Mengurai Keistimewaan Yogyakarta: Konversi Tanah Kesultanan dan Tantangan Pengelolaan Pertanahan

Konversi Tanah Kesultanan dan Tantangan Pengelolaan Pertanahan



Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki status keistimewaan khusus. Status ini tidak hanya berkaitan dengan sejarah panjang dan warisan budaya yang kaya, tetapi juga dengan pengaturan hukum yang unik dalam pengelolaan tanah dan tata ruang. Salah satu aspek penting dari keistimewaan DIY adalah pengelolaan tanah Kesultanan dan Kadipaten, yang diatur melalui berbagai peraturan perundang-undangan. Artikel ini akan membahas proses konversi tanah Kesultanan, regulasi yang berlaku, serta tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan tanah tersebut.

Latar Belakang Keistimewaan Yogyakarta



Keistimewaan DIY telah diatur secara resmi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Undang-undang ini menegaskan lima pilar utama keistimewaan, yaitu tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur, kelembagaan pemerintahan, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang. Dalam konteks pertanahan, keistimewaan ini berarti adanya pengaturan khusus mengenai tanah Kesultanan dan Kadipaten yang tidak berlaku di daerah lain di Indonesia.

Sejak lama, tanah di DIY terbagi menjadi beberapa kategori, termasuk tanah milik individu (hak milik warga masyarakat) dan tanah adat yang dikelola oleh Kesultanan dan Kadipaten. Tanah Kesultanan dan Kadipaten sering disebut sebagai "tanah Sultan Ground" dan "tanah Pakualaman Ground," yang memiliki status hukum dan pengelolaan yang berbeda dari tanah milik pribadi atau negara.

Tantangan Awal: Pengaturan Hukum Konversi Tanah



Pada awalnya, pengaturan mengenai konversi tanah Kesultanan di DIY menghadapi beberapa tantangan hukum. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 69 Tahun 1984, yang diterbitkan untuk mengatur konversi tanah menjadi hak milik, hanya mencakup tanah yang sudah berstatus hak milik warga masyarakat. Tanah adat milik Kesultanan dan Kadipaten belum diakomodasi dalam peraturan tersebut karena tanah-tanah ini dianggap sebagai tanah lembaga, yang status hukumnya berbeda.

Pasal 21 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa hanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang dapat memiliki hak milik atas tanah. Namun, ada pengecualian bagi badan hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah setelah ditetapkan sebagai badan hukum khusus oleh pemerintah. Ini menjadi dasar hukum bagi Kesultanan dan Kadipaten untuk memperjuangkan status tanah mereka sebagai subjek hak milik.

Terobosan Hukum: Pengesahan Undang-Undang Keistimewaan DIY

Setelah perjuangan panjang, solusi hukum akhirnya hadir melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Pasal 32 undang-undang tersebut menetapkan bahwa Kesultanan dan Kadipaten adalah badan hukum yang berhak memiliki hak milik atas tanah. Dengan pengakuan ini, tanah Kesultanan dan Kadipaten dapat dikonversi menjadi hak milik, serta didaftarkan dan disertifikatkan oleh lembaga pertanahan.

Undang-Undang Keistimewaan DIY juga menjelaskan bahwa tanah Kesultanan dan Kadipaten mencakup tanah "keprabon" dan "bukan keprabon" yang tersebar di seluruh wilayah DIY. Ini berarti tanah tersebut mencakup tanah yang digunakan untuk kepentingan istana maupun tanah-tanah lain yang tidak terkait langsung dengan bangunan istana tetapi masih berada di bawah yurisdiksi Kesultanan dan Kadipaten.

Proses Konversi Tanah Kesultanan

Dengan diakuinya Kesultanan dan Kadipaten sebagai subjek hak milik atas tanah, langkah selanjutnya adalah proses konversi dan pendaftaran tanah tersebut. Pasal 33 Undang-Undang Keistimewaan DIY menyatakan bahwa tanah Kesultanan dan Kadipaten harus didaftarkan pada lembaga pertanahan, sehingga statusnya dapat diakui setara dengan tanah-tanah lain di luar DIY.

Namun, proses konversi ini tidak sepenuhnya mudah dan memerlukan penegasan asal-usul tanah. Meski demikian, status akhirnya tetap sebagai hak milik Kesultanan atau Kadipaten, yang dapat diterbitkan sertifikatnya. Tanah yang dimanfaatkan oleh masyarakat tetap dapat diterbitkan sertifikat hak milik atas nama warga, namun tetap di bawah tanah induk Kesultanan atau Kadipaten.

Tantangan dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah

Meskipun aturan hukum mengenai konversi dan pemanfaatan tanah Kesultanan sudah jelas, tantangan praktis tetap muncul. Salah satu isu utama adalah pemanfaatan tanah yang tidak selalu sesuai dengan peruntukannya. Misalnya, ada kasus di mana tanah yang seharusnya dilindungi sebagai tanah warisan budaya digunakan untuk kegiatan komersial tanpa izin yang memadai.

Masalah lain yang kerap muncul adalah ketidaktahuan masyarakat mengenai status hukum tanah yang mereka tempati atau gunakan. Hal ini dapat memicu sengketa tanah, terutama ketika proses konversi atau pendaftaran belum sepenuhnya selesai atau ketika ada interpretasi yang berbeda mengenai peraturan yang berlaku.

Pengaturan Lebih Lanjut melalui Peraturan Daerah Istimewa dan Peraturan Gubernur

Sebagai langkah lanjutan untuk mengatasi tantangan ini, Pemerintah DIY mengeluarkan beberapa peraturan daerah dan peraturan gubernur. Peraturan Daerah Istimewa Nomor 1 Tahun 2017 mengatur pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kesultanan dan Kadipaten, yang mencakup pedoman untuk pengelolaan yang adil dan seimbang. Peraturan ini juga menekankan pentingnya menghormati nilai-nilai keistimewaan dan kearifan lokal dalam pengelolaan tanah.

Selain itu, tata ruang diatur melalui Peraturan Daerah Istimewa Nomor 2 Tahun 2017, yang mengarahkan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah DIY. Pengaturan ini bertujuan untuk memastikan bahwa pembangunan dan pemanfaatan tanah tidak mengganggu keseimbangan sosial dan budaya yang telah terjaga selama ini.

Peraturan Gubernur DIY juga memberikan pedoman rinci tentang prosedur pemanfaatan tanah Kesultanan dan Kadipaten, seperti yang tercantum dalam Peraturan Gubernur Nomor 49 Tahun 2018. Peraturan ini memperkuat prosedur permohonan pemanfaatan tanah dan memberikan rekomendasi mengenai kesesuaian pemanfaatan tanah dengan rencana tata ruang.

Keselarasan antara Keistimewaan dan Kepentingan Masyarakat

Pemberlakuan Undang-Undang Keistimewaan DIY dan peraturan pelaksanaannya menunjukkan adanya keseimbangan antara menghormati status keistimewaan dan kepentingan masyarakat. Dengan demikian, pengelolaan tanah di DIY tidak hanya berlandaskan hukum, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai budaya yang telah menjadi bagian dari identitas DIY.

Hal ini terlihat dari pengaturan yang tidak hanya berfokus pada kepastian hukum, tetapi juga mencakup aspek kesejahteraan rakyat, keadilan, dan keterbukaan dalam pengelolaan tanah. Nilai-nilai ini penting untuk menjamin bahwa tanah yang menjadi bagian dari warisan budaya tetap dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, tanpa mengorbankan nilai historis dan tradisional.

Merawat Warisan, Membangun Masa Depan

Keistimewaan DIY adalah bagian integral dari kekayaan tradisi dan sejarah Indonesia. Mengelola tanah Kesultanan dan Kadipaten adalah tugas yang kompleks dan menantang, namun penting untuk memastikan bahwa warisan ini tetap lestari dan bermanfaat bagi generasi mendatang. Pengaturan hukum yang ada harus terus dikaji dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman, tanpa mengabaikan asal-usul dan nilai-nilai keistimewaan yang melekat.

Dengan demikian, keistimewaan Yogyakarta bukan hanya soal pengakuan hukum, tetapi juga tanggung jawab untuk menjaga, merawat, dan melanjutkan tradisi serta nilai-nilai luhur yang telah diwariskan selama berabad-abad. Memastikan keseimbangan antara pelestarian budaya dan pembangunan yang berkelanjutan adalah tantangan yang harus dihadapi bersama demi masa depan yang lebih baik bagi semua.

Artikel ini memberikan gambaran mendalam tentang konversi tanah Kesultanan di Yogyakarta, regulasi yang berlaku, serta tantangan dan langkah yang diambil untuk menjaga keseimbangan antara keistimewaan dan kepentingan masyarakat. Keistimewaan DIY tetap menjadi warisan yang harus dirawat dengan penuh tanggung jawab, seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan pembangunan.

Penulis

Sumarta

 

Sumber

@dispertarudiy (8 Okt 2024). Yogyakarta Tanah Istimewa.

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel