Normalisasi Hal yang Tidak Tepat: Keresahan Masyarakat yang Tersuarakan di Tengah Demokrasi Indonesia
Keresahan Masyarakat yang Tersuarakan di Tengah Demokrasi Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul berbagai dinamika dalam politik
Indonesia yang secara perlahan mengubah persepsi masyarakat terhadap isu-isu
yang seharusnya dianggap tidak tepat. Fenomena ini mengundang perhatian,
terutama bagi kalangan anak muda yang mulai berani bersuara. Namun, normalisasi
terhadap hal-hal yang dianggap tidak etis dalam politik membuat sebagian
masyarakat merasa suaranya tak lagi berarti. Bahkan ada upaya untuk memaksa
masyarakat menerima hal-hal yang sebenarnya sulit diterima akal sehat. Kondisi
ini menciptakan keresahan yang dalam, terutama bagi mereka yang memiliki
pandangan kritis terhadap jalannya demokrasi.
Bintang Emon, seorang komika terkenal, menjadi salah satu representasi anak
muda yang memilih untuk bersuara di tengah arus yang kuat. Dalam sebuah
wawancara di acara talkshow, Bintang menyampaikan keresahannya terkait berbagai
keputusan yang dinilai aneh, namun dipaksa untuk diterima oleh masyarakat.
"Banyak akrobat-akrobat keputusan yang enggak masuk akal dan kita dipaksa untuk
menelan. Kita dianggap tolol," ujarnya. Baginya, hal tersebut bukan
sekadar kekesalan pribadi, melainkan akumulasi dari berbagai keputusan yang
tidak mencerminkan aspirasi rakyat.
Sebagai seorang komika, Bintang Emon biasanya dikenal dengan lelucon dan
satirnya, namun kali ini ia berbicara dengan tegas mengenai keresahan yang ia
rasakan. Ia merasa ada upaya sistematis untuk menormalisasi hal-hal yang
sebenarnya jelas-jelas tidak baik. "Sebelum setahun belakangan, kita
sepakat itu hal yang tidak baik, tapi sekarang ada upaya-upaya untuk
menormalisasi hal tersebut," tambahnya.
Salah satu contoh yang disorot oleh Bintang adalah keputusan Mahkamah
Konstitusi yang dinilai tidak masuk akal sebelum Pemilihan Presiden. Ia
menganggap keputusan ini sebagai bentuk penyelewengan yang dilakukan secara
terang-terangan dan seolah masyarakat dipaksa untuk menerima tanpa pertanyaan.
“Kita dianggap tolol. Ketika kita dianggap tolol, kita harus lawan,” tegasnya.
Pernyataan ini mencerminkan perasaan marah dan kecewa yang dirasakan oleh
banyak warga negara yang mulai kehilangan kepercayaan terhadap institusi
politik.
Bintang juga menyentuh isu kontroversial lainnya, seperti kasus gratifikasi
yang melibatkan pejabat publik dan keluarga terdekat mereka. Ia menyoroti
bagaimana publik secara luas berusaha membela tindakan yang seharusnya
dikritik. “Sebagai keluarga yang paling tinggi yang harusnya mencontohkan,
gratifikasi seperti itu menurut saya hal yang tidak tepat,” ujarnya. Meskipun
ia mengakui bahwa ini bukanlah masalah pribadi terhadap individu-individu
tersebut, ia merasa bahwa upaya untuk menormalisasi tindakan ini sangat merusak
kesadaran masyarakat. Bahkan, beberapa orang mulai menganggap tindakan ini
sebagai hal yang biasa, sesuatu yang semakin meresahkan.
Yang paling mengkhawatirkan bagi Bintang bukan hanya tindakan-tindakan ini,
tetapi bagaimana masyarakat secara luas mulai menerima normalisasi tersebut.
“Yang paling seram itu kerusakan pikiran dalam jumlah banyak, dalam skala
massal,” tegasnya. Ia merasa bahwa ketika masyarakat mulai menganggap hal-hal
yang tidak etis sebagai sesuatu yang biasa, maka kita berada di ambang
kehancuran moral. Bintang merasa bahwa di tengah kondisi ini, masyarakat
seakan-akan dipaksa untuk menjadi apatis dan tidak peduli dengan kerusakan yang
terjadi di sekitar mereka.
Di sisi lain, Bintang juga memahami risiko yang ia hadapi sebagai seorang
publik figur yang berani bersuara. Ia mengakui bahwa langkah-langkah yang
diambilnya bukan tanpa risiko. “Banyak yang bilang, orang-orang seperti saya
ini siap-siap untuk ditinggalkan dan siap-siap jadi pengangguran,” ungkapnya.
Namun, Bintang memilih untuk tetap bersuara, meskipun ia tahu bahwa industri
hiburan tempatnya berkarier sangat dipengaruhi oleh opini publik. Ia sadar
bahwa konsekuensi dari keberaniannya ini bisa membuatnya kehilangan banyak
pekerjaan.
Namun, bagi Bintang, berbicara tentang hal yang benar adalah tanggung jawab
moral yang harus diemban oleh setiap individu, terutama dalam sistem demokrasi.
Ia percaya bahwa setiap warga negara memiliki peran dalam jalannya demokrasi,
bukan hanya mereka yang berada di lingkaran politik. “Kita juga punya peran di
situ, kan? Apalagi pajaknya makin besar, konsekuensinya adalah kita semakin
harus berani berbicara,” jelasnya. Ia mengibaratkan pajak seperti berlangganan
Netflix, di mana kita membayar tetapi tidak mendapatkan layanan yang sepadan.
Analogi ini menggambarkan frustrasi masyarakat yang merasa tidak mendapatkan
imbal balik yang layak dari pemerintah yang mereka dukung.
Salah satu momen penting yang diingat oleh Bintang adalah ketika ia ikut
berorasi di atas mobil Partai Buruh saat demonstrasi besar. Meski menggunakan
panggung yang disediakan oleh partai tersebut, Bintang dengan tegas menyatakan
bahwa aksinya tidak berafiliasi dengan partai politik mana pun. “Kita di sini
bukan demi partai apa pun,” ujarnya di atas panggung. Bagi Bintang, demonstrasi
tersebut adalah bentuk keresahan yang dirasakan oleh masyarakat luas, bukan
hanya sekadar alat politik.
Bintang mengakui bahwa aksinya di atas mobil orasi dan keberaniannya
berbicara tentang keresahan ini mungkin terkesan seperti tindakan berani, namun
ia sadar bahwa batas antara berani dan bodoh sangat tipis. Meskipun begitu, ia
merasa bahwa berbicara tentang kebenaran adalah hal yang harus dilakukan,
terutama ketika banyak pihak yang memilih diam. “Kalau enggak kita, enggak ada
tanda akan ini nih,” ujarnya. Di tengah maraknya aksi normalisasi terhadap
hal-hal yang tidak tepat, Bintang merasa bahwa suara kritis seperti miliknya
sangat penting untuk menjaga integritas demokrasi.
Pada akhirnya, meskipun Bintang Emon adalah seorang komika yang
kesehariannya dihabiskan untuk membuat orang tertawa, ia menunjukkan bahwa
ketika demokrasi terancam, bahkan seorang pelawak pun bisa berubah menjadi juru
bicara bagi masyarakat yang gelisah. Ia menunjukkan bahwa di balik lelucon dan
tawa, ada keresahan mendalam tentang masa depan bangsa ini. Dalam suasana
politik yang penuh ketidakpastian, suara-suara seperti milik Bintang adalah
pengingat bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menjaga jalannya
demokrasi dan menentang normalisasi hal-hal yang tidak benar.
Demokrasi bukan hanya tentang politikus atau pejabat publik, tetapi tentang
setiap orang yang berani berbicara untuk kebenaran.
Sumber
https://youtu.be/S1UMn7gdanw
Editor
sm Indramayutradisi