Pola Karir Perwira TNI di Era Presiden Jokowi: Antara Politisasi dan Meritokrasi

Antara Politisasi dan Meritokrasi



Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dinamika dalam karir perwira tinggi TNI (Tentara Nasional Indonesia) mengalami sejumlah perubahan signifikan, terutama dalam penempatan dan mutasi jabatan strategis. Berbagai isu muncul, mulai dari penekanan pada faktor kedekatan pribadi dengan lingkaran istana, hingga adanya indikasi politisasi di dalam proses penunjukan jabatan. Artikel ini akan membahas bagaimana pola penempatan perwira tinggi TNI saat ini terbentuk, tantangan yang dihadapi, serta dampak jangka panjang terhadap institusi TNI dan profesionalisme militer di Indonesia.

1. Pola Karir Perwira Tinggi di Era Jokowi: Fokus pada "Ring Nol" dan Teritorial Penting

Sejak awal masa pemerintahan Jokowi, terdapat pola yang cukup konsisten dalam penunjukan perwira tinggi di TNI. Pola ini mengutamakan individu-individu yang memiliki kedekatan dengan lingkaran dalam istana atau yang pernah menduduki jabatan di lokasi strategis yang sering dikunjungi Presiden. Jabatan-jabatan seperti ajudan presiden, pasukan pengamanan presiden (Pas Pampres), serta komandan wilayah teritorial di sekitar Jakarta, Bogor, Solo, dan Medan, menjadi jalur percepatan karir yang dominan. Istilah "ring nol" dan "ring satu" muncul untuk menggambarkan orang-orang yang berada di lingkaran terdekat presiden dan memiliki akses langsung dalam menjaga keamanan serta mendampingi kegiatan kepresidenan.

Sejumlah perwira tinggi yang saat ini menduduki posisi strategis di TNI, seperti Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), dan Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau), sebelumnya pernah menempati jabatan "ring nol" ini. Misalnya, Jenderal Andika Perkasa, yang pernah menjabat sebagai Komandan Pas Pampres, mendapatkan percepatan karir yang signifikan sebelum menjadi Panglima TNI. Selain itu, Maruli Simanjuntak yang menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) juga memiliki latar belakang sebagai Komandan Pas Pampres dan menantu dari Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.

Pengaruh lokasi teritorial juga terlihat dari pentingnya jabatan-jabatan seperti Pangdam Jaya (Jakarta), Pangdam Diponegoro (Jawa Tengah), dan Pangdam Bukit Barisan (Sumatera Utara). Daerah-daerah ini merupakan wilayah dengan frekuensi kunjungan presiden yang tinggi, dan para komandan di sini sering kali dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi, terutama jika mereka telah menunjukkan performa yang baik dalam mengamankan kegiatan presiden.

2. Dinamika Pola Karir: Dari Masa Orde Baru hingga Era Reformasi

Untuk memahami pola penempatan perwira tinggi di era Jokowi, penting untuk melihat latar belakang sejarahnya. Pada masa Orde Baru, penempatan perwira tinggi di posisi strategis memiliki pola yang cukup terstruktur. Pada awal kepemimpinan Soeharto, perwira-perwira yang ditunjuk untuk jabatan strategis umumnya memiliki rekam jejak tempur yang signifikan, terutama dalam operasi militer melawan pemberontakan dan konflik internal. Wilayah-wilayah seperti Aceh, Papua, dan Timor Timur menjadi fokus, dan para perwira yang ditempatkan di sana dipilih berdasarkan pengalaman tempur mereka.

Setelah Orde Baru berakhir, khususnya pada masa kepresidenan BJ Habibie hingga Megawati Soekarnoputri, terjadi pergeseran ke arah meritokrasi. Pemilihan perwira tinggi cenderung lebih didasarkan pada kompetensi dan prestasi tanpa memperhitungkan kedekatan politik. Namun, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pola baru mulai muncul di mana lulusan terbaik dari Akademi Militer (Adim Makayasa) mulai sering menduduki posisi strategis. Meskipun dianggap wajar karena mereka memiliki prestasi akademik yang luar biasa, penunjukan ini tetap menimbulkan perdebatan karena tidak selalu menjamin kualitas kepemimpinan dalam situasi nyata.

3. Pola di Era Jokowi: Politisasi atau Penyesuaian Strategis?

Era pemerintahan Jokowi memperlihatkan kecenderungan baru dalam mutasi perwira tinggi yang dianggap semakin mempertimbangkan faktor kedekatan dengan presiden atau "lingkaran istana." Beberapa perwira yang menduduki jabatan strategis, terutama yang memiliki bintang empat, seperti Panglima, Kepala Staf Angkatan Darat, dan Kepala Staf Angkatan Udara, umumnya memiliki pengalaman sebagai bagian dari ring nol atau ring satu. Misalnya, Maruli Simanjuntak, yang menjabat sebagai Pangkostrad, pernah menjadi Komandan Pas Pampres dua kali, menunjukkan adanya jalur percepatan karir yang terbuka bagi mereka yang berada dalam lingkaran terdekat presiden.

Dalam konteks Angkatan Laut, misalnya, perwira yang menduduki jabatan sebagai Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) biasanya memiliki pengalaman dalam perencanaan operasi dan komando armada. Muhammad Ali, yang sebelumnya menjabat sebagai Panglima Komando Armada, naik ke jabatan KSAL karena memenuhi kualifikasi yang dianggap tepat, namun penunjukannya tetap tak lepas dari kritik terkait unsur politisasi.

4. Tantangan dan Dampak: Profesionalisme Militer dalam Sorotan

Terdapat kekhawatiran bahwa politisasi dalam proses penempatan perwira tinggi di TNI dapat berdampak buruk terhadap profesionalisme militer. Memprioritaskan kedekatan dengan presiden atau faktor personal lainnya daripada kompetensi dan rekam jejak dapat merusak tatanan meritokrasi yang selama ini dibangun. Selain itu, dengan fokus pada wilayah-wilayah yang sering dikunjungi presiden, ada risiko ketimpangan dalam distribusi sumber daya manusia dan perhatian terhadap wilayah-wilayah lain yang juga memiliki kebutuhan keamanan strategis.

Kontroversi semakin mengemuka ketika muncul usulan untuk merevisi Undang-Undang TNI, terutama terkait Pasal 47 yang memungkinkan penempatan perwira TNI di kementerian atau lembaga sipil. Meskipun beberapa pihak berpendapat bahwa revisi ini bertujuan untuk mengatasi masalah penumpukan perwira tinggi yang tidak memiliki jabatan, banyak yang merasa langkah ini akan mengembalikan TNI ke era dwifungsi, di mana militer memiliki peran ganda dalam urusan sipil dan militer. Ini dianggap sebagai kemunduran dari reformasi yang telah berhasil membatasi pengaruh TNI di sektor sipil sejak tahun 1998.

5. Kesimpulan: Menghadapi Tantangan Masa Depan

Pola karir perwira tinggi di era Jokowi yang cenderung mempertimbangkan faktor kedekatan dengan lingkaran kekuasaan menimbulkan tantangan serius bagi profesionalisme dan meritokrasi di tubuh TNI. Meskipun langkah seperti memperluas struktur organisasi dan penempatan perwira di wilayah teritorial penting dapat membantu mengatasi penumpukan perwira non-job, masalah politisasi mutasi jabatan tetap perlu menjadi perhatian.

Dalam konteks reformasi TNI yang telah berjalan selama lebih dari dua dekade, penting bagi pemerintah dan pimpinan militer untuk menyeimbangkan antara kebutuhan strategis dengan prinsip meritokrasi. Mutasi jabatan di lingkungan militer harus tetap berfokus pada kompetensi dan kemampuan operasional agar TNI dapat menjaga profesionalismenya dan tidak terjebak dalam kepentingan politik jangka pendek.

Ke depan, tantangan yang perlu dihadapi adalah bagaimana mempertahankan keseimbangan antara kebutuhan keamanan nasional dan tuntutan profesionalisme di tubuh TNI, sekaligus menghindari pengulangan sejarah di mana militer kembali memiliki peran yang berlebihan dalam kehidupan sipil.

Penulis

Sumarta

 

Sumber

Dialog Podcast Akbar Faizal Uncensored dengan Andi Wijayanto (Mantan Gubernur Lemhanas Era Presiden Joko Widodo) tanggal 12 Nopember 2024

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel