Polarisasi Pola Karir Perwira TNI di Era Jokowi: Politisasi dan Tantangan Masa Depan
Politisasi dan Tantangan Masa Depan
Pembahasan
mengenai karir perwira tinggi di Tentara Nasional Indonesia (TNI) di era
pemerintahan Presiden Joko Widodo memunculkan berbagai isu, termasuk adanya kecenderungan
politisasi dalam proses penunjukan jabatan strategis. Salah satu yang disorot
adalah pendekatan yang lebih menekankan kedekatan pribadi dengan Presiden,
terutama di akhir masa jabatannya, dibandingkan kompetensi dan rekam jejak yang
lebih tradisional. Artikel ini mencoba menganalisis secara mendalam fenomena
tersebut dan memberikan perspektif tentang dampaknya terhadap masa depan
organisasi TNI.
Pola Karir TNI di Era Presiden-Presiden
Sebelumnya
Selama
masa pemerintahan sebelumnya, pola karir dalam TNI memiliki beberapa fase yang
berbeda, dipengaruhi oleh situasi politik dan kebutuhan keamanan negara. Di era
Presiden Soeharto, dua pola penempatan perwira dalam posisi strategis muncul.
Pada awal pemerintahannya, perwira yang pernah terlibat dalam perang gerilya
dan pemberontakan internal banyak ditempatkan di posisi strategis. Namun, di
era selanjutnya, perwira yang memiliki latar belakang tempur dan intelijen,
terutama di wilayah konflik seperti Aceh, Papua, dan Timor Timur, mulai lebih
diperhatikan.
Era
pasca-Soeharto hingga Megawati cenderung menunjukkan pola meritokrasi, dengan
fokus pada kompetensi individu tanpa pengaruh politik yang signifikan. Namun,
memasuki era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), penekanan mulai diberikan pada
lulusan Akademi Militer yang mendapat predikat Adim Makayasa. Meskipun pola
tersebut dianggap wajar karena merupakan tanda prestasi akademik terbaik saat
kelulusan, tetap saja tidak sepenuhnya menjamin keberhasilan dalam karir
militer di kemudian hari.
Pergeseran Pola Karir di Era Jokowi
Di era
Presiden Jokowi, ada pergeseran yang lebih mencolok dalam pola penunjukan
jabatan strategis di TNI. Banyak perwira yang ditempatkan di posisi penting
berasal dari lingkaran terdekat atau yang dikenal sebagai "ring nol,"
yakni perwira yang pernah bertugas sebagai ajudan presiden, pasukan pengaman
presiden (Paspampres), atau staf khusus presiden (Setmilpres). Beberapa wilayah
teritorial yang menjadi lokasi kegiatan Presiden juga mendapatkan perhatian
khusus dalam penunjukan posisi perwira tinggi, seperti Jakarta, Bogor, Solo,
dan Medan.
Misalnya,
posisi Pangdam Jaya dan Pangdam Diponegoro menjadi penting karena lokasinya
yang berada di lingkaran utama aktivitas presiden. Di Angkatan Udara, perhatian
terhadap pangkalan seperti Lanud Halim dan Lanud Adi Sumarno meningkat karena
sering menjadi lokasi pendaratan presiden. Untuk Angkatan Laut, pola penunjukan
juga mempertimbangkan perwira yang memiliki pengalaman di bidang perencanaan
dan operasi serta pernah memegang komando di Armada.
Penempatan
jabatan strategis juga kerap mengutamakan perwira yang pernah menjabat sebagai
ajudan presiden atau menduduki posisi ring nol lainnya, seperti yang terlihat
pada penunjukan Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), dan Kepala
Staf Angkatan Udara (Kasau). Nama-nama seperti Maruli Simanjuntak dan Agus
Subianto yang memiliki pengalaman di lingkaran dekat presiden mendominasi
jabatan strategis.
Politisasi dalam Pembinaan Karir TNI
Fenomena
politisasi dalam pembinaan karir TNI di era Jokowi menciptakan kekhawatiran
akan terjadinya ketidakseimbangan antara pengaruh politik dan meritokrasi.
Ketika penempatan jabatan lebih ditentukan oleh kedekatan dengan presiden,
potensi konflik kepentingan meningkat, dan menimbulkan pertanyaan tentang
keadilan dalam proses seleksi jabatan strategis.
