Kritik yang Bermakna: Menyimak Beragam Kritik dalam Arena Politik PILKADA 2024
Menyimak Beragam Kritik dalam Arena Politik Jakarta
Kritik
adalah elemen penting dalam politik, sebuah cermin yang memungkinkan pemimpin
untuk melihat lebih jelas apa yang harus diperbaiki dan dikembangkan. Dalam
konteks ini, tidak semua kritik diciptakan sama. Ada yang datang dari niat baik
untuk memberi masukan yang konstruktif, sementara yang lain sekadar lontaran
yang didasari oleh ketidakpuasan pribadi. Bahkan, ada pula kritik yang berasal
dari kepentingan pihak tertentu. Dalam dunia politik Jakarta yang dinamis dan
penuh warna, berbagai bentuk kritik ini hadir, memberi warna dalam perdebatan
publik serta membentuk opini masyarakat.
Dalam
sebuah dialog, muncul gagasan tentang jenis-jenis kritik yang sering kali
terdengar dalam politik, khususnya dalam masa Pilkada. Dikatakan bahwa kritik
dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok. Pertama, kritik yang
"lillahi ta'ala", yakni kritik yang datang dari niat tulus untuk
memberikan umpan balik dan masukan yang konstruktif. Jenis kritik ini bertujuan
memperbaiki dan menciptakan solusi yang lebih baik bagi masyarakat dan
pemerintahan.
Kelompok
kedua adalah kritik yang muncul karena seseorang merasa tidak mendapatkan
apa-apa atau tidak kebagian 'kue'. Kritik ini cenderung didasarkan pada rasa
ketidakpuasan, bukan karena ada kesalahan yang mendasar dalam kebijakan atau
keputusan yang dibuat oleh seorang pemimpin. Kritik seperti ini lebih bersifat
personal daripada objektif.
Kelompok
ketiga adalah kritik yang muncul dari ketidaktahuan. Orang-orang dalam kelompok
ini hanya melontarkan kritik tanpa benar-benar memahami isu yang sedang
dihadapi. Mereka mungkin tidak suka pada pemimpin atau calon pemimpin tertentu
dan meluapkan ketidaksukaan itu melalui kritik yang tidak berdasar.
Dan yang
keempat, adalah kritik yang sengaja dilontarkan atas dasar perintah atau
dorongan dari pihak tertentu, terutama lawan politik. Kritik jenis ini sering
kali memiliki motif tersembunyi, dengan tujuan menggagalkan atau merusak
reputasi seseorang demi keuntungan pihak yang memberi instruksi.
Fenomena
kritik semacam ini bukanlah hal baru, terutama dalam konteks politik Jakarta,
yang sering kali menjadi pusat perhatian nasional. Salah satu isu yang sering
menjadi sasaran kritik adalah masalah banjir. "Per hari ini belum ada
gubernur yang benar-benar yakin dan mampu menyelesaikan persoalan banjir,"
ujar salah seorang narasumber dalam diskusi ini. Normalisasi, naturalisasi,
hingga sumur resapan semuanya telah menjadi topik pembicaraan. Namun, sampai saat
ini, masalah banjir tetap menjadi tantangan yang belum terselesaikan dengan
tuntas.
Selain
banjir, kemacetan juga menjadi isu yang tak kalah besar di Jakarta.
"Setiap saat macet, enggak ada jamnya. Mau pagi, mau siang, mau malam,
macet terus," kata narasumber. Berbagai faktor menjadi penyebab kemacetan
ini, mulai dari manajemen lalu lintas yang belum optimal hingga terlalu
banyaknya lampu lalu lintas yang memperlambat arus kendaraan. Setiap warga
Jakarta yang pernah terjebak macet di jalan menuju Kuningan atau Sudirman tentu
dapat merasakan frustrasi ini.
Namun, di
tengah kritik yang terus mengalir, ada pula apresiasi terhadap upaya-upaya yang
dilakukan oleh para calon gubernur dan pejabat publik lainnya. Misalnya, konsep
work from anywhere yang diajukan sebagai solusi untuk mengurangi
kemacetan di ibu kota, di mana para pekerja tidak lagi harus hadir secara fisik
di kantor setiap hari. Dengan bekerja dari rumah selama beberapa hari dalam
seminggu, diharapkan beban lalu lintas akan berkurang dan kemacetan dapat
diatasi secara bertahap.
