Nasionalisme dan Konsepsi Negara Bangsa: Tantangan dan Realitas di Asia Tenggara
Tantangan dan Realitas di Asia Tenggara
Nasionalisme,
sebagai fenomena global, telah memainkan peran penting dalam pembentukan
negara-bangsa di berbagai belahan dunia, termasuk di Asia Tenggara. Konsep ini
lahir seiring dengan modernitas awal abad ke-20, ketika negara-negara mulai
terbentuk sebagai entitas politik yang berdaulat. Namun, pertanyaannya adalah,
apakah nasionalisme ini merupakan penghambat bagi integrasi regional yang lebih
luas di kawasan seperti Asia Tenggara? Seperti yang dibahas oleh berbagai
akademisi, nasionalisme tidak hanya memperkuat negara-bangsa tetapi juga
berpotensi membatasi perspektif yang lebih luas terhadap regionalisme dan
identitas kosmopolitan .
Dalam
diskusi mengenai nasionalisme, Dr. Faris H. menyoroti bagaimana nasionalisme di
Asia Tenggara telah berkembang sebagai alat politik yang kuat namun memiliki
keterbatasan dalam menciptakan integrasi kawasan yang lebih solid. Meskipun
nasionalisme awalnya memberikan kekuatan politik bagi negara-negara yang baru
merdeka, pada akhirnya ia menjadi sempit dan menghalangi pandangan yang lebih
kosmopolit .
Artikel
ini akan mengeksplorasi nasionalisme di Asia Tenggara, terutama bagaimana ia
memengaruhi hubungan antarnegara dan konsepsi negara-bangsa di wilayah ini.
Selain itu, kita akan membahas bagaimana nasionalisme di masa modern menjadi
hambatan dalam membangun integrasi regional yang lebih kuat, serta tantangan
yang dihadapi oleh negara-negara di kawasan ini dalam menavigasi kompleksitas
antara nasionalisme dan globalisasi.
Nasionalisme:
Antara Alat Politik dan Identitas Bangsa
Nasionalisme
adalah salah satu konsep politik paling mendasar yang lahir dari modernitas.
Pada abad ke-20, nasionalisme menjadi alat politik yang penting dalam
perjuangan untuk kemerdekaan di Asia Tenggara. Setiap negara di kawasan ini,
seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Filipina, menggunakan nasionalisme
sebagai platform untuk menuntut kemerdekaan dari kekuatan kolonial. Namun,
meskipun nasionalisme membawa kemerdekaan, ia juga membatasi pandangan
masyarakat terhadap identitas yang lebih luas, seperti regionalisme dan internasionalisme
.
Bung
Karno, salah satu pendiri bangsa Indonesia, menekankan bahwa nasionalisme
Indonesia harus dipahami dalam konteks internasionalisme. Menurutnya,
nasionalisme tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang eksklusif, melainkan
sebagai bagian dari perjuangan global untuk kebebasan dan keadilan. Namun,
seiring berjalannya waktu, nasionalisme di Indonesia, terutama selama rezim
Soeharto, berubah menjadi bentuk yang lebih inward-looking (terarah ke dalam),
di mana bangsa lebih fokus pada dirinya sendiri daripada melihat ke luar . Hal
ini juga tercermin di negara-negara lain di Asia Tenggara, di mana nasionalisme
menjadi lebih sempit dan terkadang parokial.
Dr. Faris
H. mengemukakan bahwa dalam beberapa hal, nasionalisme di Asia Tenggara pada
era modern menjadi semacam penjara mental bagi masyarakat. Identitas nasional
yang sempit menghalangi mereka untuk mengeksplorasi hubungan yang lebih luas
dengan negara-negara tetangga di kawasan. Hal ini tercermin dalam fakta bahwa
jarang sekali ada akademisi atau politisi dari satu negara Asia Tenggara yang
mendalami politik atau kebudayaan negara tetangga mereka .
Nasionalisme
dan Regionalisme: Apakah Keduanya Saling Bertentangan?
Dalam
konteks Asia Tenggara, regionalisme adalah wacana yang terus berkembang, terutama
dengan terbentuknya ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Namun,
pertanyaannya tetap, apakah nasionalisme yang kuat merupakan penghalang bagi
terciptanya regionalisme yang lebih solid?
ASEAN,
sebagai organisasi regional, telah berusaha menciptakan kerangka kerja sama
yang lebih erat di antara negara-negara anggotanya. Namun, nasionalisme yang
kuat di masing-masing negara sering kali menjadi penghalang bagi pencapaian
tujuan ini. Dr. Faris H. mencatat bahwa perbedaan yang ada di antara negara-negara
ASEAN, baik dalam hal budaya, politik, maupun ekonomi, membuat integrasi yang
lebih dalam menjadi tantangan .
Meskipun
nasionalisme dapat berfungsi sebagai alat yang memperkuat solidaritas internal,
ia juga membatasi kemampuan masyarakat untuk melihat diri mereka sebagai bagian
dari komunitas yang lebih besar, yaitu Asia Tenggara. Identitas nasional sering
kali dilihat sebagai sesuatu yang eksklusif, di mana warga negara suatu bangsa
merasa hanya terikat pada negara mereka sendiri dan bukan pada kawasan atau
dunia secara keseluruhan .
Di
sinilah letak masalahnya. Nasionalisme yang sempit menghalangi warga negara
untuk melihat keterkaitan yang lebih luas antara negara-negara di kawasan. Dr.
