Menjaga Keharmonisan Agama Abrahamik: Dari Masa Kekaisaran Hingga Era Negara Modern
Dari Masa Kekaisaran Hingga Era Negara Modern
Sejak masa awal penyebaran agama-agama Abrahamik—Islam, Kristen, dan
Yahudi—hubungan antar agama ini mengalami dinamika yang penuh warna. Di masa
kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah, hingga Kekaisaran Ottoman, tingkat harmoni
antara komunitas-komunitas ini relatif tinggi, meskipun ada beberapa
pengecualian seperti Perang Salib dan periode militerisasi oleh Kekaisaran
Ottoman yang sempat menggoyahkan keharmonisan tersebut. Namun, situasi ini
berubah drastis pada abad ke-20 dan ke-21, di mana ketegangan antar agama
semakin sering terlihat. Apa yang menyebabkan pergeseran ini? Bagaimana negara
modern berperan dalam perubahan dinamika ini? Mari kita telaah lebih lanjut.
Keharmonisan Antar Agama di Masa Kekhalifahan
Di masa Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, hubungan antar komunitas agama
Abrahamik memiliki mekanisme sendiri dalam menjaga kedamaian dan harmoni.
Negara tidak berperan langsung dalam legislatif hukum yang mengatur agama-agama
ini. Sebaliknya, hukum agama dibiarkan menjadi urusan komunitas masing-masing,
seperti halnya hukum Syariah untuk umat Muslim atau hukum Rabbinik untuk
komunitas Yahudi. Kehidupan bersama lebih diatur oleh aturan sosial dan tradisi
yang disepakati di dalam masyarakat daripada intervensi negara.
Prinsip ini berlanjut di Kekaisaran Ottoman, di mana sistem millets
diterapkan. Sistem ini memungkinkan setiap agama memiliki pengadilan dan tata
aturan sendiri, yang berlaku untuk para penganutnya. Negara hanya berperan
dalam urusan-urusan penting seperti pertahanan dan perpajakan, tetapi cenderung
tidak mencampuri urusan internal komunitas agama. Orang Islam dikenakan zakat,
sementara umat Kristen dan Yahudi memiliki pajak agama sendiri. Dengan kebijakan
seperti ini, keharmonisan antar agama terjaga karena negara tidak berusaha
mengatur segala aspek kehidupan komunitas secara langsung.
Perubahan Pendekatan di Kekaisaran Ottoman dan Dampaknya
Namun, mulai muncul perubahan pendekatan di Kekaisaran Ottoman, terutama
ketika negara mulai mengintegrasikan hukum agama ke dalam hukum negara. Salah
satu contohnya adalah pengkodifikasian Syariah, di mana pengadilan agama secara
bertahap mengalami kontrol dan pengawasan dari negara. Ini berbeda dengan masa
sebelumnya, di mana otonomi komunitas agama dihormati tanpa campur tangan yang
berarti dari negara.
Keinginan Ottoman untuk menjadi negara yang lebih terpusat (centralized
state) mendorong mereka untuk mengontrol semua aspek kehidupan, termasuk
kehidupan keagamaan. Hal ini menciptakan ketegangan baru karena komunitas yang
tadinya merasa otonom mulai merasa diatur terlalu jauh oleh negara. Orang-orang
yang sebelumnya menerima proyek Ottoman mulai merasa teralienasi ketika negara
berusaha mencampuri kehidupan internal mereka.
Munculnya Negara Modern dan Transformasi Dinamika Kehidupan Beragama
Perubahan terbesar dalam hubungan antar agama Abrahamik terjadi dengan
munculnya negara modern di abad ke-20. Negara modern cenderung menstandarkan
hukum dan kebijakan, termasuk dalam hal keagamaan, sehingga tidak lagi
membiarkan agama mengatur dirinya sendiri secara independen. Dalam kerangka
hukum modern, terminologi baru seperti "minoritas agama" muncul, yang
menciptakan kategori-kategori baru dalam pengaturan masyarakat.
Di beberapa negara, komunitas yang tadinya hidup berdampingan secara
harmonis mulai diperlakukan berbeda oleh negara karena adanya standar hukum
yang seragam. Contohnya di Mesir, di mana umat Koptik, yang dulu hidup otonom
dengan aturan agama sendiri, mulai dihadapkan pada hukum dan peraturan negara
yang lebih seragam dan seragam. Hal ini memperbesar ketegangan karena minoritas
agama mulai merasa terkoersi oleh kebijakan yang tidak sepenuhnya mengakomodasi
keragaman praktik agama.