Selain
itu, gagasan transportasi air juga mulai diperbincangkan sebagai solusi
potensial untuk mengatasi kemacetan. Menggunakan sungai-sungai di Jakarta
sebagai jalur transportasi bisa menjadi salah satu langkah inovatif yang layak
untuk dipertimbangkan. Ide-ide seperti ini menunjukkan bahwa meskipun ada
banyak kritik, ada juga inovasi dan terobosan yang terus diupayakan oleh para
pemimpin dan calon pemimpin di Jakarta.
Debat Politik: Antara Janji dan Realitas
Salah
satu momen penting dalam setiap Pilkada adalah debat politik antar calon. Dalam
debat, para calon memiliki kesempatan untuk menyampaikan visi dan misi mereka
kepada publik. Namun, sebagaimana yang diungkapkan dalam diskusi ini, sering
kali debat politik diisi dengan janji-janji yang terdengar idealis, namun
realisasinya masih dipertanyakan.
"Ini
kan debat kandidat banyak terjadi di ratusan kepala daerah," ujar
narasumber. Namun sayangnya, tidak semua debat di tempat-tempat lain
mendapatkan sorotan yang sama seperti Pilkada di Jakarta. Banyak daerah yang
tidak mendapatkan eksposur media yang memadai, sehingga publik hanya terfokus
pada Pilkada di ibu kota.
Di
Jakarta sendiri, para calon gubernur sering kali mengajukan janji-janji yang
serupa dengan yang sudah disampaikan oleh calon-calon sebelumnya. Mulai dari
solusi untuk banjir, kemacetan, hingga pemberdayaan anak muda, semuanya
terdengar bagus di atas kertas. Namun, implementasi dari janji-janji tersebut
masih menjadi tantangan besar. Janji-janji ini terdengar mirip dari satu masa
kampanye ke kampanye lainnya, dan warga Jakarta yang sudah lelah dengan masalah
sehari-hari mulai meragukan apakah perubahan nyata akan terjadi.
Salah
satu gagasan menarik yang diajukan dalam debat politik Jakarta kali ini adalah
tentang pemberdayaan anak muda, terutama generasi Z (Gen-Z). Para calon
mengajukan berbagai program untuk membantu anak muda yang terkena dampak PHK
atau yang ingin memulai usaha kreatif. Ada ide tentang penyediaan coworking
space gratis bagi anak muda, insentif bagi mereka yang mencari pekerjaan,
hingga pengembangan industri kreatif yang diharapkan dapat membuka lapangan
kerja baru.
Ide-ide
ini terdengar menjanjikan, namun seperti halnya janji-janji lainnya, realisasi
dari gagasan-gagasan ini masih harus dilihat. Apakah fasilitas coworking
benar-benar akan disediakan secara gratis? Apakah insentif bagi pekerja yang
terkena PHK akan berjalan sesuai rencana? Warga Jakarta tentu berharap agar
janji-janji ini dapat diwujudkan, bukan hanya sekadar retorika politik untuk
menarik suara.
Kritik dan Harapan di Masa Depan
Dalam
setiap kontestasi politik, kritik akan selalu ada. Namun, penting untuk
membedakan kritik yang konstruktif dari kritik yang hanya bertujuan untuk
merusak atau mengganggu. Kritik yang tulus, yang didasarkan pada niat baik
untuk memperbaiki, adalah elemen penting dalam demokrasi. Sementara itu, kritik
yang didasarkan pada kepentingan pribadi atau pesanan pihak tertentu hanya akan
memperkeruh suasana tanpa memberikan solusi yang nyata.
Pada
akhirnya, Jakarta membutuhkan pemimpin yang tidak hanya mampu berbicara dengan
baik dalam debat, tetapi juga mampu merealisasikan janji-janji mereka.
Masalah-masalah seperti banjir, kemacetan, dan pemberdayaan anak muda adalah
tantangan nyata yang membutuhkan solusi konkrit. Kritik yang datang dari warga,
baik yang positif maupun negatif, harus dijadikan bahan pembelajaran bagi para
pemimpin untuk terus memperbaiki diri dan bekerja lebih baik lagi.
Masyarakat
Jakarta, seperti halnya warga kota besar lainnya, selalu menaruh harapan tinggi
pada pemimpin mereka. Namun, harapan tersebut harus disertai dengan kerja
keras, dedikasi, dan kesungguhan dalam menjalankan tugas. Kritik adalah bagian
dari proses demokrasi, dan di tangan pemimpin yang bijak, kritik dapat menjadi
pendorong untuk menciptakan perubahan yang lebih baik bagi semua.
Penulis
Sumarta
Sumber
Podcast Adi Prayitno di Unpacking Indonesia Podcast
bersama Zulfan Lindan 9
Okt 2024
https://youtu.be/IUNFXJFAEak