Faris H. mengungkapkan bahwa meskipun banyak siswa Asia Tenggara mengenal
geografi fiktif seperti peta Middle Earth dari "Lord of the Rings"
atau Westeros dari "Game of Thrones," mereka sering kali tidak bisa
menggambar peta kawasan mereka sendiri . Hal ini menunjukkan kurangnya
pemahaman tentang pentingnya regionalisme dan konektivitas antarnegara di Asia
Tenggara.
Peran
Globalisasi dan Teknologi dalam Menantang Nasionalisme
Globalisasi
dan teknologi juga memainkan peran penting dalam mengubah cara kita memahami
nasionalisme dan negara-bangsa. Dalam era modern, batas-batas negara semakin
kabur akibat arus informasi, modal, dan manusia yang melintasi batas-batas
tersebut. Media sosial dan internet telah mempercepat proses ini, sehingga
masyarakat menjadi lebih terhubung dengan dunia luar daripada sebelumnya .
Namun,
fenomena ini juga membawa tantangan bagi konsep negara-bangsa. Sebagaimana Dr.
Faris H. ungkapkan, perusahaan-perusahaan multinasional dan kapitalisme global
kini memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan banyak negara,
bahkan dapat membeli negara-bangsa yang lebih kecil . Dalam konteks ini,
nasionalisme yang sempit tampak semakin tidak relevan, karena masyarakat
semakin dihadapkan pada realitas dunia yang lebih kompleks dan terhubung.
Selain
itu, arus besar modal dan informasi global juga memengaruhi cara negara-bangsa
di Asia Tenggara memposisikan diri di kancah internasional. Di satu sisi, ada
kebutuhan untuk menjaga identitas nasional di tengah derasnya arus globalisasi.
Di sisi lain, negara-negara ini juga harus menyesuaikan diri dengan realitas
global yang semakin terintegrasi .
Nasionalisme,
Identitas, dan Budaya: Antara Tradisi dan Modernitas
Nasionalisme
tidak hanya berdampak pada politik, tetapi juga pada cara kita memandang
identitas dan budaya. Di banyak negara Asia Tenggara, nasionalisme telah
mendorong kebangkitan nativisme, di mana masyarakat semakin fokus pada tradisi
dan identitas asli mereka. Ini tercermin dalam kebanggaan akan warisan budaya
seperti batik di Indonesia, sate di Malaysia, atau rendang di Singapura .
Namun,
Dr. Faris H. mencatat bahwa budaya di Asia Tenggara tidak pernah statis.
Budaya-budaya ini terus bergerak dan berinteraksi dengan budaya lain, baik di
dalam kawasan maupun di luar. Misalnya, batik bukan hanya milik Indonesia,
tetapi juga dipakai di Malaysia dan Singapura, karena adanya interaksi budaya
yang panjang antar negara-negara tersebut. Namun, ketika budaya-budaya ini
dibatasi oleh nasionalisme yang sempit, mereka justru dibekukan dan kehilangan
dinamisme mereka .
Kesimpulan
Nasionalisme
telah memainkan peran penting dalam pembentukan negara-bangsa di Asia Tenggara,
tetapi ia juga memiliki keterbatasan dalam era globalisasi modern. Meskipun
nasionalisme awalnya berfungsi sebagai alat untuk memperkuat solidaritas
internal dan mencapai kemerdekaan, ia juga bisa menjadi penghalang bagi
integrasi regional dan internasionalisme yang lebih luas.
Di Asia
Tenggara, nasionalisme yang sempit sering kali menghalangi masyarakat untuk
melihat diri mereka sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar, baik di
tingkat regional maupun global. Selain itu, globalisasi dan teknologi telah
mengubah cara kita memahami batas-batas negara, yang semakin kabur dalam era
informasi dan modal global.
Untuk
menghadapi tantangan ini, penting bagi negara-negara di Asia Tenggara untuk
menyeimbangkan antara menjaga identitas nasional dan membuka diri terhadap
konektivitas global. Regionalisme dan internasionalisme dapat menjadi kunci
untuk menghadapi realitas baru ini, sementara nasionalisme tetap memainkan
peran penting dalam menjaga solidaritas dan identitas internal .
Penulis
Sumarta
Sumber Referensi:
Anderson,
B. (1991). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of
Nationalism. Verso Books.
Smith, A.
D. (2009). Nationalism and Modernism. Routledge.
Faris, H.
(2023). Diskusi tentang nasionalisme di Asia Tenggara. Diakses pada 22 Oktober
2024, dari [URL atau sumber yang relevan].
Chatterjee,
P. (2007). The Nation and Its Fragments: Colonial and Postcolonial Histories.
Princeton University Press.
Tagliacozzo,
E., & Chang, W. (2011). Southeast Asia and the Middle East: Islam,
Movement, and the Longue Durée. NUS Press.
Hobsbawm,
E. J. (1990). Nations and Nationalism since 1780: Programme, Myth, Reality.
Cambridge University Press.
Gellner,
E. (1983). Nations and Nationalism. Cornell University Press.
Tilly, C.
(1992). Coercion, Capital, and European States, AD 990-1992. Blackwell.
Brown, K.
(2014). Islamic Politics in Southeast Asia. Routledge.
Roff, W.
R. (2000). Islam and the Political Process in Southeast Asia. In The
Politics of Islam in Southeast Asia (pp. 1-15). University of Michigan
Press.