Pertemuan Prabowo dan Megawati: Mencari Keseimbangan Antara Koalisi dan Oposisi dalam Sistem Presidensial

Mencari Keseimbangan Antara Koalisi dan Oposisi dalam Sistem Presidensial



Pertemuan antara Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri baru-baru ini menjadi sorotan banyak pihak, terutama dalam kaitannya dengan kemungkinan bergabungnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ke dalam koalisi pemerintahan yang baru. Sebagai dua tokoh sentral dalam politik Indonesia, pertemuan ini memicu spekulasi tentang arah politik yang akan diambil, apakah PDIP akan bergabung dalam koalisi besar yang dipimpin oleh Prabowo, atau tetap berada di luar pemerintahan sebagai partai yang mengkritisi kebijakan pemerintah.

Silaturahmi Politik: Tradisi atau Taktik?

Ahmad Doli Kurnia, seorang politisi dari Partai Golkar, menyampaikan bahwa pertemuan ini memiliki makna penting dari perspektif ketatanegaraan. Menurutnya, pertemuan antara Prabowo dan Megawati harus dilihat sebagai bagian dari silaturahmi politik yang sehat antara pemimpin-pemimpin bangsa. Ini menunjukkan bahwa meskipun berbeda pandangan politik, para pemimpin tetap bisa berdialog dan bekerja sama demi kepentingan negara.

Hal ini juga mengingatkan kita pada hubungan erat antara orang tua kedua tokoh ini di masa lalu. Ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikusumo, dan Soekarno, ayah dari Megawati, memiliki hubungan yang sangat dekat, meskipun diwarnai oleh dinamika politik yang kompleks pada masanya. Oleh karena itu, silaturahmi antara kedua tokoh ini bisa dianggap sebagai bagian dari warisan politik yang panjang di Indonesia.

Namun, Doli juga menekankan bahwa meskipun pertemuan ini merupakan langkah positif, kita belum bisa memastikan apakah ini akan membawa PDIP masuk ke dalam koalisi pemerintah. Menurutnya, sistem presidensial yang dianut Indonesia tidak mengenal konsep oposisi dalam arti parlementer, seperti yang sering terlihat di negara-negara Barat. Dalam sistem ini, partai politik dapat berada di dalam atau di luar pemerintahan, tanpa perlu mendeklarasikan diri sebagai oposisi.

Risiko bagi Koalisi dan Oposisi

Habiburokhman, seorang politisi dari Gerindra, turut memberikan pandangannya mengenai pertemuan ini. Menurutnya, yang harus diwaspadai bukanlah konsep oposisi itu sendiri, melainkan potensi "gontok-gontokan" atau perseteruan yang tidak produktif di antara partai politik. Oposisi tidak perlu diartikan sebagai perlawanan keras terhadap pemerintah, tetapi lebih sebagai fungsi check and balances yang dapat memberikan kritik konstruktif tanpa harus merusak stabilitas politik.

Namun, Habiburokhman juga menegaskan bahwa jika mayoritas partai politik bergabung dalam pemerintahan, maka fungsi check and balances yang seharusnya dijalankan oleh parlemen dapat menjadi tumpul. Hal ini merujuk pada sejarah politik Indonesia, di mana partai-partai politik yang menjadi bagian dari koalisi pemerintahan cenderung untuk "tegak lurus" dengan kebijakan pemerintah, tanpa memberikan kritik yang signifikan.

Salah satu contoh yang disebutkan adalah bagaimana partai-partai dalam koalisi pemerintah sebelumnya tidak memberikan perlawanan berarti terhadap kebijakan-kebijakan kontroversial, seperti revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketika partai-partai politik sudah menjadi bagian dari kekuasaan, kritik dan resistensi biasanya hanya muncul menjelang pemilihan umum, saat partai-partai mulai mencari ceruk pemilih dari kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemerintah.

Sistem Presidensial dan Koalisi Politik

Dalam konteks ini, Doli kembali menegaskan bahwa sistem presidensial Indonesia tidak mengenal konsep oposisi seperti dalam sistem parlementer. Dalam sistem presidensial, hubungan antara eksekutif dan legislatif lebih diatur oleh mekanisme check and balances yang formal, melalui institusi-institusi seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Oleh karena itu, keberadaan partai politik di dalam atau di luar pemerintahan seharusnya tidak mengurangi fungsi kritik dan kontrol terhadap kebijakan pemerintah.

Namun, realitas politik menunjukkan bahwa partai-partai politik yang berada di dalam koalisi pemerintahan cenderung untuk tidak memberikan kritik yang keras terhadap kebijakan pemerintah, terutama ketika kebijakan tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat. Ini menjadi salah satu tantangan dalam menjalankan sistem presidensial yang ideal.

Pendidikan Politik dan Prinsip Musyawarah

Dari sisi lain, PDIP juga memiliki pendekatan yang unik terhadap politik di Indonesia. Sebagai partai yang dipimpin oleh Megawati, PDIP seringkali menekankan pentingnya pendidikan politik bagi rakyat. Salah satu prinsip yang selalu diusung oleh PDIP adalah tradisi musyawarah dan mufakat, yang merupakan warisan dari para pendiri bangsa.

Dalam pandangan PDIP, menyelesaikan masalah melalui dialog dan musyawarah adalah ciri khas politik Indonesia yang membedakannya dari politik oposisi yang saling serang seperti di negara-negara Barat. Oleh karena itu, jika PDIP memutuskan untuk tetap berada di luar pemerintahan, hal tersebut tidak perlu dianggap sebagai oposisi dalam arti negatif, tetapi sebagai bentuk kontribusi yang berbeda dalam sistem politik Indonesia.

Pertemuan Pemimpin dan Harapan Ke Depan

Pertemuan antara Prabowo dan Megawati memberikan harapan bahwa politik Indonesia ke depannya bisa berjalan dengan lebih baik dan solid. Sinergi antara para pemimpin bangsa, baik yang berada di dalam maupun di luar pemerintahan, menjadi kunci untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu, pertemuan ini juga menjadi sinyal bahwa politik Indonesia tidak harus diwarnai oleh konflik dan perpecahan, melainkan bisa dibangun atas dasar kerja sama dan dialog.

Namun, tantangan ke depan adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara koalisi dan oposisi dalam sistem presidensial Indonesia. Jika semua partai politik bergabung dalam koalisi pemerintahan, maka risiko kehilangan fungsi check and balances menjadi sangat nyata. Oleh karena itu, peran partai-partai yang berada di luar pemerintahan tetap penting untuk memastikan bahwa kritik dan kontrol terhadap kebijakan pemerintah tetap berjalan demi kepentingan rakyat.

Dengan demikian, pertemuan antara Prabowo dan Megawati, meskipun penting dari perspektif silaturahmi politik, tidak boleh menjadi alasan untuk melemahkan fungsi kritik dan kontrol dalam sistem politik Indonesia. Justru, ini harus menjadi momentum untuk memperkuat fungsi check and balances, baik melalui partai-partai yang berada di luar pemerintahan maupun melalui mekanisme formal di parlemen.

Sumber

https://youtu.be/fp1l9DCyJio

Penulis

Sumarta

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel