Mengupas Pengaruh Akun dan Moderasi di TikTok: Antara Popularitas Instan dan Tantangan Integritas Konten

Antara Popularitas Instan dan Tantangan Integritas Konten



TikTok telah tumbuh menjadi salah satu platform media sosial terbesar di dunia dalam waktu yang relatif singkat. Dengan jutaan pengguna aktif setiap harinya, TikTok menawarkan peluang yang tak tertandingi bagi siapa saja untuk menjadi viral, bahkan tanpa memiliki pengikut yang banyak. Fenomena ini memunculkan kekuatan baru dalam dunia media sosial, di mana akun baru sekalipun bisa mencapai popularitas yang luar biasa. Dalam hal ini, TikTok mengandalkan mekanisme moderasi konten dan akun yang memungkinkan video untuk mencapai jutaan tampilan, tanpa harus memperhitungkan jumlah pengikut. Namun, ada tantangan besar di balik kesuksesan TikTok, yaitu bagaimana memastikan bahwa konten yang disajikan, serta akun yang menyebarkannya, sesuai dengan standar etika dan tidak disalahgunakan.

Fenomena Viral di TikTok: Popularitas Tanpa Batas

Salah satu kekuatan terbesar TikTok adalah kemampuannya untuk membuat konten dari akun baru menjadi viral dalam waktu singkat. TikTok berbeda dengan platform sosial media lainnya, seperti Instagram atau YouTube, yang sering kali menuntut pengguna untuk membangun audiens terlebih dahulu sebelum video mereka dapat menarik banyak perhatian. Di TikTok, algoritma "For You Page" (FYP) yang canggih memungkinkan video untuk muncul di halaman utama banyak pengguna, bahkan jika akun tersebut baru dibuat dan tidak memiliki pengikut.

Menurut peneliti media sosial, TikTok menggunakan algoritma yang sangat unik dibandingkan dengan platform lain. Sistem rekomendasi mereka sangat bergantung pada perilaku pengguna—apa yang mereka tonton, berapa lama mereka menonton, serta bagaimana interaksi mereka dengan video tersebut. Penelitian dari Zeng et al. (2021) menunjukkan bahwa algoritma ini mengutamakan keterlibatan pengguna daripada reputasi akun atau jumlah pengikut. Ini menyebabkan akun-akun baru dapat meraih perhatian yang besar tanpa harus memiliki basis pengikut yang solid.

Sistem ini memberikan peluang besar bagi siapapun untuk mendapatkan eksposur yang luar biasa. Namun, di sisi lain, hal ini juga menimbulkan dilema etis yang cukup serius. Dengan pintu terbuka lebar bagi semua akun, baik akun personal maupun akun buzzer politik, risiko penyalahgunaan platform menjadi lebih besar. Sebagai contoh, saat pemilu di beberapa negara, TikTok kerap digunakan sebagai alat propaganda politik. Kampanye politik menggunakan buzzer atau akun-akun kosong untuk memengaruhi opini publik, yang seringkali berujung pada polarisasi masyarakat (Jiang, 2020).

Moderasi Konten dan Akun: Pentingnya Etika dalam Platform

Meskipun TikTok mengklaim memiliki sistem moderasi konten yang ketat, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tantangan utama yang dihadapi adalah moderasi akun. Tidak hanya konten yang harus diawasi dengan ketat, namun juga akun yang menyebarkannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Roberts (2020), TikTok masih tertinggal dalam hal moderasi akun, terutama ketika menyangkut akun-akun yang digunakan untuk kepentingan buzzer politik atau penyebaran informasi yang tidak akurat.

Sistem moderasi TikTok memang berusaha keras untuk memantau konten, namun masih ada banyak celah dalam moderasi akun. Akun-akun baru yang sengaja dibuat untuk tujuan tertentu, seperti kampanye politik atau penyebaran hoaks, seringkali lolos dari pengawasan. Tidak adanya verifikasi ketat terhadap akun baru memungkinkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menyalahgunakan platform ini. Dalam banyak kasus, akun-akun palsu atau buzzer dapat dengan mudah menciptakan narasi palsu yang didukung oleh komentar-komentar palsu atau likes dari akun-akun lain yang juga tidak valid.

Fenomena ini sangat terlihat pada saat pemilihan umum di beberapa negara, di mana kandidat-kandidat politik menggunakan TikTok sebagai salah satu alat kampanye utama. Mereka menggunakan buzzer dan akun-akun palsu untuk meningkatkan popularitas dan menyebarkan pesan politik mereka dengan cara yang tidak selalu etis (Jiang, 2020). TikTok, sebagai platform, seharusnya memiliki tanggung jawab lebih besar untuk memastikan bahwa akun-akun yang beroperasi di platformnya terverifikasi dan dapat dipertanggungjawabkan.

Algoritma TikTok dan Penyebaran Informasi yang Salah

Salah satu masalah yang paling mencolok dalam mekanisme TikTok adalah bagaimana algoritmanya memprioritaskan konten yang viral, tanpa terlalu memedulikan kualitas atau akurasi dari informasi tersebut. Fenomena ini sering kali mengarah pada penyebaran informasi yang salah (misinformation) atau konten yang tidak mendidik. Konten yang kontroversial atau provokatif sering kali lebih cepat viral dibandingkan konten yang berisi informasi edukatif. Seperti yang diungkapkan oleh Allcott dan Gentzkow (2017), algoritma media sosial cenderung memperkuat konten sensasional karena keterlibatan pengguna yang tinggi, yang pada akhirnya mengarah pada penyebaran informasi yang tidak akurat.

