Peristiwa Kekerasan dalam Diskusi: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Diskusi seharusnya menjadi ajang tukar pikiran, pertukaran ide, dan upaya
memperkaya wawasan, tetapi apa yang terjadi ketika diskusi itu berubah menjadi
ajang kekerasan dan intimidasi? Di dalam peristiwa kekerasan yang terjadi dalam
sebuah diskusi publik beberapa waktu lalu, narasi yang muncul di baliknya
semakin memperlihatkan betapa rentannya demokrasi ketika dihadapkan dengan
kekuatan yang mencoba merusaknya. Artikel ini mengupas rangkaian kejadian,
dugaan perintah dari pihak tertentu, serta tanggapan dan refleksi dari berbagai
pihak yang terlibat.
Awal dari Kekacauan
Peristiwa ini berawal dari sebuah diskusi yang digelar di sebuah hotel,
malam sebelumnya, ketua dari panitia diskusi sudah mendapatkan informasi bahwa
pihak hotel meminta acara tersebut dibubarkan. Namun, permintaan tersebut
diduga datang bukan dari pihak hotel itu sendiri, melainkan ada intervensi dari
pihak aparat yang memerintahkan pembatalan acara. Beberapa sumber menyebut
bahwa ada pertanyaan khusus yang diajukan terkait kedatangan salah satu tokoh
penting, Gatot Nurmantyo. Hal ini menambah spekulasi bahwa aparat sudah
mengetahui adanya acara diskusi tersebut jauh sebelum kejadian berlangsung.
Dalam diskusi itu sendiri, terdapat banyak ketegangan antara pihak peserta
diskusi dan pihak luar yang berusaha merusak jalannya acara. Rekaman video yang
beredar memperlihatkan perusuh memaki-maki aparat kepolisian yang tampak tidak
melakukan tindakan apapun untuk menghentikan kerusuhan. Situasi menjadi semakin
kacau ketika terlihat hampir terjadi bentrok antara aparat dengan pimpinan
salah satu ormas yang hadir.
Perintah dari Atasan: Kebenaran yang Terus Dicari
Salah satu momen yang paling membingungkan adalah ketika seorang preman yang
terlibat dalam perusakan mengatakan bahwa ia mendapatkan "perintah
langsung dari atasan." Kalimat ini diucapkan kepada seorang petugas
keamanan hotel yang mencoba meredakan situasi, dan menjadi salah satu petunjuk
yang terus diulang-ulang dalam pembahasan setelah kejadian tersebut. Namun,
hingga saat ini, tidak ada penjelasan yang jelas tentang siapa yang dimaksud
dengan "atasan" tersebut.
Preman yang melakukan kekerasan terlihat begitu percaya diri, seolah-olah
mereka memiliki perlindungan dari pihak yang lebih tinggi. Hal ini semakin
membingungkan karena pihak kepolisian yang berada di lokasi tidak melakukan
tindakan tegas terhadap para perusuh. Padahal, jika dibandingkan dengan kasus
demonstrasi mahasiswa, aparat biasanya bertindak lebih cepat dan tegas. Namun,
dalam kejadian ini, bahkan setelah memukul, merusak properti, dan mencederai
beberapa orang, tidak ada satu pun pelaku yang langsung ditangkap di tempat.
Siapa Sebenarnya Pelaku?
Salah satu yang menjadi sorotan dalam video-video yang beredar adalah
seorang pria berkaos hitam dengan tas selempang yang terlihat berbeda dari yang
lain. Dalam video tersebut, ia tampak memberikan perintah kepada salah satu
preman yang kemudian membalasnya dengan, "Siap komandan!" Hal ini
menimbulkan spekulasi bahwa pria tersebut bukanlah orang sembarangan, melainkan
seseorang dengan otoritas atau minimal bagian dari pihak yang memiliki kekuatan
untuk mengendalikan situasi.
Ada lima kelompok yang terlihat jelas dalam video, yaitu peserta diskusi,
polisi, petugas keamanan hotel, pelaku perusakan, dan pihak luar yang tidak
terlibat langsung tetapi berada di sekitar lokasi kejadian. Kelima kelompok ini
terekam jelas di video, tetapi yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pihak
yang bertanggung jawab dalam perusakan dan kekerasan tersebut bisa lolos begitu
saja tanpa tindakan hukum yang tegas.
Tanggapan Tokoh Nasional
Dalam peristiwa tersebut, beberapa tokoh nasional turut hadir, termasuk Said
Didu dan Din Syamsuddin. Said Didu menegaskan bahwa ia merasa ada yang aneh
dengan penanganan aparat. Ia bahkan mengungkapkan bahwa sebelum acara dimulai,
pihak penyelenggara mendapatkan jaminan keamanan dari aparat. Namun,
kenyataannya, mereka dibiarkan begitu saja ketika kerusuhan terjadi. Bahkan,
hingga saat ini, tidak ada klarifikasi yang jelas dari pihak kepolisian
mengenai tindakan apa yang sebenarnya mereka ambil selama peristiwa
berlangsung.
Sementara itu, Din Syamsuddin, yang juga seorang pembicara dalam acara
tersebut, menyampaikan kekecewaannya terhadap cara aparat menangani situasi.
Dalam salah satu percakapannya dengan Said Didu, Din sempat bercanda,
"Saya pikir suara saya serak karena berpidato terlalu lama, ternyata saya
belum pulang dari Qatar!" Candaannya menggambarkan betapa tegang dan penuh
emosi situasi yang terjadi saat itu.
Ketidakpastian Hukum dan Keadilan
Peristiwa ini mengingatkan kita pada pernyataan Prabowo Subianto beberapa
waktu lalu, saat ia berbicara di sebuah forum ekonomi internasional di Doha,
Qatar. Ia menyatakan bahwa, "Kekerasan dan pendekatan militeristik sudah
tidak relevan lagi dalam memimpin sebuah negara." Namun, dengan kejadian
ini, banyak yang bertanya-tanya, apakah janji-janji tersebut akan terwujud
ketika kekerasan seperti ini masih terus terjadi di bawah rezim yang ada saat
ini.
Di dalam negara demokrasi, aparat hukum seharusnya menjadi garda terdepan
dalam menjaga ketertiban dan keadilan. Namun, ketika kekerasan terjadi di depan
mata mereka, dan tidak ada satu pun pelaku yang ditangkap di tempat, publik
mulai mempertanyakan komitmen aparat dalam menegakkan hukum yang adil. Apalagi,
ketika kekerasan tersebut dilakukan oleh kelompok preman yang dengan jelas
melakukan tindakan pidana, tetapi tidak mendapatkan sanksi yang setimpal.
Refleksi Akhir: Demokrasi yang Terpojok
Peristiwa ini bukan hanya tentang kekerasan yang terjadi dalam sebuah
diskusi, tetapi lebih dari itu, ini adalah cerminan bagaimana demokrasi kita
saat ini berada dalam ancaman. Kebebasan berpendapat dan berkumpul, yang
menjadi salah satu pilar demokrasi, seharusnya dijaga dengan baik oleh negara.
Namun, ketika aparat negara tampak abai, atau bahkan diduga terlibat dalam
melindungi kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan, maka integritas
demokrasi itu sendiri dipertaruhkan.
Untuk membangun demokrasi yang kuat dan adil, dibutuhkan transparansi,
keadilan, dan perlindungan hukum yang tegas terhadap semua bentuk kekerasan.
Jika tidak, maka yang terjadi adalah masyarakat yang terus merasa terpojok, di
mana mereka menjadi korban, tetapi tidak mendapatkan keadilan yang seharusnya
mereka dapatkan.
Penulis
Sumarta
Sumber
https://youtu.be/sXfn13Je8vU