Tantangan Tata Kelola TNI: Mengurai Masalah Penumpukan Perwira Tinggi dalam Konteks Reformasi Militer
Tantangan Tata Kelola Organisasi dan Reformasi Militer
Masalah
penumpukan perwira tinggi dalam organisasi militer Indonesia, khususnya TNI,
telah menjadi perhatian serius selama beberapa dekade. Fenomena ini bukan hal
baru, namun terus terjadi dan berkembang dengan dinamika yang berbeda seiring
waktu. Artikel ini mengurai tantangan tata kelola organisasi TNI, kontroversi
seputar kontrol sipil atas militer, serta upaya untuk mengatasi "bom
waktu" berupa penumpukan perwira nonjob yang terus menghantui institusi
ini.
Latar Belakang Penumpukan Perwira TNI
Sejarah
penumpukan perwira tinggi di tubuh TNI dapat ditelusuri hingga ke era Orde
Baru, khususnya pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Saat itu, penambahan
jumlah perwira terjadi akibat kebijakan rekrutmen besar-besaran pada angkatan
1965, yang disiapkan untuk mendukung operasi Dwikora dan Trikora. Setelah kedua
operasi tersebut selesai, banyak lulusan yang "menganggur" namun
dapat disalurkan ke jabatan-jabatan sipil, termasuk di kementerian dan
pemerintahan daerah, serta beberapa posisi di DPR atau DPRD.
Situasi
berbeda muncul setelah reformasi 1998. Seiring dengan pembubaran doktrin
Dwifungsi ABRI dan penghapusan peran TNI di jabatan-jabatan sipil, jalur karir
perwira TNI menjadi lebih terbatas. Penumpukan pun mulai terjadi, terutama
ketika lulusan dari angkatan-angkatan besar seperti tahun 2000 (yang terdiri
dari gelombang A dan B) mulai memasuki masa karir perwira menengah dan tinggi.
Tanpa adanya posisi baru yang cukup untuk menampung mereka, banyak perwira
akhirnya berada dalam posisi nonjob atau penugasan yang tidak relevan dengan
latar belakang militer mereka.
Upaya Mengatasi Penumpukan: Validasi Organisasi
dan Restrukturisasi
Pada
masa pemerintahan Presiden Jokowi, khususnya ketika Jenderal Andika Perkasa
menjabat sebagai Panglima TNI, langkah-langkah serius mulai diambil untuk
mengatasi masalah penumpukan ini. Salah satu solusi yang ditempuh adalah
validasi organisasi, yaitu dengan memperluas struktur organisasi TNI dan
menambah jabatan baru. Beberapa langkah yang dilakukan antara lain adalah
pembentukan komando gabungan baru, peningkatan status beberapa satuan dari
bintang dua menjadi bintang tiga, serta penambahan Kodam dan jabatan-jabatan
strategis lainnya.
Langkah
validasi organisasi ini terbukti cukup efektif dalam menyerap perwira tinggi
yang semula tidak memiliki penugasan. Upaya ini memberikan ruang bagi
perwira-perwira yang sebelumnya terhambat untuk mendapatkan jabatan sesuai
pangkat dan pengalaman mereka. Meski begitu, langkah ini tetap memiliki
keterbatasan dan tidak sepenuhnya menyelesaikan akar masalah yang lebih dalam,
yakni piramida karir yang tidak seimbang akibat rekrutmen besar-besaran.
Pilihan Lain untuk Mengatasi Penumpukan
Selain
validasi organisasi, terdapat beberapa opsi lain yang dapat dipertimbangkan
untuk mengatasi masalah penumpukan perwira ini. Opsi pertama adalah menawarkan
pensiun dini kepada perwira-perwira yang berada dalam posisi nonjob atau tidak
lagi memiliki prospek karir yang jelas. Langkah ini dapat membantu mengurangi
beban organisasi dan membuka ruang bagi perwira yang lebih muda untuk naik ke
posisi yang lebih tinggi.
Opsi
kedua adalah menghentikan sementara rekrutmen perwira baru untuk beberapa
tahun, sehingga piramida karir dapat dinormalisasi. Namun, opsi ini juga memiliki
risiko, terutama terkait dengan kebutuhan regenerasi dan mempertahankan
kualitas angkatan bersenjata.
Kontroversi Revisi UU TNI dan Kembali ke
Jabatan Sipil
Baru-baru
ini, muncul usulan untuk merevisi Undang-Undang TNI, khususnya Pasal 47, yang
memungkinkan perwira TNI kembali menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian
dan lembaga pemerintah. Usulan ini memicu kontroversi, karena dianggap sebagai
langkah mundur yang mengancam prinsip kontrol sipil atas militer yang telah
dibangun sejak reformasi.
Banyak
pihak yang mengkhawatirkan bahwa revisi ini akan membuka kembali pintu bagi TNI
untuk terlibat dalam politik praktis dan pemerintahan, yang dapat mengikis
netralitas militer dan menghidupkan kembali model Dwifungsi ABRI. Padahal,
menurut beberapa pengamat, masalah penumpukan perwira tinggi di tubuh TNI
sebenarnya telah relatif terkendali setelah validasi organisasi dilakukan. Oleh
karena itu, tidak jelas mengapa usulan ini muncul di saat masalah tersebut
sudah mulai teratasi.
Analisis Kebutuhan Militer dan Pengaruh Politik
Selain
masalah struktur organisasi dan jalur karir, faktor lain yang memengaruhi
dinamika militer Indonesia adalah kebutuhan pertahanan yang terus berkembang
dan perubahan geopolitik di kawasan. Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan
yang luas seharusnya menekankan pentingnya kekuatan maritim dan pertahanan
udara. Namun, kenyataannya, anggaran dan pengadaan alutsista masih banyak
berfokus pada peralatan tempur darat.
Situasi
ini berkaitan erat dengan alokasi anggaran pertahanan yang belum ideal.
Meskipun beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan anggaran pertahanan,
seperti usulan Jenderal Prabowo Subianto untuk menghitung anggaran jangka
panjang selama 25 tahun ke depan, proporsi anggaran terhadap PDB masih jauh
dari angka ideal yang direkomendasikan oleh standar internasional, seperti
NATO.
Pengaruh Angkatan 2000 dan Tantangan Regenerasi
Angkatan
2000, yang terdiri dari gelombang A dan B, menjadi salah satu faktor utama yang
menyebabkan penumpukan perwira di tubuh TNI. Dengan jumlah yang besar, angkatan
ini mulai memasuki usia perwira tinggi, yang membuat persaingan untuk
mendapatkan posisi strategis semakin ketat. Situasi ini diperparah dengan
minimnya konflik militer skala besar yang membutuhkan kehadiran militer secara intensif
di berbagai wilayah.
Tantangan
regenerasi juga muncul, di mana beberapa perwira muda merasa tertahan untuk
naik ke posisi yang lebih tinggi karena banyaknya perwira senior yang masih
berada dalam jabatan. Dengan demikian, ada kebutuhan mendesak untuk menciptakan
mekanisme promosi dan rotasi yang lebih fleksibel, termasuk memperbanyak posisi
di luar struktur utama atau membuka kesempatan lebih luas bagi perwira untuk
menjalani pendidikan dan pelatihan di luar negeri.
Pengaruh Tata Kelola Organisasi dan Kontrol
Sipil
Reformasi
tata kelola organisasi TNI harus disertai dengan penerapan prinsip kontrol
sipil atas militer secara konsisten. Peran militer dalam pemerintahan sipil
harus tetap diawasi dan dibatasi untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi
tetap terjaga. Di negara-negara maju, seperti Swedia, Menteri Pertahanan dapat
berasal dari kalangan sipil tanpa latar belakang militer, yang menunjukkan
bahwa kontrol sipil atas militer dapat berjalan dengan baik melalui tata kelola
yang efektif.
Di Indonesia,
pendekatan semacam ini masih menghadapi tantangan karena adanya budaya dan
persepsi bahwa kepemimpinan di Kementerian Pertahanan harus dipegang oleh figur
militer. Sementara itu, penguatan peran sipil dalam pengambilan kebijakan
pertahanan, seperti yang pernah diusulkan dengan nominasi Menteri Pertahanan
dari kalangan ekonom, dapat menjadi langkah positif dalam memajukan sektor
pertahanan.
Kesimpulan: Masa Depan Reformasi TNI
Masalah
penumpukan perwira tinggi di tubuh TNI bukanlah hal yang dapat diselesaikan
dalam waktu singkat. Dibutuhkan pendekatan komprehensif yang melibatkan
reformasi struktural, perbaikan tata kelola, serta penguatan prinsip kontrol
sipil atas militer. Dengan anggaran pertahanan yang lebih realistis dan
prioritas yang tepat, TNI dapat menjalankan peran utamanya dalam menjaga
kedaulatan negara tanpa terjebak dalam dinamika politik atau masalah internal
organisasi yang berkepanjangan.
Pada
akhirnya, pemimpin TNI dan Kementerian Pertahanan yang akan datang perlu lebih
sering berinteraksi dengan para pakar, akademisi, serta para praktisi untuk
mendapatkan masukan yang berimbang dalam merancang kebijakan pertahanan yang
lebih adaptif dan efektif. Mengatasi "bom waktu" angkatan 2000 adalah
salah satu langkah awal yang penting, namun bukan satu-satunya tantangan yang
harus dihadapi dalam memperkuat pertahanan Indonesia di masa depan.
Penulis
Sumarta
Sumber
Dialog Podcast
Akbar Faizal Uncensored dengan Andi Wijayanto (Mantan
Gubernur Lemhanas Era Presiden Joko Widodo) tanggal 12 Nopember 2024