Pengkhianatan Terhadap Demokrasi: Menekan Kebebasan Berpendapat

Menekan Kebebasan Berpendapat



Dalam konteks perkembangan politik di Indonesia, pernyataan Feri Amsari, salah satu pembicara dalam sebuah acara diskusi baru-baru ini, menyentuh inti permasalahan yang sering kali terabaikan: pengkhianatan terhadap demokrasi yang sebenarnya terjadi ketika kebebasan berpendapat ditekan. Feri menekankan bahwa pengkhianat bangsa bukanlah mereka yang menyuarakan pendapat berbeda, tetapi justru mereka yang mengekang hak tersebut. Sebuah kenyataan pahit yang menyadarkan kita akan pentingnya menghormati perbedaan dalam berpendapat di negara demokrasi.

Kebebasan Berpendapat: Dasar dari Demokrasi

Feri Amsari mencatat bahwa hak untuk berbeda pendapat merupakan salah satu pilar utama yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa Indonesia. Di era perjuangan kemerdekaan, sosok-sosok seperti Agus Salim dan lainnya berjuang melawan penindasan dan pembatasan hak asasi manusia. Mereka meyakini bahwa setiap individu berhak untuk mengekspresikan pikirannya tanpa takut akan konsekuensi. Dalam konteks sejarah, hak untuk berpendapat bukan hanya masalah kebebasan individu, tetapi juga simbol perlawanan terhadap penindasan.

Ironi terbesar muncul ketika mereka yang mengklaim diri sebagai penjaga demokrasi justru berperan sebagai pengkhianatnya. Dalam banyak situasi, kita dapat melihat tindakan yang menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat dikebiri. Pembatasan ini sering kali dilakukan oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi hak-hak masyarakat, menciptakan dilema antara keinginan untuk menjaga stabilitas dan kebutuhan untuk menjunjung tinggi kebebasan berekspresi.

Simbol Kebebasan dalam Konteks Sejarah

Feri menekankan pentingnya konteks sejarah dalam memahami nilai kebebasan berpendapat. Di masa penjajahan Belanda, para pendiri bangsa bahkan dilarang mengenakan pakaian yang sama dengan penjajah, menjadikan pakaian sebagai simbol perjuangan dan identitas. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan untuk kebebasan tidak hanya berkisar pada aspek politik, tetapi juga mencakup elemen budaya dan sosial yang lebih luas.

Dalam perspektif ini, kebebasan berpendapat tidak hanya diartikan sebagai hak untuk mengungkapkan pendapat secara verbal, tetapi juga meliputi kebebasan berekspresi dalam berbagai bentuk, termasuk seni dan budaya. Ketika kebebasan berekspresi ditekan, kita sebenarnya sedang mengulangi kesalahan sejarah yang pernah terjadi, di mana suara-suara yang berbeda dibungkam oleh kekuasaan.

Konstitusi dan Hak Berpendapat

Penting untuk dicatat bahwa hak berpendapat di Indonesia dijamin oleh konstitusi. Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk menyatakan pendapat. Selain itu, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum memperkuat jaminan ini. Namun, realitas sering kali berbicara lain. Ironisnya, meskipun undang-undang telah ada, pelaksanaannya sering kali tidak sesuai dengan harapan.

Di lapangan, aparat keamanan terkadang bertindak sebagai penghalang kebebasan berpendapat daripada pelindungnya. Banyak laporan yang mencatat bahwa kepolisian lebih cepat mengambil tindakan untuk membubarkan aksi demonstrasi yang disertai dengan pendapat publik, daripada melindungi hak mereka untuk berpendapat. Hal ini menciptakan kesan bahwa aparat keamanan lebih tunduk kepada tekanan politik dan premanisme daripada melindungi hak-hak rakyat.

Menangkal Stigma terhadap Pendapat Berbeda

Situasi ini memperlihatkan stigma yang berkembang terhadap mereka yang berani menyampaikan pendapat yang berbeda. Pendapat yang dianggap kritis sering kali dikaitkan dengan ancaman terhadap stabilitas, dan para pengkritik menjadi target penekanan. Dalam konteks ini, kebebasan berpendapat dipersepsikan sebagai ancaman, bukan sebagai hak yang harus dilindungi. Stigma ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga merusak kualitas demokrasi yang seharusnya kita junjung bersama.

Dalam dunia yang semakin terhubung, di mana informasi mengalir dengan cepat, penting bagi kita untuk memberikan ruang bagi berbagai pendapat. Diskusi yang sehat dan konstruktif tidak hanya memperkaya pemahaman kita, tetapi juga menciptakan lingkungan di mana inovasi dan perubahan dapat terjadi. Ketika masyarakat dibebani dengan ketakutan untuk berpendapat, kita merugikan masa depan demokrasi itu sendiri.

Menegakkan Kembali Kebebasan Berpendapat

Dalam konteks ini, Feri Amsari mengajak semua pihak untuk kembali menegakkan nilai-nilai kebebasan berpendapat. Masyarakat, terutama generasi muda, harus lebih aktif dalam memperjuangkan hak ini. Keterlibatan dalam diskusi publik, forum-forum dialog, dan aksi sosial adalah beberapa cara untuk menyuarakan pendapat dan melindungi hak-hak kita.

Sebagai warga negara, kita harus menyadari bahwa menjaga kebebasan berpendapat bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga tanggung jawab kolektif. Masyarakat harus berani berdiri melawan penekanan dan pengabaian hak asasi manusia. Dengan membangun solidaritas di antara berbagai kelompok masyarakat, kita dapat menciptakan suara yang lebih kuat dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat.

Kesimpulan

Pengkhianatan terhadap demokrasi yang terjadi melalui penekanan kebebasan berpendapat adalah tantangan besar yang harus kita hadapi. Feri Amsari dengan tegas menekankan bahwa mereka yang mengekang hak ini adalah pengkhianat sejati bangsa. Dalam menghadapi situasi ini, penting bagi kita untuk mengingat kembali perjuangan para pendiri bangsa yang berjuang untuk hak-hak ini, dan meneruskan semangat tersebut ke generasi mendatang.

Kita tidak bisa membiarkan sejarah berulang. Kebebasan berpendapat adalah bagian dari jati diri kita sebagai bangsa. Untuk itu, mari kita jaga hak ini dan bersama-sama berjuang untuk menciptakan ruang di mana semua suara dapat didengar dan dihargai. Dalam dunia yang ideal, setiap individu seharusnya dapat berbicara dan berdiskusi tanpa rasa takut, demi terciptanya demokrasi yang sehat dan berkeadilan.

Penulis

Sumarta

 

Sumber

https://youtu.be/sXfn13Je8vU

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel