Pilkada Rasa Pilpres: Saat Politik Lokal Menjadi Ajang Duplikasi Nasional
Saat Politik Lokal Menjadi Ajang Duplikasi Nasional
Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang berlangsung di Indonesia telah
menghadirkan dinamika politik yang menyerupai ajang Pemilihan Presiden
(Pilpres). Fenomena ini tak hanya menarik perhatian masyarakat lokal, tetapi
juga kalangan elit politik nasional. Di beberapa daerah, Pilkada yang
seharusnya fokus pada kepentingan lokal tiba-tiba berubah menjadi medan
pertempuran layaknya Pilpres. Hal ini tampak melalui upaya partai-partai besar
untuk menduplikasi strategi yang mereka gunakan di Pilpres ke dalam Pilkada.
Sayangnya, sering kali strategi ini membawa lebih banyak masalah daripada
solusi.
Politik
lokal, yang seharusnya menyuarakan kebutuhan dan aspirasi rakyat daerah, kini
semakin diwarnai oleh ambisi politik tingkat nasional. Hal ini membuat Pilkada
di berbagai daerah berubah menjadi ajang pertarungan antarpartai politik yang
berorientasi pada kekuasaan, bukan kepentingan masyarakat setempat. Banyak
partai yang tampak berusaha mengulangi kemenangan Pilpres dengan membentuk
koalisi besar di Pilkada. Mereka berharap bahwa strategi nasional ini bisa
langsung diterapkan dalam konteks lokal, dengan asumsi bahwa apa yang sukses di
Pilpres akan berhasil di Pilkada. Namun, realitas di lapangan justru
menunjukkan hal sebaliknya.
Upaya Duplikasi Kemenangan Pilpres di Pilkada
Salah
satu ciri khas dari upaya partai-partai besar dalam Pilkada adalah pembentukan
koalisi besar-besaran, yang mencerminkan koalisi serupa di Pilpres. Mereka
menggabungkan kekuatan partai-partai nasional untuk memenangkan Pilkada,
berharap bahwa dengan bersatu, kemenangan akan lebih mudah diraih. Namun, dalam
praktiknya, pendekatan ini sering kali menemui kendala. Koalisi besar yang
terbentuk di tingkat nasional ternyata tidak selalu sesuai dengan kebutuhan dan
keinginan masyarakat di tingkat lokal.
Salah
satu contohnya adalah saat partai-partai besar memilih untuk mendukung calon
yang tidak populer di daerah. Publik mulai merasakan bahwa politik lokal telah
tercemari oleh ambisi kekuasaan tingkat nasional. Alih-alih fokus pada
pembangunan daerah, para elit politik lebih tertarik menjadikan Pilkada sebagai
alat untuk konsolidasi kekuasaan mereka. Bahkan, dalam beberapa kasus, calon
kepala daerah yang sangat populer dan diprediksi akan menang tiba-tiba
kehilangan dukungan dari partainya. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar:
apakah kepentingan daerah benar-benar menjadi prioritas, atau hanya sekadar
alat untuk tujuan politik nasional?
Publik yang Mulai Jengah
Kekecewaan
masyarakat terhadap kondisi politik saat ini juga mulai dirasakan oleh berbagai
kalangan. Komedian Abdur, dalam salah satu orasinya, secara cerdas
menggambarkan bagaimana kelas menengah mulai jengah dengan permainan politik
yang tak lagi menghargai intelektualitas mereka. Ia mengatakan, "Kelas
menengah itu akan bergerak bukan karena lapar, tapi ketika kepalanya
diinjak-injak, terutama dalam hal intelektualitas." Pernyataan ini
menggambarkan perasaan frustrasi masyarakat yang merasa bahwa elit politik
telah "mengecoh" mereka dengan cara-cara yang terlalu
terang-terangan.
Keputusan
politik yang sering kali tidak masuk akal menjadi pemicu utama kemarahan
publik. Banyak yang melihat bahwa partai-partai politik lebih mementingkan
kepentingan pribadi atau kelompok kecil di dalamnya daripada memperjuangkan
aspirasi masyarakat. Bahkan, dalam beberapa kasus, ada dugaan bahwa
partai-partai besar sengaja menciptakan skenario politik untuk memastikan lawan
politik mereka tidak memiliki peluang menang. Salah satu bentuk skenario ini
adalah munculnya calon tunggal yang melawan "kotak kosong." Pilihan
ini sering dipandang sebagai bentuk manipulasi demokrasi yang mencederai esensi
dari Pilkada itu sendiri.
Dinasti Politik dan Ambisi Kekuasaan
Selain
masalah koalisi partai besar, Pilkada juga kerap diwarnai dengan isu dinasti
politik. Publik sudah jenuh melihat bagaimana keluarga politik mencoba
mempertahankan kekuasaan mereka dengan mencalonkan anggota keluarga lainnya,
entah itu anak, saudara, atau kerabat jauh. Fenomena ini memperlihatkan ambisi
besar untuk mempertahankan kendali atas kekuasaan, serta memastikan bahwa
mereka tetap mendapatkan "bagian dari kue kekuasaan," baik itu dalam bentuk
jabatan strategis seperti komisaris BUMN atau proyek-proyek pemerintah.
Dinasti
politik ini, ironisnya, kerap berasal dari tokoh-tokoh yang pada masa Pilpres
menunjukkan dukungan kuat terhadap Presiden Jokowi. Namun, setelah Pilpres
usai, tokoh-tokoh ini lebih fokus pada mempertahankan posisi dan kekuasaan
mereka daripada memperjuangkan masa depan bangsa seperti yang diharapkan oleh
para pendukung Jokowi. Hal ini tentu menimbulkan kekecewaan yang mendalam di
kalangan masyarakat, terutama mereka yang berharap bahwa Jokowi akan membawa
perubahan besar dalam dunia politik Indonesia. Sayangnya, orang-orang di
sekelilingnya justru sibuk mempertahankan kekuasaan mereka sendiri.
Pilkada yang Kehilangan Fokus Lokal
Dengan
semakin mencuatnya isu dinasti politik dan duplikasi strategi Pilpres, Pilkada
di Indonesia mulai kehilangan fokus pada kepentingan lokal. Sebagai ajang yang
seharusnya menjadi ruang bagi rakyat daerah untuk memilih pemimpin yang
benar-benar memahami kebutuhan mereka, Pilkada kini lebih sering menjadi
perpanjangan dari pertarungan politik nasional. Elit politik cenderung melihat
Pilkada sebagai batu loncatan untuk konsolidasi kekuasaan atau sebagai alat
untuk mempertahankan dinasti politik mereka.
Ambisi
politik nasional ini membuat Pilkada kehilangan esensi utamanya sebagai
instrumen demokrasi lokal. Dalam situasi seperti ini, masyarakat merasa
diabaikan dan dipaksa untuk memilih antara calon-calon yang dipilih berdasarkan
kepentingan elit politik, bukan berdasarkan kualitas atau rekam jejak mereka
dalam memperjuangkan kepentingan daerah. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap
proses demokrasi semakin terkikis.
Harapan untuk Masa Depan Politik Lokal
Meskipun
kondisi politik Pilkada saat ini penuh dengan ambisi dan duplikasi strategi
Pilpres, harapan untuk perbaikan tetap ada. Publik semakin menyadari pentingnya
menjaga kemandirian politik lokal dan menolak intervensi yang tidak sesuai
dengan kepentingan daerah. Suara masyarakat yang semakin kritis diharapkan
dapat memberikan tekanan kepada partai-partai politik untuk kembali fokus pada
tujuan asli Pilkada: memilih pemimpin yang benar-benar peduli pada kepentingan
daerah.
Masa
depan politik lokal di Indonesia akan sangat bergantung pada sejauh mana
masyarakat mampu mempertahankan kemandirian politik daerah dan menolak skenario
politik yang dibuat oleh elit nasional. Jika masyarakat mampu menjaga kesadaran
ini, maka Pilkada akan kembali menjadi ajang yang sehat dan demokratis, di mana
rakyat dapat memilih pemimpin yang layak berdasarkan kepentingan lokal, bukan
hanya duplikasi dari panggung nasional.
Penulis
Sumarta
Sumber
https://youtu.be/BVFpnohDd1A