengalami hal serupa, terpaksa
memilih antara menjalankan tugas dan memenuhi tanggung jawab keluarga.
Kondisi ini menjadi semakin ironis ketika kita memahami bahwa hakim adalah
sosok yang sering kali dianggap sebagai wakil Tuhan dalam memutuskan perkara.
Mereka diharapkan untuk bersikap adil dan bijaksana dalam setiap putusan yang
mereka buat, namun di sisi lain, mereka harus berhadapan dengan kenyataan bahwa
kesejahteraan dan hak-hak dasar mereka sendiri diabaikan oleh negara.
Ancaman Keamanan yang Nyata
Selain masalah kesejahteraan, ada isu lain yang lebih mengkhawatirkan:
keamanan para hakim. Dalam menjalankan tugasnya, seorang hakim tidak hanya
dihadapkan pada tantangan moral dan tanggung jawab besar dalam memutuskan nasib
seseorang, tetapi juga harus menghadapi ancaman keamanan yang nyata.
Prakoso menceritakan pengalamannya ketika menangani kasus pembunuhan.
Rumahnya diintai, pintunya digedor-gedor oleh orang tak dikenal di malam hari.
Istrinya, yang kala itu tinggal bersama tiga anak kecil tanpa bantuan pengasuh,
merasa sangat terancam. Situasi ini membuat Prakoso terpaksa menginap di
kantor, bekerja sepanjang malam untuk mendraf putusan, sementara istri dan
anak-anaknya dibiarkan dalam kondisi yang sangat rentan.
Ancaman semacam ini bukanlah cerita langka di kalangan hakim. Banyak dari
mereka yang hidup dalam ketakutan, menghadapi tekanan dari pihak-pihak yang
merasa dirugikan oleh keputusan mereka. Namun, hingga saat ini, belum ada
jaminan keamanan yang memadai dari negara untuk melindungi para penegak hukum
ini. Negara seolah abai terhadap risiko yang dihadapi oleh hakim-hakim yang
setiap hari berdiri di garis depan untuk menegakkan keadilan.
Kesejahteraan yang Terpinggirkan
Ketidakadilan yang dialami oleh para hakim juga tercermin dalam masalah
kesejahteraan. Selama lebih dari satu dekade, gaji dan tunjangan para hakim
tidak pernah mengalami peningkatan yang signifikan, meskipun inflasi terus
meningkat. Seorang hakim dengan masa kerja lebih dari 20 tahun masih menerima
penghasilan yang lebih rendah daripada pegawai dengan jabatan teknis seperti
arsiparis atau pranata komputer.
Dalam sebuah pertemuan dengan Komisi III DPR, Prakoso menyampaikan bahwa
permintaan para hakim sebenarnya sangat sederhana. Mereka tidak meminta untuk
menjadi kaya raya, tetapi hanya ingin ada peningkatan gaji sebesar 30%—separuh
dari kenaikan yang diterima oleh pegawai Kementerian Keuangan. Permintaan ini
dianggap wajar mengingat beban kerja dan tanggung jawab besar yang mereka
emban. Namun, hingga saat ini, permintaan tersebut masih diabaikan.
Ironisnya, di tengah segala ketidakadilan ini, para hakim masih diwajibkan
untuk mengisi laporan kinerja setiap bulan. Mereka diharapkan untuk tetap
profesional dan menunjukkan kinerja terbaik, meskipun tunjangan kinerja yang
seharusnya mereka terima justru tidak pernah cair. Alasannya, mereka dianggap
sebagai pejabat negara, bukan pegawai negeri sipil, sehingga tidak berhak atas
tunjangan tersebut. Namun, kenyataan ini semakin sulit diterima ketika kita
melihat bahwa menteri-menteri dan pejabat negara lainnya masih mendapatkan
tunjangan kinerja, meskipun mereka juga berstatus sebagai pejabat negara.
Janji yang Terus Dinanti
Di tengah kondisi yang serba sulit ini, para hakim menaruh harapan besar
pada pemerintahan baru yang dipimpin oleh Presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Dalam beberapa kesempatan, Prabowo menyampaikan komitmennya untuk memperhatikan
kesejahteraan para hakim. Bagi para hakim, janji ini bagaikan oase di tengah
gurun yang gersang. Mereka berharap, di bawah kepemimpinan Prabowo, negara akan
hadir dan memberikan perhatian yang layak bagi mereka yang selama ini
terpinggirkan.
Prakoso dan rekan-rekannya berharap bahwa aspirasi yang mereka sampaikan
tidak hanya didengar, tetapi juga direalisasikan. Mereka percaya bahwa dengan
adanya perubahan kebijakan yang mendukung, kesejahteraan dan keamanan para
hakim akan meningkat, sehingga mereka dapat menjalankan tugasnya dengan lebih
baik tanpa harus khawatir tentang kebutuhan dasar mereka dan keselamatan
keluarga mereka.
Penutup: Sebuah Ironi di Negara Hukum
Indonesia adalah negara hukum, di mana keadilan seharusnya menjadi landasan
utama dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, ironisnya, para penegak hukum
justru menjadi pihak yang sering kali terabaikan oleh negara. Hakim, sebagai
garda terdepan dalam penegakan hukum, tidak hanya dituntut untuk adil dalam
memutuskan perkara, tetapi juga harus berjuang untuk mendapatkan hak-hak dasar
mereka sebagai warga negara.
Kisah Prakoso dan rekan-rekannya adalah cerminan dari ketidakadilan yang
terjadi di balik layar peradilan Indonesia. Mereka yang seharusnya menjadi
pilar keadilan justru harus menghadapi ketidakadilan dari sistem yang mereka
layani. Sudah saatnya negara hadir untuk memperbaiki kondisi ini, memberikan
penghargaan yang layak bagi para hakim yang telah berjuang di garis depan untuk
menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penulis
Sumarta
Sumber
https://youtu.be/0sG5sIEzlRc