Sebagai
contoh, posisi penting seperti Pangdam sering kali diisi oleh perwira yang
memiliki koneksi politik kuat, yang kadang tidak memiliki pengalaman tempur
atau teritorial yang relevan. Hal ini berbanding terbalik dengan masa lalu di
mana pengalaman tempur dan rekam jejak operasional menjadi faktor utama dalam
penunjukan posisi strategis di TNI.
Kritik
lain yang muncul adalah adanya kecenderungan bahwa perwira dengan latar
belakang tertentu, seperti Kopassus (Komando Pasukan Khusus), lebih sering
mendapatkan kesempatan promosi dibandingkan korps lain. Banyak posisi strategis
diisi oleh perwira yang memiliki latar belakang dari satuan tersebut, yang
dapat menyebabkan ketimpangan dalam pengembangan karir perwira di satuan-satuan
lain.
Tantangan Pembinaan Karir TNI di Masa Depan
Masa
depan pembinaan karir perwira TNI akan menghadapi tantangan besar, terutama
ketika masa pemerintahan Presiden Jokowi mendekati akhir. Presiden berikutnya
akan menghadapi tantangan untuk menentukan apakah pola penunjukan berbasis
kedekatan seperti yang terjadi saat ini perlu dipertahankan atau harus kembali
ke pendekatan yang lebih meritokratis.
Dalam
beberapa kasus, penempatan perwira strategis saat ini di masa akhir
pemerintahan Jokowi dapat menjadi faktor pengaruh penting bagi Presiden baru
dalam membentuk kebijakan terkait TNI. Perwira-perwira seperti Agus Subianto,
Maruli Simanjuntak, dan Toni yang memiliki usia pensiun yang cukup panjang akan
tetap berperan dalam organisasi militer, bahkan hingga pemilu berikutnya.
Seiring
dengan kemungkinan adanya revisi undang-undang yang memperpanjang usia pensiun
perwira, hal ini akan semakin memperpanjang waktu bagi beberapa perwira bintang
empat untuk tetap berada di jabatan strategis. Ini berpotensi mempengaruhi
struktur kepemimpinan dan pola karir di TNI ke depan.
Mengantisipasi Pola Baru di Era Pasca-Jokowi
Jika
Prabowo Subianto terpilih sebagai Presiden berikutnya, ada kemungkinan bahwa
pola penempatan perwira di TNI akan berubah. Sebagai mantan perwira tinggi dan
tokoh yang memiliki pemahaman mendalam tentang organisasi militer, Prabowo
mungkin akan mencoba menerapkan pendekatan baru yang lebih menitikberatkan pada
meritokrasi dan pengalaman operasional.
Kemungkinan
lainnya adalah memperkenalkan kembali jenjang karir yang lebih beragam, seperti
penempatan perwira dengan pengalaman di berbagai satuan dan posisi. Misalnya,
untuk menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad), seorang perwira harus
pernah menjabat sebagai komandan batalyon di Kostrad, komandan brigade, dan
Panglima Divisi Kostrad. Pendekatan serupa juga bisa diterapkan untuk jenjang
karir di Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Kesimpulan
Pola
penempatan perwira tinggi di TNI di era Jokowi menunjukkan adanya pergeseran
menuju pendekatan yang lebih mempertimbangkan kedekatan dengan Presiden,
terutama di lingkaran terdekatnya atau "ring nol." Meskipun ada
kritik bahwa pendekatan ini lebih politis daripada meritokratis, pola tersebut
mencerminkan realitas politik dan kebutuhan untuk mempertahankan stabilitas
pemerintahan.
Namun,
di sisi lain, ada tantangan bagi pembinaan karir TNI untuk kembali ke jalur
meritokrasi yang menitikberatkan pada kompetensi dan pengalaman operasional.
Ini penting untuk memastikan bahwa TNI tetap menjadi organisasi yang
profesional dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik sesaat. Masa depan
pembinaan karir TNI akan bergantung pada bagaimana Presiden berikutnya, siapa
pun itu, memilih untuk membentuk struktur dan kepemimpinan militer dalam
menghadapi tantangan baru.
Dengan
demikian, pilihan apakah akan mempertahankan pendekatan yang lebih politis atau
kembali ke pola meritokrasi akan menjadi ujian bagi kepemimpinan masa depan
dalam menjaga keseimbangan antara politik dan profesionalisme di tubuh TNI.
Penulis
Sumarta
Sumber
Dialog Podcast
Akbar Faizal Uncensored dengan Andi Wijayanto (Mantan
Gubernur Lemhanas Era Presiden Joko Widodo) tanggal 12 Nopember 2024