Mengungkap Keistimewaan Yogyakarta: Sejarah Panjang di Balik Pesona dan Budaya
Sejarah Panjang di Balik Pesona dan Budaya
Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu daerah di Indonesia yang
memiliki status khusus dan dihormati karena kekayaan budayanya. Namun, tidak
banyak masyarakat yang benar-benar memahami keistimewaan dari daerah ini.
Status istimewa Yogyakarta tidak hanya terkait dengan adat dan kebudayaan,
tetapi juga mencakup aspek sejarah dan politik yang mempengaruhi posisi DIY
dalam pemerintahan Indonesia. Artikel ini akan menggali sejarah panjang
Yogyakarta, dari perjanjian Gianti hingga keistimewaannya yang diakui dalam
konstitusi Indonesia.
Sejarah yang Mengakar: Perjanjian Gianti dan
Lahirnya Kesultanan Yogyakarta
Yogyakarta
bukan hanya sebuah tempat wisata dengan pemandangan alam dan budaya yang
memesona. Di balik keindahannya, ada sejarah panjang yang membawa dampak besar
bagi politik dan budaya di Indonesia. Perjalanan sejarah Yogyakarta dimulai
dengan perjanjian Gianti tahun 1755, yang menjadi tonggak penting dalam berdirinya
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada saat itu, Pangeran Mangkubumi yang
kelak bergelar Sultan Hamengkubuwono I, mendapatkan wilayah kekuasaan di
sebelah barat Sungai Opak, membentuk kerajaan baru yang relatif bebas dari
campur tangan pihak luar, termasuk VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie),
perusahaan dagang Belanda.
Perjanjian
Gianti adalah kesepakatan penting yang melibatkan tiga pihak, yaitu Pangeran
Mangkubumi, VOC, dan perwakilan Kasunanan Surakarta. Kesepakatan ini menjadi
solusi atas ketegangan politik di Kerajaan Mataram Islam, yang kala itu
mengalami tekanan kuat dari VOC. Pangeran Mangkubumi yang tidak puas dengan
intervensi VOC, berkeinginan untuk membangun kerajaan yang independen dari
pengaruh asing. Dengan perjanjian tersebut, wilayah Mataram dibagi menjadi dua:
Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Kesultanan yang Bebas dari Intervensi: Impian
Sultan Hamengkubuwono I
Lahirnya
Kesultanan Yogyakarta dengan Sultan Hamengkubuwono I sebagai pemimpinnya
merupakan upaya untuk membentuk sebuah kerajaan yang bersih dari campur tangan
VOC. Hal ini penting karena pada masa itu, Kerajaan Mataram Islam sudah berada
dalam pengaruh yang besar dari pihak Belanda. Sebagai salah satu keturunan dari
pendiri Kerajaan Mataram, Sultan Hamengkubuwono I bertekad untuk menjaga
kemurnian kerajaan barunya dan mempertahankan otonomi dari pengaruh asing.
Dalam
perjanjian Gianti, Pangeran Mangkubumi secara resmi diangkat sebagai Sultan
Hamengkubuwono I dengan wilayah kekuasaan yang diserahkan kepadanya meliputi
separuh dari Kerajaan Mataram. Wilayah ini kemudian dikenal sebagai Sultan
Ground atau tanah milik Sultan, yang diwariskan secara turun-temurun
berdasarkan hukum adat. Tanah Sultan Ground ini menjadi fondasi bagi
terbentuknya struktur pemerintahan dan kepemilikan tanah di Yogyakarta hingga
saat ini.
Pembagian Wilayah dan Pengaruh Dualisme Kekuasaan
Hasil
dari perjanjian Gianti tidak hanya memisahkan kekuasaan antara Yogyakarta dan
Surakarta, tetapi juga menciptakan pembagian wilayah yang kompleks. Secara
umum, Kesultanan Yogyakarta menguasai wilayah yang saat ini dikenal sebagai
Daerah Istimewa Yogyakarta, sementara Kasunanan Surakarta menguasai wilayah di
sekitar Surakarta. Namun, pembagian ini tidak selalu bersifat tegas. Ada
beberapa wilayah yang berbagi kekuasaan, seperti di Kotagede, yang menjadi
tempat makam leluhur Mataram Islam. Selain itu, ada juga daerah seperti Madiun
yang dikuasai oleh Yogyakarta dan wilayah-wilayah lain di Jawa Timur serta Jawa
Tengah yang masih menjadi sengketa antara dua kerajaan tersebut.
Dualisme
kekuasaan ini menggambarkan kompleksitas politik Jawa pada masa itu.
Kerajaan-kerajaan ini tidak hanya berperang dengan kekuatan militer tetapi juga
dengan taktik politik dan negosiasi untuk mempertahankan kekuasaan. Pembagian
wilayah yang dilakukan seringkali melibatkan kompromi dengan pihak asing, dalam
hal ini VOC dan kemudian pemerintah kolonial Belanda.
Perkembangan Wilayah dan Penyusutan Tanah
Kesultanan
Setelah
perjanjian Gianti, tanah Kesultanan Yogyakarta mengalami beberapa kali
penyusutan. Salah satu peristiwa penting yang mempengaruhi luas wilayah
Kesultanan adalah perjanjian yang dilakukan pada tahun 1813 antara Pangeran
Notokusumo dan wakil dari Inggris, Thomas Stamford Raffles. Dalam kesepakatan
tersebut, Sultan Hamengkubuwono III harus menyerahkan tanah seluas 4.000 cacah
kepada Kadipaten Pakualaman yang baru saja dibentuk. Ini merupakan awal dari
penyusutan wilayah Kesultanan Yogyakarta.
Selain
itu, perjanjian Klaten pada tahun 1830 juga mengakibatkan penyusutan wilayah
Kesultanan. Perjanjian ini ditujukan untuk mengakhiri perlawanan Pangeran
Diponegoro terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sebagai konsekuensi,
Sultan yang berkuasa saat itu harus menyerahkan tanah di wilayah Monconegoro
kepada Belanda. Penyusutan wilayah ini berlanjut hingga hanya mencakup wilayah
yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Bantul,
Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta, dengan total luas
sekitar 38.580 hektar.
Hak Milik Tanah: Sultan Ground dan Pemberdayaan
Wilayah
Dengan
penyerahan sebagian tanah kepada pemerintah kolonial, wilayah yang tersisa di
bawah kekuasaan Kesultanan dikenal sebagai Sultan Ground. Tanah ini memiliki
status hak milik yang diatur berdasarkan hukum adat, dan Sultan memiliki
kewenangan penuh untuk memanfaatkannya. Sultan Ground bukan hanya digunakan
untuk kepentingan pribadi Sultan tetapi juga untuk mendukung kehidupan sosial
dan ekonomi masyarakat di Yogyakarta. Misalnya, tanah ini digunakan untuk
mendirikan keraton, masjid, pasar, serta berbagai fasilitas umum lainnya yang
mendukung kegiatan masyarakat.
Tanah
Sultan Ground juga digunakan untuk keprabon, yaitu wilayah yang secara khusus
digunakan untuk mendukung fungsi kerajaan, seperti kediaman keluarga kerajaan,
fasilitas militer, dan pusat pemerintahan. Sementara itu, bagian lain dari
Sultan Ground dikenal sebagai tanah non-keprabon atau tanah titisara, yang
dapat dikelola untuk kepentingan publik dan dipindahtangankan kepada pihak lain
jika diperlukan.
Keistimewaan Yogyakarta: Diakui dalam Konstitusi
Indonesia
Status
keistimewaan Yogyakarta diakui secara resmi oleh pemerintah Indonesia dan
diatur dalam Undang-Undang Keistimewaan DIY yang disahkan pada tahun 2012.
Keistimewaan ini mencakup aspek pemerintahan, kebudayaan, pertanahan, dan tata
ruang. Di Yogyakarta, Sultan bukan hanya menjadi simbol budaya tetapi juga
memiliki peran penting dalam pemerintahan, yaitu sebagai Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta. Penunjukan Sultan sebagai gubernur bersifat otomatis, berbeda
dengan provinsi lain di Indonesia yang memerlukan pemilihan umum.
Status
keistimewaan ini mencerminkan penghargaan terhadap sejarah panjang Yogyakarta
sebagai pusat kebudayaan dan kekuasaan di Jawa. Hal ini juga memungkinkan
Yogyakarta untuk mempertahankan kebijakan yang berbeda dari daerah lain,
seperti dalam hal pengelolaan tanah dan pelestarian budaya.
Tantangan Modernisasi dan Pelestarian Budaya
Di era
modern, Yogyakarta menghadapi tantangan dalam menjaga keseimbangan antara
perkembangan ekonomi dan pelestarian kebudayaan. Di satu sisi, kota ini
berkembang menjadi pusat pendidikan dan pariwisata yang menarik banyak
pendatang. Namun, di sisi lain, modernisasi membawa ancaman bagi
keberlangsungan tradisi dan struktur sosial yang sudah ada sejak lama.
Penggunaan tanah Sultan Ground, misalnya, sering menjadi isu kontroversial,
terutama ketika digunakan untuk proyek-proyek komersial.
Namun,
keistimewaan Yogyakarta memberi kesempatan untuk menjaga nilai-nilai budaya dan
adat yang telah diwariskan turun-temurun. Pemerintah daerah berperan dalam
menjaga warisan budaya ini, termasuk melestarikan seni tradisional, arsitektur
keraton, dan upacara adat.
Keistimewaan yang Menjadi Identitas
Keistimewaan
Yogyakarta bukan sekadar status administratif, tetapi mencerminkan kekayaan
sejarah, budaya, dan politik yang menjadi identitas DIY. Dari perjanjian Gianti
hingga era modern, Yogyakarta terus mempertahankan posisinya sebagai simbol
keberagaman dan kekuatan budaya di Indonesia. Meski menghadapi berbagai
tantangan, keistimewaan ini tetap relevan dalam menjaga warisan dan nilai-nilai
yang telah dibangun selama berabad-abad.
Dengan
memahami sejarah panjang Yogyakarta, kita tidak hanya menghargai keindahan dan
pesonanya tetapi juga dapat melihat peran pentingnya dalam perjalanan bangsa
Indonesia. Sebagai pusat budaya dan kekuasaan, Yogyakarta memiliki keistimewaan
yang tidak dimiliki oleh daerah lain, menjadikannya sebuah entitas yang unik
dan layak untuk dihormati.
Penulis
Sumarta
Sumber