Pola ini dapat diamati di TikTok, di mana konten-konten drama, kontroversial, atau bahkan ekstrem sering kali mendapat lebih banyak perhatian dibandingkan konten edukatif. Hal ini menciptakan siklus di mana pengguna mengonsumsi lebih banyak konten yang sensasional, sementara konten yang lebih bermanfaat dan informatif tenggelam di bawah arus konten viral yang tidak berkualitas. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al. (2022), algoritma TikTok sering kali gagal dalam memprioritaskan konten yang memberikan nilai edukatif atau bermanfaat bagi pengguna. Sebaliknya, konten-konten yang memicu emosi, baik itu kemarahan, kegembiraan, atau kecemasan, lebih sering muncul di FYP pengguna.

Buzzer, Akun Kosong, dan Pengaruhnya pada Kampanye Politik

Salah satu contoh nyata dari masalah ini adalah penggunaan buzzer atau akun kosong untuk memanipulasi opini publik di TikTok. Saat ini, banyak politisi dan pihak-pihak berkepentingan menggunakan akun-akun palsu untuk mendukung narasi tertentu, baik dalam kampanye politik maupun untuk menggerakkan opini masyarakat terhadap isu-isu tertentu. Seperti yang dikemukakan oleh Freedman (2018), penggunaan akun-akun palsu dan buzzer dalam kampanye politik telah menjadi praktik yang semakin umum di era digital, terutama di platform seperti TikTok.

Pada pemilihan umum terakhir di beberapa negara, TikTok menjadi salah satu medan utama untuk pertempuran politik. Kandidat politik memanfaatkan platform ini untuk menyebarkan pesan mereka melalui video pendek yang kreatif, namun di balik layar, buzzer politik bekerja dengan akun-akun kosong untuk memperkuat narasi tersebut. Akun-akun palsu ini, yang sering kali tidak memiliki identitas yang jelas dan tidak diverifikasi, dapat meninggalkan komentar yang disukai banyak orang, menciptakan ilusi bahwa pesan yang disampaikan dalam konten tersebut didukung oleh mayoritas publik.

Freedman (2018) juga menunjukkan bahwa algoritma TikTok sering kali gagal dalam membedakan antara akun nyata dan akun palsu, sehingga buzzer dapat dengan mudah mengambil alih ruang publik di platform ini. Akun-akun palsu ini digunakan untuk memberikan kesan bahwa opini yang mereka dukung adalah opini mayoritas, padahal kenyataannya, ini adalah hasil dari manipulasi yang sistematis.

Menjaga Integritas: Tanggung Jawab Platform dan Pengguna

Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi TikTok untuk mengambil langkah yang lebih tegas dalam memoderasi akun dan memastikan bahwa platformnya tidak disalahgunakan oleh buzzer atau akun-akun palsu. Menurut Roberts (2020), TikTok harus lebih serius dalam mengimplementasikan sistem verifikasi akun yang ketat, memastikan bahwa setiap akun yang aktif di platform ini adalah akun yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, transparansi mengenai proses moderasi konten dan akun juga harus ditingkatkan, sehingga pengguna dapat memahami bagaimana algoritma bekerja dan bagaimana platform ini memastikan bahwa konten yang disebarkan adalah konten yang valid dan informatif.

Pengguna juga memiliki peran penting dalam menjaga integritas platform. Sebagai konsumen konten, pengguna harus lebih kritis dalam menyaring informasi yang mereka terima di TikTok. Menurut Allcott dan Gentzkow (2017), pendidikan literasi digital harus ditingkatkan agar pengguna dapat lebih memahami bagaimana informasi tersebar di media sosial, termasuk bagaimana algoritma bekerja dan bagaimana informasi yang salah dapat menyebar dengan cepat.

Kesimpulan

TikTok telah membawa revolusi dalam cara kita berinteraksi dengan media sosial. Dengan menawarkan peluang viral bagi semua orang, platform ini telah menciptakan lingkungan di mana siapa pun, bahkan tanpa pengikut, dapat menjadi terkenal dalam waktu singkat. Namun, di balik kesuksesan ini, ada tantangan besar terkait moderasi konten dan akun. TikTok perlu mengambil langkah lebih lanjut untuk memastikan bahwa platformnya tidak disalahgunakan oleh buzzer politik atau akun-akun palsu yang menyebarkan informasi yang tidak valid. Di sisi lain, pengguna juga harus lebih kritis dan bertanggung jawab dalam menyebarkan serta mengonsumsi konten di platform ini. Hanya dengan kerja sama antara platform dan pengguna, kita dapat menciptakan lingkungan media sosial yang lebih sehat dan bermanfaat bagi semua.

Penulis

Sumarta

Referensi:

Allcott, H., & Gentzkow, M. (2017). Social media and fake news in the 2016 election. Journal of Economic Perspectives, 31(2), 211-236.

Freedman, D. (2018). Fake news and the media: Jamming the machinery of democracy. European Journal of Communication, 33(2), 137-153.

Jiang, M. (2020). Campaigning on TikTok: How political candidates use social media for election campaigns. Journal of Political Communication, 37(4), 503-520.

Roberts, S. (2020). Content moderation and platform governance: TikTok and the challenges of moderating global content. Digital Media & Society, 22(1), 56-72.

Zeng, R., Li, J., & Zhang, Y. (2021). The evolution of TikTok: A case study of content creation and recommendation algorithms. Social Computing Review, 3(3), 203-218.

Zhang, Y., Chen, H., & Li, X. (2022). Understanding the viral spread of misinformation on TikTok: An empirical study. Journal of Social Media Studies, 15(1), 84-102.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel