Mengurai Tiga Peradaban Paling Keren Abad Pertengahan (Tiongkok, Abbasiyah, dan Sriwijaya)
Tiongkok, Abbasiyah, dan Sriwijaya
Pada abad ke-8, dunia menyaksikan kebangkitan tiga peradaban besar yang
saling berinteraksi dan memengaruhi. Tiga peradaban ini adalah Tiongkok di
bawah Dinasti Tang, Kekhalifahan Abbasiyah di Timur Tengah, dan Sriwijaya di Asia
Tenggara. Ketiga peradaban ini tidak hanya memiliki keunggulan masing-masing
dalam hal ekonomi, politik, dan budaya, tetapi juga memainkan peran penting
dalam menciptakan jalur perdagangan dan pertukaran pengetahuan yang berdampak
global. Artikel ini akan menguraikan kehebatan tiga peradaban tersebut serta
menggali bagaimana mereka berpotensi menciptakan interaksi yang memperkaya
peradaban dunia.
Dinasti Tang: Pusat Peradaban Tiongkok
Dinasti Tang (618–907 M) dikenal sebagai salah satu masa kejayaan Tiongkok.
Pada masa ini, Tiongkok mencapai puncak perkembangan dalam berbagai bidang,
termasuk seni, sastra, teknologi, dan perdagangan. Ibu kota Chang'an (sekarang
Xi'an) menjadi salah satu kota terbesar dan paling kosmopolitan di dunia.
Sebagai pusat perdagangan Jalur Sutra, Chang'an menarik pedagang dari Persia,
India, dan Arab, serta berbagai bangsa lainnya. Jalur perdagangan ini
memungkinkan pertukaran budaya dan pengetahuan antara Timur dan Barat.
Selain itu, Dinasti Tang mengembangkan sistem birokrasi yang canggih dan
efisien, yang kemudian menjadi model bagi pemerintahan di wilayah Asia Timur.
Sistem ujian pegawai negeri yang diadopsi sejak Dinasti Sui juga disempurnakan,
memungkinkan kelas menengah untuk mendapatkan posisi pemerintahan berdasarkan
kecakapan, bukan semata-mata keturunan. Inovasi teknologi seperti pencetakan
blok kayu dan bubuk mesiu turut muncul pada periode ini, memperkuat posisi
Tiongkok sebagai pusat peradaban dunia.
Kekhalifahan Abbasiyah: Masa Keemasan Islam
Di belahan dunia lain, Kekhalifahan Abbasiyah (750–1258 M) sedang memasuki
masa keemasannya, dikenal sebagai "Golden Age of Islam." Pada masa
ini, kota Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan perdagangan.
Dibangun di sepanjang Sungai Tigris, Baghdad tidak hanya menjadi tempat
berkumpulnya pedagang, tetapi juga intelektual dari berbagai latar belakang
yang datang untuk berbagi dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Para ilmuwan Abbasiyah menerjemahkan dan mengembangkan karya-karya ilmiah
dari peradaban Yunani, Persia, dan India. Melalui penerjemahan naskah-naskah
Aristoteles, Euclid, dan Hippocrates, mereka membangun landasan ilmu
pengetahuan yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh terkenal seperti Al-Khawarizmi
(matematika), Ibnu Sina (kedokteran), dan Al-Farabi (filsafat). Pencapaian ini
tidak hanya memengaruhi dunia Islam, tetapi juga membawa dampak besar bagi
Eropa di kemudian hari.
Baghdad juga menjadi pusat pertukaran budaya dan keagamaan. Kekhalifahan
Abbasiyah mendukung pluralisme dan toleransi, sehingga berbagai aliran filsafat
dan teologi Islam dapat berkembang. Meskipun kemudian terjadi konflik ideologis
antara kelompok rasionalis dan tradisionalis, periode ini tetap diakui sebagai
masa kejayaan intelektual dunia Islam.
Sriwijaya: Pusat Maritim Asia Tenggara
Di Asia Tenggara, Sriwijaya muncul sebagai kekuatan maritim utama pada abad
ke-7 hingga ke-13 M. Berdasarkan catatan sejarah, kerajaan ini menguasai jalur
perdagangan maritim yang strategis, terutama di Selat Malaka, yang merupakan
titik persimpangan antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan. Sebagai sebuah
"maritime trading empire," Sriwijaya menjadi penghubung utama antara
peradaban-peradaban besar seperti Tiongkok dan dunia Arab-Persia.
Sriwijaya tidak hanya berfungsi sebagai pusat perdagangan, tetapi juga sebagai
pusat pendidikan agama Buddha. Para peziarah dan sarjana agama dari India dan
Tiongkok sering singgah di sini untuk mempelajari ajaran Buddha di berbagai
biara yang ada. Tokoh terkenal seperti I-tsing, seorang biksu Tiongkok,
mencatat pentingnya Sriwijaya dalam jaringan monastik internasional pada
zamannya.
Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya juga memanfaatkan posisinya yang
strategis untuk memfasilitasi perdagangan rempah-rempah, emas, dan hasil laut.
Keuntungan dari aktivitas perdagangan ini digunakan untuk memperkuat armada
laut mereka, yang memungkinkan Sriwijaya mempertahankan kontrol atas wilayah
perairan di sekitar Asia Tenggara.
Interaksi Tiga Peradaban Besar
Pada era tersebut, ketiga peradaban ini memainkan peran yang berbeda tetapi
saling melengkapi dalam jaringan perdagangan dan pertukaran budaya global.
Tiongkok, dengan kekuatan ekonominya, menyediakan berbagai produk seperti
sutra, keramik, dan teh yang sangat diminati di dunia. Abbasiyah, sebagai pusat
intelektual, menjadi tempat pengembangan ilmu pengetahuan dan penyebaran budaya
Yunani serta filsafat Aristotelian ke dunia Islam. Sementara itu, Sriwijaya
berfungsi sebagai perantara utama yang menghubungkan kedua peradaban besar ini
melalui jalur laut.
Namun, interaksi antara ketiga peradaban ini tidak terjadi secara linear.
Dalam praktiknya, pertemuan antar budaya dipengaruhi oleh banyak faktor,
termasuk kondisi geografis, politik, dan lingkungan. Misalnya, jalur
perdagangan maritim antara Tiongkok dan Timur Tengah sering kali dipengaruhi oleh
musim angin monsun. Pedagang dari Arab biasanya harus menunggu di
pelabuhan-pelabuhan seperti Malaka sebelum melanjutkan perjalanan ke Tiongkok
karena perubahan angin.
Transisi dan Tantangan
Meskipun ketiga peradaban ini berkembang pesat, mereka tidak terlepas dari
tantangan internal dan eksternal. Dinasti Tang, misalnya, mengalami
pemberontakan An Lushan pada abad ke-8 yang melemahkan kekuatan
pemerintahannya. Kekhalifahan Abbasiyah menghadapi perpecahan internal dan
tantangan dari dinasti-dinasti lokal yang ingin merdeka. Di Sriwijaya, serangan
dari kerajaan-kerajaan tetangga dan faktor perubahan politik di India dan
Tiongkok menyebabkan melemahnya kekuatan maritim mereka.
Penaklukan Mongol pada abad ke-13 menjadi titik balik bagi dunia Islam dan
Tiongkok. Meskipun invasi Mongol menghancurkan pusat-pusat kebudayaan seperti
Baghdad, di sisi lain mereka juga menyatukan Eurasia dan membuka jalan untuk
pertukaran pengetahuan dan teknologi yang lebih luas. Begitu pula dengan
Sriwijaya yang akhirnya merosot dan digantikan oleh kerajaan-kerajaan baru
seperti Majapahit dan Malaka yang mengadopsi model perdagangan maritim mereka.
Pembelajaran dari Tiga Peradaban Besar
Ketiga peradaban ini memberikan pelajaran penting bagi dunia modern tentang
pentingnya pertukaran pengetahuan dan keterbukaan terhadap budaya lain. Peran
Tiongkok, Abbasiyah, dan Sriwijaya sebagai pusat perdagangan dan pertukaran
intelektual menunjukkan bahwa kolaborasi antarperadaban dapat menghasilkan
kemajuan yang signifikan. Terlepas dari berbagai perbedaan ideologi dan
keyakinan, ketiga peradaban ini berhasil membangun jaringan yang memperkaya
ilmu pengetahuan, budaya, dan ekonomi global.
Interaksi antara peradaban-peradaban tersebut juga menegaskan pentingnya
menjaga keseimbangan antara kekuatan politik dan independensi intelektual.
Ketika negara-negara mulai campur tangan dalam masalah keagamaan atau filsafat,
seperti yang terjadi pada masa Inkuisisi Mihna di Kekhalifahan Abbasiyah,
biasanya terjadi konflik yang merugikan kemajuan ilmu pengetahuan.
Epilog: Masa Depan Kolaborasi Antarbudaya
Kisah tiga peradaban ini relevan dalam konteks dunia modern, di mana
tantangan global menuntut kerja sama antar negara dan peradaban. Saat ini,
tantangan seperti perubahan iklim, krisis kesehatan, dan kesenjangan ekonomi
membutuhkan pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dan
budaya. Belajar dari Tiongkok, Abbasiyah, dan Sriwijaya, kita dapat
mengembangkan model kolaborasi yang saling menghormati dan memperkaya.
Dengan memahami sejarah dan interaksi tiga peradaban besar ini, kita dapat
lebih menghargai pentingnya dialog lintas budaya serta menjaga warisan
intelektual yang telah ditinggalkan oleh para leluhur. Warisan tersebut tidak
hanya berupa pengetahuan dan teknologi, tetapi juga semangat keterbukaan dan
kemajuan yang menjadi kunci keberhasilan peradaban manusia.
Penulis
Sumarta
Sumber