Politik dan Agama: Memanasnya Hubungan di Abad ke-20 dan ke-21
Dalam beberapa kasus, ketika agama mengambil alih kendali negara, atau
sebaliknya, negara menggunakan agama untuk kepentingan politik, ketegangan
antar agama meningkat. Negara sering kali dijadikan alat untuk memaksakan satu
interpretasi agama tertentu, sehingga memarjinalkan komunitas agama lain. Hal
ini sangat berbeda dengan masa lalu ketika kekhalifahan Islam atau Kekaisaran
Ottoman memberikan kebebasan yang lebih besar kepada komunitas-komunitas agama
untuk mengatur diri mereka sendiri.
Di era modern ini, agama sering dijadikan senjata politik, menciptakan
polarisasi dan bahkan konflik kekerasan. Ketika negara mengkooptasi agama atau
ketika kelompok agama menguasai negara, pihak yang tidak sejalan dengan
kebijakan negara tersebut cenderung dipersekusi atau didiskriminasi. Ini
menyebabkan munculnya kategori "minoritas agama" sebagai entitas yang
membutuhkan perlindungan khusus dari negara, yang pada gilirannya malah
memperdalam perbedaan.
Tantangan dan Harapan untuk Keharmonisan Antar Agama
Mengembalikan keharmonisan antar agama Abrahamik di abad ke-21 memerlukan
pendekatan yang berbeda. Harus diakui bahwa campur tangan negara dalam urusan
agama tidak selalu buruk, tetapi juga sering kali menjadi akar ketegangan dan
konflik. Oleh karena itu, mempromosikan keharmonisan antar agama di era modern
memerlukan pengakuan terhadap hak komunitas untuk mengatur diri mereka sendiri,
sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia.
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk memulihkan keharmonisan
ini:
1. Memulihkan Otonomi Komunitas Keagamaan: Negara
harus mengurangi campur tangan yang tidak perlu dalam urusan internal agama dan
mengakui otonomi komunitas dalam menjalankan tradisi dan praktik mereka. Negara
dapat memberikan kerangka hukum umum, tetapi tetap menghormati variasi
interpretasi dalam hukum agama.
2. Menghindari Politisasi Agama: Agama dan negara
sebaiknya tetap dipisahkan dalam hal kebijakan yang menyangkut identitas agama.
Ini akan mengurangi risiko agama menjadi alat untuk kepentingan politik, yang
seringkali menyebabkan ketegangan antar komunitas.
3. Meningkatkan Dialog Antaragama: Dialog yang
intensif dan terbuka antara pemimpin agama, cendekiawan, dan masyarakat sipil
dari berbagai agama sangat penting. Ini dapat membantu mengidentifikasi isu-isu
yang menjadi sumber ketegangan dan menemukan solusi yang lebih inklusif.
4. Pendidikan Toleransi dan Multikulturalisme:
Pendidikan yang menekankan nilai-nilai toleransi, multikulturalisme, dan
sejarah hidup berdampingan antara komunitas agama perlu digalakkan. Hal ini
penting untuk membentuk generasi muda yang lebih terbuka terhadap keberagaman
dan perbedaan.
Penutup
Kehidupan antar agama Abrahamik di masa lalu menunjukkan bahwa harmoni dan
kerukunan bukanlah sesuatu yang mustahil. Meskipun tantangan di era modern
berbeda dengan masa kekaisaran, prinsip dasar hidup berdampingan secara damai
masih relevan. Negara modern harus belajar dari sejarah, terutama dari
masa-masa ketika negara tidak mencampuri terlalu jauh urusan agama dan
membiarkan komunitas agama hidup secara otonom.
Mengembalikan keharmonisan antar agama di abad ke-21 memerlukan pendekatan
yang lebih inklusif dan menghormati keragaman tradisi agama. Dengan demikian,
kita dapat kembali pada semangat masa lalu, di mana agama-agama Abrahamik bisa
hidup bersama dalam kerukunan meskipun berbeda keyakinan.
Penulis
Sumarta
Sumber